• Nginap Bareng
  • Contact
  • Portofolio
Responsive image

Indonesian Beauty & Fashion Blogger.
Your personal stylist

Beauty Fashion Talks Lifestyle Event
Tampilkan postingan dengan label #Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #Fiksi. Tampilkan semua postingan
#Fiksi

KOMPETISI MENULIS NOVEL DAN WEBTOON Bersama KWIKKU

Written by Uni Dzalika






Berada di tengah-tengah generasi milenial dan Gen-Z membuat kita harus lebih cepat memahami banyak hal. Selain itu, banyak juga kegiatan atau berbagai aplikasi yang mudah diakses dan dimanfaatkan dengan baik sehingga kita perlu sekali memahami dunia digital. Baru baru ini, ada Kwikku, media sosial Karya Anak Bangsa yang memajukan dunia literasi berbasis internet. Di sana kita bisa berbagi konten, serta mengembangkan kreativitas baik melalui kolaborasi atau secara individu.

TENTANG KWIKKU
Kwikku adalah sebuah platform media sosial yang diinisiasi pada 26 September 2013 oleh para mahasiswa di Malang. Awalnya, Kwikku dirancang oleh Hamdi Musaad dan tim. Mereka nih awalnya bikin sebuah aplikasi digital yang bisa bersaing dan dibanggakan anak negeri. Mulai tahun 2019, aplikasi ini dikembangkan untuk memfasilitasi kebutuhan literasi para generasi milenial dan Gen-Z. Jadi memang sejak awal sudah ditargeting audience yang ingin mereka incar. Nah, apa saja fitur yang tersedia?


1. Media Sosial
Sebagai fitur awal dan bagian terpenting dari platform ini, Media Sosial Kwikku bisa menjadi tempat “pertemuan” generasi milenial dan Gen-Z. Lewat fitur ini, para pengguna bisa terhubung satu sama lain dan bisa berkomunikasi serta bertukar informasi.


2. Novel
Mereka yang sedang membutuhkan bacaan menarik bisa melihat fitur baru Kwikku ini. Bekerja sama dengan para penerbit besar, seperti Mizan Publishing, Noura Publishing, Bentang Pustaka, Melvana Group, dan Falcon Publishing, fitur ini dijamin bisa membunuh rasa bosan para pencinta novel.

Selain itu, melalui fitur Novel, Kwikku juga membuka peluang yang sangat besar kepada para penulis untuk menuangkan bakatnya dan mendapatkan penghasilan dari tulisan mereka. Untuk penulis baru
tidak perlu takut mengunggah naskahnya ke platform Kwikku, karena akan ada editor khusus yang membantu dalam proses penulisan novel baru.

3. Webtoon
Selain novel, ada juga cerita seru di fitur Webtoon. Ada banyak komik digital yang bisa diakses para pengguna setiap harinya, baik dari kreator lokal maupun luar negeri.
Sama seperti fitur Novel, Webtoon Kwikku juga menyediakan fasilitas bagi para kreator muda yang ingin menunjukkan karyanya dan menghasilkan uang.

4. KNOW (Kwikku Now)
Melalui fitur ini para pengguna bisa mendapatkan berbagai informasi menarik yang sedang viral. Tak perlu khawatir soal kebenaran atau validitas beritanya, karena setiap berita dan artikel bersumber dari official media partner yang telah bekerja sama dengan Kwikku.

Bacaan dalam fitur Novel dan Webtoon di Kwikku dapat diakses secara GRATIS, kecuali untuk judul dalam section pay for no delay dan premium. Pembelian judul-judul dalam section tersebut bisa dilakukan dengan sangat mudah. Cukup membayar dengan menggunakan dompet digital via Gopay, Ovo, Dana, dan Link Aja!



KOMPETISI #BERKARYADIRUMAHAJA


Selain melalui keempat fitur tersebut, Kwikku juga ingin memantik semangat para generasi muda untuk berkarya melalui KOMPETISI NOVEL DAN WEBTOON dengan mengusung tema #BERKARYADIRUMAHAJA. Total hadiah yang disediakan dalam kompetisi ini adalah Rp 500.000.000.

Kompetisi ini pun didukung oleh para juri yang sangat mumpuni. Ada para penulis bestseller— A.Fuadi, Dee Lestari, Faradita, Bayu Permana, Luluk Hf yang siap untuk memberikan penilaian dalam kompetisi novel. Sementara di kategori Webtoon kreator muda berbakat seperti Faza Meonk, Sweta Kartika, HelloDitta hingga para komikus legendaris seperti Gerdi WK dan Lan Kelana siap memberikan penilaian mereka. Dengan keempat fitur jagoannya dan kompetisi inilah, Kwikku berharap bisa membantu mewujudkan budaya membaca yang baru, sehingga mendorong kemajuan literasi negeri.

Kwikku bisa diakses melalui website www.Kwikku.com atau dengan mengunduh aplikasi Kwikku di PlayStore :)


#BookReview

Hasil Berburu di BBW 2019 ICE BSD : Book Haul Bulan Maret

Written by Uni Dzalika

Assalamualaikum, siapa di antara kamu yang datang ke pameran BBW di ICE BSD awal Maret ini?

Saya, tidak datang.
Saya mampu menahan diri untuk tidak membeli makeup, skincare, pakaian, sepatu, atau bahkan makanan, jika uang yang saya punya sangat terbatas atau jika ada uang tapi saya tahu itu tidak terlalu penting untuk dibeli. Namun, lain hal dengan buku.

Entah itu novel, buku puisi, kumcer, trilogy, komik, atau buku non fiksi, jika saya menginginkannya, saya akan beli. Apalagi kalau di pameran. Apalagi di pameran sebesar Big Bad Wolf (BBW) yang berlangsung di Hall B ICE BSD pada 01-11 Maret 2019 lalu.

Mockingjay review
Beberapa buku yang berhasil saya beli di BBW.


Yang dijual betulan buku bagus, bukan buku sisa atau cuci gudang atau buku lama yang tak laris. Bukan yang seperti itu. Isinya buku populer dari berbagai penerbit baik versi bahasa Inggris, versi terjemahan, dan buku Bahasa Indonesia.

Saya, tentu saja tidak datang.

Bukan soal jauh lokasinya -- itu tidak bisa dijadikan alasan karena aksesnya mudah ke sana. Tapi karena tahu jika saya ke sana akan membeli banyak tanpa berpikir panjang. Solusinya, saya titip pada Danis dan Mbak Dian yang dengn sukarela mau bantu membelikan tanpa perlu biaya jastip.

Niatnya membeli lima buku, tapi karena tidak ketemu yang dibeli malah lain dari daftar;

Review Air mata bulan ziggy z

1) KALA (Rp 15.000,-)2) AIR MATA BULAN (Rp 15.000,-) Ziggy Z


Ini novel bersambung; sepaket, jadi belinya harus dua. Sama sekali tidak ada dalam rencana tapi karena penulisnnya Ziggy jadi saya beli. Bergantung pada kepercayaan saya terhadap kualitas penulisnya, saya yakin buku ini berfaedah untuk dibaca.

Review to kill a Mockingbird


3) Go Set a Watchman (Rp 15.000,-)

Pada awalnya, niat saya membeli Novel To Kill a Mockingbird yang English Version, tetapi setelah dicari ke sana-sini katanya tidak ketemu, malah ketemu buku Harper Lee yang lainnya; Go Set a Watchman versi Bahasa Indonesia.

Karena kisaran harga normal buku ini sekitar Rp 80.000,- dan harga diskonnya adalah Rp 15.000,- ya kenapa tidak dibeli? Beli dulu, dibaca belakangan.


4) Mobil Bekas & Kisah Kisah dalam Putaran (Rp 25.000,-)

Membeli ini tanpa membaca referensi atau sinopsis di Goodreads lagi-lagi karena nama penulisnya; Bernard Batubara. Saya suka semua buku beliau. Belakangan saya tahu, novel ini hasil adaptasi dari sebuah film Ismail Basbeth.

Review novel kuntowijoyo

5) Persengkongkolan Ahli Makrifat - Kuntowijoyo (Rp 38.900,-)

Sekali lagi, karena nama penulisnya, saya memutuskan untuk membeli ini. Gaya penulisan Kuntowijoyo yang sederhana membuat saya kagum dan kalau baca review-nya di Goodreads, semua bilang ini bagus. Dan buku ini jadi yang saya baca pertama di bulan ini.

How to be a good parent

6) The Intuitive Parents (Rp 80.000,-)

Ini buku yang dibeli dengan modal nekat. Paling mahal, paling tidak ada gambarannya tentang apa dan  tidak tahu bagus atau tidaknya. Dibeli karena percaya dengan rekomendasi dari @nadhiraarini yang beli buku ini.

Semoga saya tidak sia-sia membelinya dan sanggup membaca buku non fiksi setebal ini. Hitung-hitung belajar mempersiapkan diri jadi orang tua yang baik. Kamu sudah pernah baca ini?

Review hunger games novel

7) Hunger Games Series (Rp 165.000,-)

Saya mengetahui cerita ini lebih dulu melalui tayangan ulang Hunger Games yang disiarkan di RCTI. Dan saya merasa sangat kagum dengan plot serta karakter utamanya.

Pada tayangan trology; Mockingjay, saya tengah menyelesaikan skripsi sehingga tidak bisa menonton di bioskop dan lagi-lagi hanya menonton tayangan ulang di saluran streaming.

Lalu suatu hari selepas sidang sarjana saya buka laptop, menelusuri folder yang berisi PDF kumpulan cerpen dan novel terjemahan yang saya dapatkan secara cuma-cuma dari Danis dan Aam. Di sana ada PDF Hunger Games Series dalam Bahasa Indonesia. Ketika saya baca di bab pertama, saya sadar bahwa saya jatuh cinta pada gaya penulisan Suzanne Collins.

Saya hentikan sampai di bab 1 dan memutuskan untuk mencari novel dalam bahasa aslinya karena akan lebih mudah mencerna dan memahami dunia Katnis jika langsung membaca dari bahasa pertama. Namun, dicari ke mana-mana, tidak ketemu.

Saya beberapa kali mengunjungi Periplus, Gramedia, toko buku fisik lain di beberapa area di Jabodetabek, tidak ada juga. "Buku lama," kata mereka saat ditanya kenapa tidak ada.

Pencarian saya tidak berakhir. Pada teman yang berada di LN saya titip untuk membelinya. Satu saja, saya hanya minta titip Hunger Games yang buku pertama saja. Seharusnya tidak memberatkan bawaan, tetapi jawabannya sering kali "tidak bisa bantu." atau, terlalu mahal.
Dua tahun berlalu.

Dan selama dua tahun itu, tidak ada buku bacaan lain yang saya baca dengan niat atau penuh hasrat. Mendadak mogok baca karena apa yang sangat ingin dibaca belum bisa terealisasi.

Dan di bulan-bulan mogok itulah saya akhirnya menyibukan diri dengan menonton Drama Korea dan berhasil menonton sampai 90 drama! Ini pencapaian besar untuk saya yang tidak begitu suka menonton.

Saat mulai jenuh menonton terus, tepat di tahun kedua setelah mogok baca, muncul pameran buku Big Bad Wolf (BBW) and I asked my friends to helped me find out Hunger Games. "I'm gonna buy no matter how expensive it is," I say.

Dan ketemu!!! Dijualnya satu bundle tidak boleh beli satu saja dan harga satu bundle ini hanyalah Rp 165.000,-

Saya tanya lagi apakah harga segitu untuk tiga buku? Harganya terdengar tidak masuk akal. Tapi betul, harganya segitu. Masya Allah, Subhanallah. Niat beli satu malah dapat tiga :')

______________________

Total buku yang saya beli ada sembilan (9) dan uang saya keluarkan untuk itu sebesar Rp 400.000,- saja.

Setelah mendapat Hunger Games, mogok baca saya berakhir. Tiba-tiba jadi semangat membaca banyak dan terus membaca.
Dan hari ini juga, saat kamu selesai membaca postingan ini, saya sedang membaca Hunger Games.

Saya senang, karena berhasil membuat diri sendiri kembali haus bacaan.


Bagaimana dengan kamu, buku apa saja yang berhasil dibeli di BBW? :)

#dailynotes

Seorang Pengembara Memutuskan Pulang ke Dunianya.

Written by Uni Dzalika



Baca dulu Part 1 di sini.





Dulunya, Pengembara ini sepasang. Aku dan seseorang --Kau. Dua tubuh, dua pemikiran, dua dunia, dengan begitu banyak kesamaan. Hal yang paling kuingat mengenai dirimu ialah, tanggal dan bulan ulang tahun kita yang sama, serta sebuah surat yang kautulis dalam kertas origami berwarna ungu.

Saat kau mengatakan kita telah tersesat dan lebih baik memilih jalan masing-masing, surat itu masih tetap kusimpan hingga kini. Bukan apa-apa. Aku tidak mengharap kita menjadi sepasang pengembara lagi. Aku tidak ingin ada sesuatu di antara kita, dan aku tahu kau pun tidak menginginkannya. 

Akan tetapi, setiap kali membaca surat tersebut, pikiranku surut akan masa-masa itu ; air mineral di jam makan siang. Dandanan yang natural saja. Jaket sebagai teman pulang. Nasi goreng di pinggir jalan. Minuman kaleng di halte bus. Sate Padang di depan gedung. Aroma sabun mandi di tubuhmu yang melekat dalam surat. Segala perlakuanmu padaku, mengendap dalam ingatan.

Kenangan itu berkelindan. Waktu kita tersesat, segalanya memang terasa pahit. Tetapi aku hanya ingin mengingat segala hal baik. Dan karena mengingatnya, perasaanku menjadi hangat. Gigil yang datang karena berbagai alasan mampu hilang karena suratmu. Isinya begitu tulus --mungkin kaulupa pernah menulis apa. Tulisan empat paragraf di dalam origami membuatku yakin bahwa aku berharga. Menjadikan aku begitu bahagia sebab pernah dicintai sebegini mewahnya. 

Surat itu tetap kusimpan walau aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menunggumu. Aku mengenal seseorang. Aku berhenti menunggumu dan melangkah menuju dunianya. 

~

Ketika aku mantap memutuskan untuk menjelajahi dunianya, hal-hal yang kulihat dan kurasakan benar-benar membawa kenangan tentang aku yang dulu. Tentang aku yang katamu, bukanlah seperti kebanyakan perempuan lain. 

Aku tidak pernah bilang aku berbeda dari semua perempuan yang ada di dunia ini. Menjadi berbeda itu menakutkan. Kau tentu tahu bagaimana rasanya dipandang aneh dan dilihat terus menerus dari kepala sampai kaki, dan dibicarakan sepanjang hari seolah-olah aku tidak mengetahuinya. Mereka bilang  aku berbeda. Kau pun mengatakan hal yang sama. Aku tidak mau jadi yang berbeda. Tetapi, berpura-pura menjadi sama seperti kebanyakan orang, sebetulnya terlihat memuakkan. 

Dan begitulah caraku menilai dia ; Tidak seperti lelaki kebanyakan.

Padanya, terasa sekali sifat yang tak pernah mau mengalah, pemikiran-pemikiran untuk terus mengejar sesuatu, ucapan-ucapan sarkas mengenai apa saja. Dan semakin banyak ia bicara, aku semakin nyaman.

Tiba-tiba saja aku enggan pulang.

Bukannya aku tersesat dan tidak menemukan jalan pulang ; dunianya begitu menarik untuk dijelajahi. Ada banyak tanya yang berkelebat, kumpulan prestasi yang menjadikannya bermartabat, suara intuisi dan logika kerap berdebat, dan gejolak rindu (entah pada siapa), yang tidak pernah ia bebat.

Dunianya bagaikan hutan belantara, dan aku ialah seorang pengembara yang sedang menyesatkan diri semakin jauh ke dalam rimbanya.

Hutan ini seolah tidak terawat, tapi begitu banyak yang bisa dilihat. Aku butuh ribuan hari mencari-cari, apakah ada aku, di dalam dunianya? Aku berharap ia membiarkan aku berkeliling lebih jauh dan berpikir seberapa lama aku sanggup bertahan di dalamnya.(°)

Kau tahu aku pasti sanggup. Dulu, menunggumu selama lebih dari 500 hari saja aku mampu. Dan aku tetap baik-baik saja saat kau akhirnya memang tidak kembali. Dan begitu pun dengannya. Yang kali ini, bahkan aku sempat berpikir gila untuk meninggalkan duniaku dan memilih tinggal di dunianya. Aku sempat mengajaknya mampir. Melihat-lihat isi duniaku. Mengajaknya berkeliling soal masa lalu. Dan dia menemukan jejakmu. Dan dia semakin jauh masuk ke dalam, melihat kegelapan yang pekat di lorong masa laluku. Aku menyesal telah mengajaknya ke duniaku dan ia jadi tahu rahasia-rahasia tergelapku.

Lalu,
dia pergi. 

Dia mulai membangun sebuah candi di dalam hutan tersebut, lantas bersemedi di dalamnya, dan menutup semua akses masuk rapat-rapat ; seakan sikapnya ini semacam perlakuan halus untuk mengusirku tanpa bisa didebat. 

Aku tidak diterima di dunianya.

Saat mengetahui ini, barangkali kamu sedang menertawaiku. Betapa aku yang dulunya seringkali meninggalkanmu, kali ini dihukum Tuhan. Orang bilang, ini namanya karma. Aku lebih mengamininya sebagai cara untuk bisa merasakan seberapa sakit ditinggal seseorang yang begitu dicintai. Aku tidak perlu mendeskripsikan lebih detail soal sakitnya, bukan? Kau yang paling tahu bagaiamana rasanya.

Aku sekarang paham, tersesat seperti apa yang kau maksud. Dan aku merasakan perasaan itu ; gamang. 

Dunianya adalah hutan. Yang asing akan tetap terasingkan. Dia membiarkan aku tersesat sangat, sangat jauh. Dia mengasingkan aku di dalam dunianya. Sampai akhirnya aku lelah dan kakiku penuh luka karena sibuk mencari cara agar masuk ke candi tempat ia mengasingkan diri. 


Oh, sebentar. Mungkin pengandaian di atas terlalu berlebihan. Mari kusederhanakan.

Dia, menurutku dia seperti sebuah stasiun Kota. Luas, ramah, dan selalu disesaki banyak pengunjung. Namun, ketika sepi, dia memagari pintu dan tak tak seorang pun boleh di dalam. 

Aku berusaha memahami dengan caraku sendiri
; Yang sudah terbiasa sepi, lebih baik dibiarkan sendiri dalam sepinya. Sebab, aku tidak akan pernah mengada dalam ruangnya. Aku tidak akan bisa menggenapi impian-impian ganjilnya. Aku barangkali bukanlah perempuan yang Tuhan kehendaki untuknya.
Aku
Lebih baik pergi.

Mulanya aku menunggu. Aku menunggu terus. Tapi lagi-lagi aku mengingatmu. Dan kubaca kembali suratmu. Dan kuingat lagi kesia-siaanku menunggumu. Kemudian, setelah berpikir terlalu terburu-buru, kuambil keputusan untuk pulang dan tidak menunggunya, bahkan tidak ingin dia datang menemuiku lagi. Tidak perlu. 

Sekarang aku sudah keluar dari dunianya. Aku membiarkan diriku larut dalam keramaian lorong stasiun yang penuh orang lalu-lalang. Lain hari, kubebaskan diriku terombang-ambing di tengah lautan. Atau sengaja kusesatkan diri di tengah hiruk-pikuk terminal bus. Sampai akhirnya aku benar-benar memilih pulang dan duduk manis, lalu menuliskan segala cerita bodoh ini kepadamu. 

Dan dalam kesendirian ini, masih tetap surat dalam origami ungu yang selalu kubaca. Huruf-huruf di dalamnya seperti sebuah nyanyian nina-bobo yang menenangkan. Deret kalimat yang kautulis membuatku kuat. Membuatku berpikir bahwa aku tidak perlu menangis karena keputusanku berhenti menunggunya. 

Sama seperti saat kepergianmu ; setetes pun, tidak akan sudi kujatuhkan air mataku untuknya. 

Aku telah merelakan dan melepaskan dirinya. Biarlah ia memilih sendiri orang yang ia cintai. Dan aku pun tidak akan berhenti jatuh cinta. Tetapi, tetapi aku berhenti mencari. Aku sudah tidak lagi berkelana.

Bukankah perempuan seharusnya tidak perlu mengembara?  

Dan, tenang saja. Kau juga tidak perlu merasa berduka, berpura-pura simpati, atau mengulurkan bantuan. Kau tahu betul aku bisa mengatasinya sendiri. Aku hanya sedang butuh teman bercerita.

Jadi,
Terima kasih kau telah menyimaknya dengan sangat setia. 




_____

Z
(20/06/16)

#ff

#PromptMFF : 29 Februari

Written by Uni Dzalika



Lelaki berbadan tanggung yang sedang berkumpul di pub bersama kawannya, barangkali tahu bahwa Maria selalu mengamatinya dari kejauhan. Kelak, lelaki itu harus tahu bagaimana Maria mencintainya sebegini dalam. Ia menunggu lelaki itu berpisah dari kerumuman dan berjalan menuju arahnya.

Maria tahu dirinya berbeda. Berbadan sintal pada pemerintahan Ratu Elizabeth merupakan kecantikan mutlak para wanita -begitu yang selalu ia dengar. Namun, tubuh kurusnya bak gelandangan tidak membuatnya gentar mengatakan cinta. Lelaki itu keluar dari pub dan Maria gegas menghampirinya.

"Hai, jerk," lelaki itu tertawa mengejek.

"Apa?"

"Sepuluh kali tahun kabisat, aku pastikan kamu tetap kerempeng. Ratu pasti malu punya rakyat sepertimu."

Maria merasakan pipinya memerah, dadanya memanas. Ia akan buktikan, bahwa ia akan gemuk. Bahwa ia bisa cantik.

~

"Ini tahun kabisat?" tanya Maria sambil bersusah payah keluar kamar dibantu dengan pengasuhnya.

"Ini tahun 1864, Madam." 

Betul, ini kabisat pertama di masa Ratu Victoria. Maria terkekeh. Ia belum sekalipun keluar rumah kecuali hari ini. Meski kesulitan, ia yakin tubuh gempalnya kini begitu menggoda. Tetapi, tetapi matanya membelalak melihat para wanita sibuk memakai gaun ruffle dengan pinggul begitu kurus -percis dengan dirinya semasa muda dulu. 

"Kenapa mereka semua kurus?"

"Kurus itu standar kecantikan di abad sekarang, Madam."

Mendadak Maria merasa mual.







➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖


Ps. 

1/ 199 words tanpa catatan kaki.

2/ Ditulis untuk Prompt 105 Monday Flash Fiction.

3/ Masa transisi pemerintahan Ratu Elizabeth I dan Ratu Victoria di Inggris mengalami banyak perubahan drastis dalam bidang fashion dan standar kecantikan. 

4/ Dibaca dulu : Cantik itu Kurus atau Gemuk, Sebetulnya?

5/ Baca juga : 12 Fase Perempuan yang Perlu Kamu Tahu!

#Fiksi

Sepasang Kekasih yang Dulunya Mengembara Mencari Masa Depan

Written by Uni Dzalika


"Sebentar. Seperti ada yang salah ," katamu hari itu, ketika langit mega mendung. Aku memerhatikanmu dengan sangat cermat dan menyadari betapa kau tampak begitu rapi. Terlalu wangi. Dan rona wajahmu teramat berseri. Tapi tatapanmu, aku tahu ada yang berbeda dari binar matamu. Padaku, binar itu mulai meredup dan auramu tidak terasa lagi meletup-letup. Apakah kau telah menemukan sesuatu yang lebih segalanya dariku, sayang? 

Aku mengamati sekali lagi. Mencoba menebak apa yang sedang terjadi. Kau berubah kaku. Tidak beralaskan sandal jepit berwarna merah yang kerap kaugunakan ketika melangkah bersamaku. Hari itu kau memakai kemeja tanpa motif berwarna biru. Tidak ada lagi kaus kasual yang menjadi pembatas antara peluk kita. Kau bahkan memberi spasi yang sangat lega. Aku tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Tidakkah kamu menyadari? Kita sudah tersesat terlalu jauh," katamu dengan tenang, membunuh hening di antara kita. Orang yang lalu lalang tersenyum dan kita membalas dengan mimik muka yang paling manis. Sekeliling kita penuh sekali yang lalu-lalang, sekadar meyaksikan seberapa romantisnya sepasang kekasih yang mengembara mencari masa depan. Mereka terkagum-kagum mengetahui kau atau aku tidak pernah tertarik pada apa yag menggoda kita selama di perjalanan. Kita serupa aktris yang ditonton dan ditunggu kelanjutan kisahnya. Yang mereka ingin lihat, hanya bahagia dan sukacita. Lantas akan mereka tiru dan jadikan kita sebagai panutan. Yang kita lakukan terus saja ramah tamah dan bersikap sopan santun. Mereka senang melihat kita penuh senyuman dan pelukan yang paling memabukan. Dalam ransel kita penuh bahagia dan cinta. Mereka tidak akan lihat duka pun derita karena kita menyimpannya di bawah telapak kaki. Dan sekarang pun, ketika kau bilang tersesat, kita harus tetap tersenyum pada mereka.

Tersesat, katamu? Setelah melangkah sejauh ini, sepanjang jalan yang tidak tahu kapan sampai ke tujuan, tidak tahu kapan berakhir, tidak pernah memperlihatkan pada orang betapa sakit dan tersiksanya kita melanglah dengan luka dan beban derita yang menancap di telapak kaki...

Dulu sekali, ketika itu, kita merupakan orang yang tersesat. Semua orang seperti berada dalam labirin dan terus saja berputar-putar mencari jalan keluar. Kemudian pada sebuah persimpangan kita bertemu. Katamu, aku adalah yang paling sempurna untuk menuntunmu ke jalan yang benar. Katamu, aku ialah cahaya yang Tuhan kirim ketika kau mulai putus asa. Bagiku, kau itu anugrah.

Kita gegas menjadi sekutu ; berjalan bersama, melewati setapak kecil, hutan belantara, jalan besar, tebing, dan entah jalan apalagi yang selalu kita lewati. Kita tahu ke mana tujuan kita -masa depan. 

Lalu, tiba-tiba kau bilang kita tersesat? Kita punya navigasi, kita tidak buta peta, dan kita acapkali berhenti di beberapa titik untuk beristirahat. Kita tahu tempat tujuan kita teramat jauh, dan meskipun di setiap perjalanan kita selalu menjumpai hal-hal yang tidak kita inginkan, asal bersamamu, aku selalu ingin terus melangkah, kecuali hari itu.

Tersesat.

Bukan. Kita tidak tersesat. Jalan yang kita tempuh menuju masa depan itu benar. Walaupun persediaan kita yang berupa tekad, niat, keyakinan, dan kepercayaan, telah menipis, seharusnya kita tetap melangkah, kan? Namun, melihat binar matamu, aku tahu kau menemukan sesuatu -mungkin di persimpangan jalan, menemukan yang lebih menjanjikan ketimbang terus melangkah denganku. 

Sayang, kau hanya lelah melangkah bersamaku. Dan tersesat ialah alasanmu untuk menghentikan perjalanan kita. Begitu, kan? 

"Lihat. Bukankah perjalanan kita teramat sempurna? Kalaupun tersesat, kita bisa mencari jalan keluar bersama..." ucapku meyakinkan.

"Maaf," katamu parau. Kulihat kauseka keringat di dahimu. Entah kelelahan, atau karena susah payah ingin pergi dariku. Aku ingat dengan jelas kata terakhir yang kauucap itu. Dan, lebih ingat lagi pada kalimat berikutnya,

"Aku harus putar arah, ada sesuatu yang indah di belakang sana, aku harus memastikannya sendiri."

"Oh, itu sebabnya kau rapi sekali."

"Tapi, kalau nanti aku kembali, kau masih mau melangkah bersamaku, kan?" 

Aku mengangguk. Aku akan menunggumu.

Dan menunggumu, rupanya hal paling dungu yang pernah aku lakukan dalam hidup.

~~~~

Aku menunggu di persimpangan jalan. Aku menyaksikan apa saja yang lewat di hadapanku. Aku menjumpai orang-orang yang akan mengantarkanku ke masa depan, dan dengan sopan kukatakan aku menunggumu. Orang mulai bertanya ada apa dengan kita, tapi dengan keyakinan yang hampir rubuh kujawab bahwa kau akan segera kembali. Setiap hari, dalam diam, perlahan aku melihat banyak sekali yang berubah di tempat aku menunggumu. Yang lalu-lalang mulai menghilang. Bunga-bunga henti bermekaran. Hujan debu setiap malam. Kita bukan lagi sepasang pengembara yang mereka tunggu kisahnya.

Suatu hari, kala itu siang. Aku mendengar langkah mendekat. Ketika aku menengadahkan wajahku, terlihat dunia di tempat aku menunggumu gersang dan beraura malang. Orang itu mendekat. Ia menunjukkan sesuatu di dalam genggaman tangannya. Berupa angka dan jarum yang bergerak setiap detik. 

"Barangkali kau tak punya," katanya sopan. Dia bukan dari salah satu yang suka menyaksikan tentang kita. Dia bilang dia musafir. Dia bilang melihatku seperti gelandangan. Dia tanya padaku sejak kapan aku duduk begini saja. Waktu kukatakan persisnya, dia membelakakan matanya dan menjatuhkan apa yang di dalam genggamannya. 

"Sadarkah kau, sudah berapa lama di sini, nona?"

Kami berbincang sebentar dan dia izin melanjutkan perjalanannya. Dia bilang, tujuannya ke Kota Impian. Kukatakan dia mungin saja jalan ke arah yang salah karena dulu kau jalan ke sana dan belum juga kembali. Tapi dia tetap gigih dan katanya, jika di tengah jalan nanti menemukanmu, dia akan memberitahu padamu bahwa aku masih menunggu.

Aku terus menunggumu kembali, dan hanya menunggu yang kulakukan. 1080 hari, sayang. Iya, aku menghitungnya. Kau pergi selama 1080 hari. Selama itu aku hanya diam, menjadi gelandangan yang dungu karena memercayai keditakpastian. Sementara, selepas meninggalkanku, apa saja yang telah kau dapati hingga enggan kembali?

 Di hari ke 1082, aku menemukan sesuatu.

"Siapa?" tanyaku hati-hati. Aku dapat melihat wajahnya, tapi masih samar. Dia tidak menjawab. Dia berdiri di ujung jalan dan apa yang dibawanya itu menarik perhatianku. Aku seperti melihat aku yang dulu pada dirinya. Dia kemudian berjalan menjauh. Hari itu senja, awan kemerahan menyebar di langit yang mahaluas. Aku melihat sekelilingku ; tidak ada yang tersisa selain tiang lampu yang masih kokoh berdiri. Sekejap saja, aku memutuskan untuk mengkuti orang tersebut.

Aku terus berjalan hanya untuk mengetahui siapa dia. Aku tahu mungkin aku akan tersesat mengikuti langkahnya, menguntit perjalanannya, tapi kami terus berjalan dengan dia yang memimpin langkah. 

Dan aku mengikuti perjalanannya ke suatu tempat yang bagiku tidak asing. Aku melihat impian bertaburan, tanda tanya bertebaran, aku melihat prestasi berjajar, mengingatkanku pada dunia yang dulu kutinggali. Dan seseorang lewat membuyarkan rasa takjubku. Aku meraih tangannya dan memutuskan bertanya. Sekadar memastikan.

"Ini di mana?"

Dia melihatku seperti lalat. Tatapan matanya menelanjangi dari kaki hingga kepala, melongok isi ranselku, dan menarik paksa lengannya yang sempat kucengkram.

"Ini di perjalanan menuju masa depan miliknya," kata orang itu seraya menunjuk dia -orang yang kuikuti tadi.

"Bisakah aku tinggal di sini?"

"Kau harus pulang dulu ke duniamu, memantaskan diri, dan mengurus perpindahannya."

Kau tahu?

Orang itu betul.

Aku harus pulang. Bukan menunggumu, lagi. Aku akan mulai memantaskan diri, dan mengejar orang ini. Aku ingin tinggal di dunianya.

~~~~

Kau tahu? Ternyata ketika tersesat, atau ketika teman perjalanan pergi meninggalkan, aku seharusnya tidak boleh menunggu, aku semestinya mencari jalan pulang, atau jalan menuju masa depan, sendirian saja. Kelak, jika nanti aku tersesat kembali, aku tahu bahwa aku hanya perlu berbalik dan menemukan jalan pulang. Bukan menunggu, diam, tidak melakukan apa pun, seperti yang sudah kulakukan ketika kita berpisah hari itu.

Sekarang, aku PULANG.

#Fiksi

Wanita yang Mengagumkan

Written by Uni Dzalika
Source



Misna, bolehkah aku bercerita sedikit? 

Tidak akan lama, kok. Namun, tidak akan sebentar pula. Kamu tahu bagaimana rasanya jatuh hati? Sebuah rasa yang menurutku, tingkatannya lebih baik ketimbang jatuh cinta. Memang benar, rasa itu yang selalu menghampiriku belakangan ini. Entah kapan rasa itu datang, tanpa permisi dan tanpa izin seenaknya tinggal di hatiku yang sudah terlalu jenuh untuk merasakan jatuh cinta.

Aku bukanlah seseorang yang dapat menulis dengan baik, atau pun seseorang yang dapat mngubah kata demi kata menjadi sebuah mahakarya, tapi izinkanlah aku untuk berterima-kasih sekali lagi lewat tulisan ini, atas keikhlasanmu untuk selalu di sisiku. 

Tahun 2010, adalah tahun awal kita bertemu sebagai seseorang yang tidak pernah mengenal satu sama lain. Kala itu, kamu adalah seorang siswi SMK yang sedang menjalankan tugas dari sekolah sebagai pegawai magang di tempat kerja ibuku. Tidak ada ketertarikan sama sekali darimu yang dapat mencuri perhatianku. Karena, dulu aku begitu cuek dan tidak begitu peduli dengan orang bahkan lingkungan sekitar.

Namun, hal itu berbeda sekarang. Tepatnya sudah lima tahun berlalu sejak tahun itu, aku lupa awal bagaimana dan kapan aku mulai mendekatimu. Tanpa sadar dan tanpa berpikir. Lalu aku bertanya-tanya, Bagaimana jika kamu sudah memiliki kekasih? Bagaimana jika kamu sudah ada seseorang yang kamu sukai? Pada akhirnya aku panik dan mencoba dengan santai untuk menyikapi hal tersebut. Tapi, aku tidak peduli akan hal itu!

Seiring waktu, komunikasi kita pun berjalan, bahkan aku sempat mengungkapkan rasa sukaku terhadapmu. “Aku suka kamu, apapun yang ada di diri kamu," ungkapku santai.

“Tapi, apa tidak apa-apa jika menyukai seseorang yang sudah memiliki kekasih?” jawabmu.

"Memang kenapa? Menyukai seseorang yang sudah memiliki kekasih bukan berarti sebuah pernyataan cinta, hanya mengungkapkan sebuah kekaguman terhadap lawan jenis saja," balasku dengan nada santai yang berusaha untuk tegar.

Setelah beberapa saat balasan SMS terakhirku itu, kamu pun tidak merespon dan yah, aku berpikir untuk tidak meneruskan pembahasan itu. Lalu terdengar getar dan ringtone whisper dari smartphone yang aku genggam.

“Terima kasih atas perasaanmu.” Balasan SMS-mu yang hampir satu jam lamanya kutunggu-tunggu.

“Iya sama-sama, sudah tidak usah dipermasalahkan lagi ya, sampai kapanpun aku akan tetap suka dengan apa yang ada di dirimu," ungkapku pada balasan berikutnya.

“Terima kasih :)"  Dua kata yang kamu berikan saat malam itu untuk mengakhiri perbincangan kita tentang perasaan yang terbang entah ke mana.

~~

Beberapa hari setelah hari itu, kita berdua mencoba untuk berkomunikasi dengan baik, dan bertukar pikiran satu sama lain dengan menghabiskan waktu bersama yang mungkin menurut kebanyakan orang itu adalah kencan. Tapi menurut kami, itu adalah cara yang baik untuk bertukar pikiran dengan seseorang. Bahagia dan tertawa bersama. Tanpa sadar aku semakin menyukai dirinya. Itulah jatuh hati.

Beberapa bulan sebelum bertemu denganmu, aku selalu berpikir untuk mengakhiri hubungan pacaran yang sudah aku jalin dengan mantan pacarku. Sudah menginjak tiga tahun lamanya, sayang? Iya dibilang sayang untuk mengakhiri hubungan yang sudah dijalin lama itu tidak mudah seperti mencari pacar baru dengan siklus pendekatan – jadian – putus lalu – pendekatan dengan wanita lain. Tapi dengan niat baik, aku berharap semua akan tetap baik-baik saja bahkan menjadi lebih baik untuk kami berdua. Begitu pula denganmu yang mengambil sikap seperti itu dengan mantan pacarmu yang menurutmu dia tidak begitu serius dengan hubungan kalian. 

Tepatnya tanggal 29 Agustus kemarin, aku ingat betul tanggal itu, hari di mana yang aku merasa bahwa itu bukanlah diriku yang sebenarnya. Mengapa? Karena untuk pertama kalinya aku memulai perbincangan serius dengan kedua orang tuamu dengan pernyata bahwa “Saya serius dengan anak bapak dan umi, dengan ketidakmampuan saya saat ini, saya tidak peduli akan hal itu, tapi saya yakin dengan niat baik bahwa semua akan menjadi baik!” Kataku yang sedikit gugup dan tidak percaya bahwa seorang pemalu sepertiku berani mengatakan hal seperti itu.

“Bapak dan umi senang dengan apa yang sudah kamu nyatakan, kami berharap yang terbaik untuk hubungan kalian,” ungkapnya dengan senyum bahagia yang terukir jelas di wajahnya. 

“Alhamdulillah kalau seperti itu, semoga Allah SWT meridhoi jalan kami” ucapku dengan rasa senang dan bahagia yang terlalu berlebihan. Hehehe.

Malam itu adalah malam yang tak terbayangkan hingga tak bisa kulupakan, bisa dibilang sih, itu pertama kalinya aku bisa membuat sebuah pernyataan yang aku pikir tidak mudah. Dan mungkin akan mengubah segalanya dalam hidupku ke depan. Karena aku merasa, aku harus bisa memilih jalanku sendiri sebagai seorang anak laki-laki yang sudah menginjak umur 22 tahun. Tapi aku tidak peduli akan hal itu, karena aku sangat menikmatinya!.

Misna, terima kasih sudah menjadi perantaraku dengan Tuhanku, awalnya aku berpikir ketakutan jika hal ini terulang lagi. Karena aku mempunyai pengalaman yang tidak begitu menyenangkan dengan Tuhanku di masa lalu. Dengan usaha dan doa serta konsisten dengan apa yang sudah dimulai, aku yakin karena Allah, pilihanku kali ini untuk diriku menjadi pria yang lebih baik karena-Nya. Melaluimu, wanita yang mengagumkan.

Selalu tersenyum, selalu semangat, dan selalu menjadi wanita yang mengagumkan untuk diriku. Dari aku yang sedang mengusahakanmu karena-Nya.






****

This post written by contributors. Berminat menjadi kontributor blog ini? Silakan baca ketentuannya di sini.



****

Proofreader : Uni Dzalika

Penulis :

Diendi Pratama
Facebook : Diendi Pratama
Instagram : diendipratama
Path : Diendi Pratama
Line : Diendi Pratama
Tumblr : diendipratama.tumblr.com

#dailynotes

Kenapa Kita Tidak Boleh Pacaran?

Written by Uni Dzalika



"Kamu itu seperti mawar," katanya sungguh-sungguh. Saya tahu dia tidak sedang merayu. Tatapan matanya melihat saya, tapi menerawang entah, seakan dia dapat melihat masa depan tentang dia, tentang saya, tapi tidak tetang kami. 

"Semua orang yang saya kenal, suka mawar merah. Dia cantik, dia memesona, dia membuat orang terpukau karena warnanya yang mencolok, dan dia berduri, juga rapuh sekali kelopaknya. Kamu mirip sekali dengan mawar. Ah... Kita perlu hati-hati memegang mawar kalau tidak mau terluka, atau tidak mau membuat mawar rusak," lanjutnya tanpa jeda. Kali ini dia sudah memindahkan pandangan matanya ke arah lain, ke suatu tempat tapi masih tetap memandang jauh, tak tahu melihat apa.

"Ada tiga jenis sikap manusia terhadap mawar. Kamu tahu apa saja?" Tanyanya setelah kami nyaman dalam hening. Saya menggeleng, tapi dia sepertinya tidak melihat. Matanya... Saya tidak dapat membaca tatapan matanya. Dia mulai menunduk, menekuk dagunya hingga ke tulang selangka, dan saya masih setia menatap dirinya yang di samping saya, tapi memeluk dirinya pun saya tak mampu. Ini bukan momen romantis, saya tahu akan terjadi sesuatu, dan sejak tadi sedang menahan tangis.

"Yang pertama orang yang berbisnis. Dia butuh uang, dia berternak mawar, lalu memangkasnya dan menjual mawar di toko atau pasar. Yang membeli adalah yang membutuhkan, entah untuk keperluan apa. 
Yang kedua, orang egois. Dia suka mawar, dia beli, atau memotongnya di kebun, atau mengambil di suatu tempat, dan durinya dipotong, lalu dimasukkan ke dalam vas. Dia pandangi terus, dia mengekangnya dalam vas bunga. Sekian hari setelah mawar layu, dibuangnya seakan dia lupa pernah menyukai mawar itu.
Yang ketiga... Yang sesungguhnya mencintai mawar, membiarkannya tumbuh di pekarangan rumah, merawat dengan baik. Orang ini akan selalu menyaksikan kelahiran bayi mawar, kematian tetua mawar, dan segala tumbuh kembangnya diperhatikan. Sikap orang yang ini, membebaskan tapi tidak pernah meninggalkan."
Saya mengangguk. Teringat ibu di rumah yang selalu merawat mawar-mawar di kebun kecilnya, membiarkan indah di taman tanpa pernah memetiknya. Mawar yang ada di foto ini, milik ibu saya yang baru saja merekah sehari lalu. Dan begitu melihat mawar ini, saya teringat percakapan di atas dengan seseorang.

Here the best (or worst?) part ;

"Lalu, apa hubungannya kamu menjelaskan tiga jenis sikap manusia ke saya?" tanya saya setelah dia selesai menjelaskan. 

"Premis pertama, saya suka mawar. Premis kedua, kamu seperti mawar."

"Oke, lalu?"

"Dan saya mau bersikap yang membiarkan mawar tumbuh bebas, bukan yang mengekang atau merusaknya," ucapnya pelan, masih menghindari tatapan mata saya.
Saya tahu arah pembicaraan ini. Ada jeda yang sangat lama. Sangat, lama. Sepertinya tidak lebih dari lima menit, tapi serasa lima juta tahun lamanya. Saya tahu maksudnya. Kamu tahu?

"Dan itu artinya...?" Tanya saya, yang meskipun tahu, saya ingin tetap memastikan, ingin apa yang saya duga keluar dari katup bibirnya secara langsung.

"Artinya... Saya tidak mau merusak kamu, karena mawar yang rusak akan hilang harganya, begitu pun perempuan. Saya mau membebaskan kamu, saya mau melihat kamu tetap indah, meskipun saya tidak bisa memiliki kamu dalam genggaman saya, yang penting kamu tetap baik-baik saja. Jadi, mulai hari ini, kamu bebas."

Dan, sejak hari itu, hubungan kami selesai. 

~~~~


You get the conclusion, dear? 

Kesimpulannya bukan 'semua laki-laki selalu punya alasan untuk mengakhiri hubungan' . Kesimpulannya adalah, kalau kamu pacaran, atau menjalin hubungan yang belum halal, kemmungkinan kamu 'rusak' akan selalu ada. Tidak selalu tentang kerusakan fisik atau mental, kadang... Rusak dalam hal seperti, kamu kehilangan apa yang seharusnya kamu kejar ; cita-cita, impian, dan perasaan ingin membanggakan orangtua...

Intinya,

Selalu jaga diri kamu. Jangan sampai rusak oleh apa pun.
#ff

PINDAH

Written by Uni Dzalika


Sonia -sorang aktifis organisasi di kampusnya, tiba-tiba menghilang.

"Siang ini..." ibu Sonia membuka suara, mendekatkan mic ke bibir merahnya. Dengan sedikit bergetar ia melanjutkan ucapannya. "...Tepat setahun tahun menghilangnya Sonia. Kita semua mengingatnya sebagai anak yang serba serasi lengkap dengan tas dan sepatu yang necis. Meski sering terlihat memakai barang bermerek, Sonia pandai memecah hening. Di manapun dia berada, orang sekitarnya akan tertular bahagia." 

Hening.

"Apa dia diculik, bu?" tanya seorang lelaki tanpa intrupsi terlebih dahulu. Ibu Sonia mencoba untuk mengabaikannya.

"Tapi, semuanya berubah saat dia pulang ke pelukan saya dengan tiba-tiba. Dia tidak banyak cerita. Tidak tertawa, tidak terlihat ada air mata. Hanya tersirat tatapan yang penuh kecewa dan ketika saya melihatnya, saya jadi bertanya-bertanya, kenapa..."

"Kejadiannya bulan Mei. Mendadak kekasihnya yang belum sempat dikenalkan ke saya itu memutuskan hubungan. Sejak saat itu, Sonia menghilang. Tidak datang ke kampus, tugasnya sebagai penjaga perpus tidak diurus... Saya saksikan tubuhnya semakin mengurus. Dan perlahan, oleh waktu, keberadaannya seakan digerus."

Ibu Sonia melihat tatapan para mahasiswa dan lensa kamera secara bergantian, lalu ia melanjutkan lagi dengan suara sedikit dikeraskan. "Dia menghilang ; tidak bisa ditemui, tidak dapat dihubungi, tidak ingin kalian kasihani. Dia memutus jarak dari jangkauan teman-temannya, dari pandangan lingkungannya, dari segala hal yang mengingatkannya akan kenangan lama."

"Tapi saya tahu, ke mana dia pergi. Dia belum mati. Dia hanya belum mau kembali. Kalau kalian tidak bisa menemuinya, hidupkan dia di dalam hati Anda semua. Terima kasih."

"Oh," tambahnya. "Pesan saya satu, tolong temukan mantannya. Saya mau membuat perhitungan dengan anak itu!"

Konferensi terbuka selesai, dan Ibu Sonia segera meninggalkan panggung. Berusaha apatis dengan kegaduhan di dalam ruangan yang masih bertanya-tanya tentang anaknya. Biarlah begitu. Biar saja Sonia menikmati kenyamanan di dunianya yang baru.

Sambil berjalan ia merasa getar di dalam sakunya. Ia melihat sebuah pesan singgah di ponselnya. 

"Ma, nyalakan internetnya dong! Mau pulang nih."

"Sudah mau kembali ke dunia nyata?" Sent.


~~~~~~~~~~~~

Flash Fiction ini pengengembangan dari Fiksi Mini bang Riga ;

TERSESAT DI DUNIA MAYA
Sebuah pesan singgah di ponselku.
"Mak, nyalakan internetnya dong! Mau pulang nih." ~ @attararya


Diikutkan untuk #Prompt 86

http://www.mondayflashfiction.com/2015/08/prompt-86-tersesat-di-dunia-maya.html


#Fiksi

Surga di Bawah Telapak Kaki Adam

Written by Uni Dzalika

Aba, Ama,

Dulu, sejak kecil aku selalu dihadapkan pada banyak hal yang membuatku jadi bertanya-tanya ; Apa itu boleh? Apa itu benar? Bukankah itu salah? Apa itu generalisasi? Apa itu toleransi? Apa itu kelahiran dan kematian? Apa itu tuhan?

Dan semasa kecil, aku, selalu sulit membedakan mana yang benar atau salah. Kadang, di rumah Aba dan Ama bilang itu benar, tapi orangtua temanku bilang, itu salah. Tentu saja batas benar dan salah itu abu-abu, karena persepsi tiap lingkungan pun pendidikan, berbeda. Begitu kata Aba, kan? Namun, satu hal yang pasti, sekarang ini, ketika aku beranjak dewasa, dunia telah menjelaskan sendiri mana yang benar, mana yang salah, mana yang dosa, mana yang tidak ; dunia sudah mengajarkan itu lewat ilmu yang kudapat. Dan ketika aku tahu bahwa aku dibesarkan dalam segala hal yang salah, aku tetap bersyukur memiliki kalian, karena Aba dan Ama selalu mengajarkan aku untuk tetap bersyukur, kan? Aba dan Ama tahu, apa yang salah dalam hidupku?

Ini terjadi dimulai ketika usiaku enam tahun.

***

Aku ingat sekali. Waktu itu umurku masih enam. Kejadiannya pada hari Kamis siang. Begitu sampai rumah sepulang sekolah, aku gegas membanting pintu depan dengan keras. Pun sengaja kulempar tas ke sofa ruang tamu, tergesa melepas dasi, membuka seragam dan melempar lagi, lalu sembarang saja meninggalkan sepatu dan kaus kaki. Masih belum puas, aku membuka pintu kamar, menutupnya dengan membanting seperti yang kulakukan pada pintu depan. Hari itu aku iri. Aku tahu Tuhan telah berlaku tidak adil. Makanya aku mengamuk biar Tuhan lihat. Aku mau menuntut Tuhan kalau Dia datang ke rumah. Tapi sebelum aku teriak kesetanan, Aba keluar dari kamar, masuk ke kamarku dengan tatapan melotot. Aku jelas melihat warna wajah Aba tiba-tiba memerah gelap. "Thalia! Apa-apaan kamu ini!"

"Let her go, dear. Thalia butuh waktu," dari belakang Ama menyahut -membelaku. Ama sepertinya masuk setelah aku keras membanting pintu. Sebetulnya, aku merasa sedikit bersalah karena sepanjang perjalanan saat Ama menjemput dari sekolah, aku diam seribu bahasa. "Tadi dia di sekolah ada masalah," Ama melanjutkan dan aku pura-pura tidak mendengarkan.

"Kenapa?"

"Bukan masalah besar."

"Lalu?"

Hening.

Aku tahu Ama pasti sulit menjelaskannya, ya? Aku juga. Aku takut Aba marah. Tapi mengingat kejadian tadi di sekolah, kejadian ketika mamanya Mia berbicara dengan orangtua teman-teman yang lain, dan dengan lantangnya mengatakan kalau aku patut dikasihani. Para orangtua itu sedang berkumpul untuk menjemput -Ama belum datang. Waktu aku bergandengan tangan dengan Mia dan Fani, mamanya Mia langsung memisahkan tangan kami.

Aba, Ama... Katanya, aku anak pendosa.

"Thalia? Lemme know. Kenapa tadi?" Suara Aba cukup membuyarkan lamunanku meski terdengar lebih melunak, mungkin karena melihat ada sesuatu yang membasahi mataku.

"Tadi, kata mamanya Mia, aku nggak akan pernah bisa masuk surga."

"Kenapa?"

"Karena, katanya, surga itu ada di telapak kaki ibu. Telapak kaki ibu yang kayak telapak kaki mamanya Mia, atau mamanya Fani, atau Lisda, tapi bukan telapak kaki Ama. Itu apa artinya, Aba? Kaki Ama memangnya kenapa? Thalia nggak ngerti."

Aku mengatakannya dengan jelas, lancar, tidak terbata, tapi di mukaku seperti hujan turun dengan deras. Basah. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah suara-suara orangtua tadi yang berdengung di kepala. Kenapa aku tidak bisa masuk surga? Kenapa? Kenapa sama telapak kaki Ama? Kenapa Ama seperti Aba, dan bukan berpakaian seperti mamanya teman-temanku? Lenih penting lagi, kenapa surga harus dtentukan oleh kaki-kaki terpilih? Bukannya surga ada di atas? Kenapa Aba jadi sedih? Kenapa aku tidak tahu apa pun? Aku merasa jadi orang bodoh sekali.

"Surga..." kata Aba terbata, "Seharusnya Surga bisa ditempuh lewat jalur manapun, termasuk lewat telapak kaki Aba, atau Ama, sekalipun kami keturunan anak Adam," Aba berkata dengan rangkaian kalimat yang saat itu sukar kupahami. Aku kembali bertanya bagaimana rupa Surga, apa yang dimaksud dengan telapak kaki anak Adam?
Alih-alih mendapatkan jawaban, Aba dan Ama hanya memelukku dengan erat.
Dan,
Semakin erat.

***

Mungkin Aba dan Ama lupa tentang masa kecilku yang penuh tanda tanya. Aku pun lupa bertanya. Sebab setelah kejadian itu, selepas kalian memelukku, setelah itu, hidupku berubah. Tak ada lagi kelemahlembutan dari Ama, tak ada pemakluman dari Aba. Kalian menjadi begitu keras mendidik, membabat semua tanda tanyaku, menebas ketakukanku. Menciptakan aku yang hanya perlu memandang dunia dari sisi kalian, harus tutup telinga dari segala gunjing, harus tutup mata dari segala hal yang menurut kalian salah. Aku jadi pribadi yang kaku. Kalian jadi semakin dingin. Aku bisa merasakan hati kalian membeku. Aku menggigil bertahun-tahun.

Ada yang tertinggal dari ingatanku. Dulu, aku juga masih ingat saat aku kali pertama belajar di rumah Mia, ketika kelas empat SD. Tapi pengetahuan baru ini tidak pernah aku cek kebenarannya pada Aba dan Ama. Aku terlalu sayang sama kalian. Aku takut mendapati kenyataan yang tidak sesuai mauku.

"Tadi kakaknya Mia ngasih lihat pelajaran Biologi," Aku ingin sekali mengucapkan itu dengan nada santai yang sebetulnya aku jantungan setengah mati ketika mengangkat topik ini di jam makan malam. Namun, pernyataan itu tidak pernah aku lontarkan. Hanya bermain-main saja di kepalaku.

Aku tahu, sebaiknya aku tidak perlu melanjutkan, bahwa ada penjelasan dari Kakaknya Mia, kalau Aba sama Ama tidak mungkin bisa punya anak. Jadi, sebenarnya, anak siapa aku?

(to be continue)

____

LeuwiPanjang, 2015.

#Fiksi

Rahasia Anak Perempuan yang Tidak Diketahui Papanya

Written by Uni Dzalika


Pa, mari kita berbagi rahasia. Jangan semuanya, sedikit saja rahasia yang perlu kita bagi kali ini, salah satunya tentang… Cinta. Kurasa aku sudah cukup umur untuk membahas ini, kan?

.

1/
Dulu semasa kau seusiaku, ada berapa banyak wanita yang kaucintai sebelum bertemu istrimu yang kupanggil ibu itu, Pa? Perempuan mana saja yang beruntung pernah mendapat perhatian dan kasih sayangmu? Ayolah, jujur saja, tak apa. Seperti yang sudah kubilang, ini rahasia. Tak akan kuceritakan pada siapa pun.

Kalau kau enggan bercerita, biar aku menduganya sendirian. Mungkin, ini baru kemungkinanku saja ya, melihat tampangmu yang penuh karisma dan wibawa seperti itu, mungkinkah ada sesosok perempuan cantik jelita yang tertambat hatinya padamu? Atau... Ada seorang wanita yang sangat berpengaruh dalam pekerjaannya, pernah mencintaimu? Oh! Mungkin, kawan lama semasa sekolah ada salah satunya yang diam-diam mengagumimu?

Dulu, Pa, aku selalu bertanya-tanya mengapa dari sekian banyak wanita yang kautemui, mengapa harus wanita sederhana ini yang menjadi istrimu? Dan, ya Tuhan, aku menemukan jawabannya dua puluh tahun kemudian setelah pertanyaan itu terbesit dalam benakku. Namun, tetap saja sampai kini aku penasaran, ada berapa banyak wanita yang pernah kaucintai sebelum ibu?

.

2/
Sekarang, kuberitahu sedikit rahasiaku. Aku tahu, hampir semua ayah di dunia ini mau tahu banyak hal mengenai anak gadisnya. Dan meski kautidak pernah bertanya, aku tetap ingin memberitahu. Aku sulit sekali jatuh cinta.

Tenang, Pa.

Aku tumbuh sebagai anak yang senang sekali bergaul dan menjadi kuat jika berada dalam sebuah kelpompok, menjadi lebih berkuasa ketika dikerumuni banyak orang, dan aku tidak akan pernah merasa kehilangan kepercayaan diri. Tetapi, aku terlalu apatis untuk jatuh cinta. Aku hanya mencintai segelintir orang yang sebenar-benarnya mencintaiku –istrimu, anak-anakmu yang lain, anak dari anak-anakmu, dan tentu saja dirimu, Pa. Sementara dengan yang lain? Hm. Mari kita persempit obrolan rahasia ini.

.

3/
Ini rahasia soal lelaki –yang pernah aku cintai. Kali pertama aku tahu apa itu pacaran dan urusan percintaan, saat kelas dua SD di tahun 1990-an. Aku tahu kata "cinta" dari tayangan telenovela Paula & Paulina yang gemar kutonton setiap sore. Lalu, seorang kawan lelaki berdarah campuran Belanda-Indo konon mengaku menyukaiku dan mengatakan cinta, walaupun kami tidak tahu apa itu cinta.

Tapi tenang, kami tidak pacaran. Aku seusia itu hanya memikirkan obsesiku untuk membeli apa saja yang kuinginkan. Hanya saja, itu merupakan asalmuasal aku tahu kata cinta.

Aku masih berteman baik dengan lelaki berdarah campuran ini, dia pernah beberapa kali memacari sahabatku dan sekarang ia berkerja di salah satu swalayan di kawasan Ibukota. Kami bertemu sesekali untuk bertukar pengalaman, tapi tidak untuk berbagi kenangan.

.

4/
Ketika SMA, ada seorang lelaki baik hati, kaya raya, cerdas, satu suku, agamis, tampan, dengan fisik yang baik, dan orang yang sesempurna itu hanya kukenal dua hari saja. Ben, namanya. Kami bertemu dalam sebuah acara.

Waktu itu semua peserta asyik bermain di dalam aula dan aku memilih duduk di tangga sebelum masuk ke aula, karena, aku suka sekali menyendiri tanpa alasan. Kau harus tahu, termenung adalah salah satu kegemaranku, Pa. Kemudian, lelaki itu datang dengan senyumanya yang ramah dan tak sedikitpun mengurangi kadar senyumannya –dia lantas ikut duduk di tangga, kami berkenalan, berbincang sebentar soal sekolah masing-masing, kegiatan, kegemaran, kesukaan, kebencian, dan tiba-tiba saja, perasaan.

Eh, aku masih tidak tahu apa itu cinta, tetapi sejak pertemuan itu –sampai lima tahun lamanya, hanya dia saja yang bermain-main di kepalaku meskipun kami telah kehilangan kontak sejak pertemuan itu. Terakhir yang kutahu, ia telah menjadi seorang dokter.

.

5/
Kalau kau tanyakan padaku, tahun mana yang paling kunikmati sepanjang hidupku, aku akan menjawab, yang pertama adalah tahun ketika kau masih ada, tahun ketika nantinya aku menikah, dan tahun 2012. Di tahun itu… Ah, mari ceritakan saja bagian pecintaannya.

Tahun inilah, aku tahu apa itu cinta. Aku pernah meyukai seorang kakak senior yang akhirnya berpacaran dengan sahabatku. Dia baik sekali dan beberapa kali kami berbagi cerita. Pertama, aku menyukainya karena perawakannya yang cakep sekali, dia benar-benar mirip salah seorang artis berinisial V bahkan dia lebih beraura cerah. Dan oh, otaknya yang cerdas, juga kebaikannya. Mungkin satu fakultas tahu bahwa aku menyukainya. Aku memang terang-terangan menyukainya meskipun tidak meminta lebih.

Entah apa kabar lelaki itu, tetapi kabarku, saat sedang suka-sukanya dengan orang itu, aku menemukan seseorang yang membawa cinta. Seseorang ini kemudian jadi lelaki pertama yang keberadaannya selalu kuceritakan pada anak keduamu, selalu kubahas dengan istrimu, selalu kuprioritaskan melebihi diriku sendiri. Namun, cinta yang dia bawakan rasanya aneh, Pa.

Darinya, cinta kadang terlihat melalui tetes-tetes air yang keluar dari mataku dan sesekali kukecap airnya.

Cinta darinya asin.

Cinta terasa ketika jantungku seperti dipukul berkali-kali dan aku jadi sulit bernapas karenanya.

Cinta darinya menyesakkan.

Cinta juga kuterjemahkan sebagai perjuangan. Harus berlari-lari mengejar sampai kakiku rasanya lumpuh, harus setiap kali menggapai hingga seolah tanganku berdarah-darah. Harus menyingkirkan paku, duri, jarum, dan segala yang tajam ; tetapi semakin disingkirkan, malah datang semakin banyak.

Cinta itu, menyakitkan.

Mencintainya membuat aku hancur. Tapi membuang cinta yang pernah dia berikan, justru membuatku ingin sekali menyusulmu, Pa.

Belakangan aku tahu, cinta ada banyak jenisnya, ada banyak rasanya, ada banyak bumbunya. Yang kurasakan darinya, hanya satu dari sekian juta rasa cinta.

Kami pun sepakat membunuh cinta dan bersikap seolah-olah cinta tidak pernah lahir di antara kami.

Walaupun begitu, aku tetap berteman baik setidaknya sampai saat ini. Kau mengajarkanku untk memaafkan dan tetap ramah pada siapa saja, kan, Pa? Begitulah yang kulakukan padanya -tetap ramah. Dia sedang bahagia dengan kesuksesan dan bahagianya yang baru, Pa. Sementara aku, masih tenggelam dalam rasa sakit.

.

6/
Kemudian aku bertemu lagi dengan cinta, melalui seorang lelaki yang kutahu ia baik sekali prilakunya. Ini terjadi di tahun 2014. Seperti yang kuceritakan di awal, betapa aku senang sekali bergaul,

Belakangan ini,

Aku jadi semakin senang menyendiri, membatasi pergaulan, dan berusaha memutuskan hubungan dengan siapa saja.

Bukan apa-apa, jangan khawatir. Aku hanya sedang menjaga perkataan dan perbuatanku.
Ketika aku menikmati duniaku yang sekarang, pelan-pelan aku jatuh cinta dengan lelaki yang porsi bicaranya lebih banyak dariku, Pa.

Berbeda dari aku yang dulu, yang lebih mau didengar, lebih menuntut banyak hal, aku yang sekarang jadinya suka sekali mendengar seseorang lebih banyak berbicara ketimbang aku, mau membagi kisahnya, bercerita dan mempercayakan ceritanya padaku, lalu aku mengomentari seadanya. Aku belajar dari cinta yang kutemui dulu, bahwa menjadi perempuan yang terlau mendominasi tidak banyak mendapat cinta yang rasanya enak. Kecintaanku yang sekarang ini, tidak ada yang tahu selain kau dan tentunya yang sedang bersamamu, Tuhan.

Dia tinggi, berkacamata, putih, sedikit kurus, kami senang sekali berdiskusi, dia juga perokok, dia pintar menggambar, dia baik, tapi dia tidak seperti Papa yang segala-galanya sempurna di mataku, tetapi, kautahu…

Ah, aku lupa berbagi satu rahasia lagi. Tapi biarlah, kusimpan saja sendiri rahasia itu.

.

7/
Pa, aku memang tidak mudah jatuh cinta kecuali ketika hatiku memilih untuk mencintainya.

.

8/
Setelah bercerita sejauh ini, aku yakin kau mau menertawakanku karena aku telihat sebagai perempuan yang sangat bodoh sekali.

Silakan tertawa, Pa.

Aku tidak akan menyalahkanmu yang pergi terlalu dini sehingga luput mengajariku tentang bagaimana menghadapi cinta. Aku tidak akan menyalahkanmu yang belum pernah memberikan contoh atau memberitahu apa-apa yang harus dipersiapkan untuk berdamai dengan cinta. Tidak akan kusalahkan apa pun padamu. Sebab, tanpamu, aku tetap tahu apa itu setia, apa itu pengorbanan, apa itu kasih sayang, dan apa pun yang berkaitan dengan cinta, aku sudah memelajarinya –melalui istrimu.

Itu sebabnya di awal kukatakan padamu, bahwa aku menemukan jawaban mengapa kau memilih menikah dengan wanita yang menjadi ibuku ini. Istrimu wanita sempurna –sungguhan sempurna dalam segala hal. Kita akan bicarakan soal ibu lain waktu.

Percakapan kita sejauh ini bukan rahasia yang ingin kubagi. Rahasia sebenarnya adalah, aku sampai sekarang masih apatis mengenai cinta dan sebangsanya, tetapi aku ingin sekali jadi seperti ibuku –dia yang terbaik dalam segala hal. Waktu kukatakan ini padanya, Pa, istrimu bilang, dia sudah mempersiapkan masa depanku jauh lebih sempurna dari dirinya, dia juga bilang jangan pernah (aku) mencoba untuk menjadi dirinya. Aku harus sempurna saat menjadi diri sendiri.

Perkataannya, kubalas dengan pelukan saja. Tidak membantah, tidak menyanggah.

Tapi,

Aku tetap ingin seperti istrimu. Dia hebat. Dia panutan. Dia segalanya buatku.



~

Kiaracondong – Bandung, 2015.

#ff

Janjiku Seumur Hidup

Written by Uni Dzalika

“Sahabatku delusional.”

“Maksudmu, aku?” Musa yang sedari tadi berjalan di depanku, gegas membalikkan tubuh dan matanya mengerling jenaka. Dengan saksama kupandangi sosoknya yang berdiri tepat di tengah Jembatan Merah Kebun Raya Bogor. Tak ada orang lain selain kami di wilayah nomor sebelas dalam peta –tempat wisata ini sepi pengunjung di hari kerja. Kusadari kontur wajahnya memunyai persamaan dengan besi jembatan ini ; keras dan tegas.

“Kamu itu mantan, bukan sahabat,” kilahku cepat. Kami mulai beriringan menyusuri jembatan yang begoyang setiap melangkah. Kulihat di bawah, air kali mulai surut, memperlihatkan bebatuan besar dan cadas. Seolah siap memecah kepala siapa saja yang ingin melemparkan diri ke sana.

“jadi, dia kenapa?”

“Aduh... Bagaimana menjelaskannya, ya,” kataku mengesah seraya mengembuskan napas pelan. Kuremas pelan tiket masuk Kebun Raya Bogor dalam saku jaket sebelah kiri. Kuakui, sungguh tidak mudah bercerita pada Musa -setelah berpisah empat tahun lamanya. Herannya, pagi tadi ia mengiyakan ajakanku untuk melepas penat dan dengan sukarela membelikan karcisnya. Aku suka caranya yang tidak memaksaku untuk bercerita, memilih agar aku membocorkannya sendiri.

“Dia sakit hati, karena... Saudaranya.”

Kucatat kejadiannya dua bulan lalu, ketika saudara kandungnya berlibur ke Pulau Pramuka, tanpa dirinya. Kudengar, mereka khawatir ia tak memiliki biaya.

“Sejak saat itu...” Aku menghentikan langkah, dan tenggorokanku terasa haus mengisahkan ini. Ada sesak tiap kali mengingat eksperesi wajahnya yang penuh duka. Ya, sejak saat itu, ia selalu membayangkan berada di beberapa pulau indah di setiap kota yang disebutkannya. Ia yakin, suatu hari nanti aku dapat merealisaskikan keinginannya.

“Sejak saat itu, dia delusional?” Musa menebak, aku mengangguk. Dalam ingatanku, kurekam setiap malam ia gemar bercerita tentang pulau di beberapa kota beserta pengalamannya, yang bahkan, belum pernah ia kunjungi.

“Menurutmu, pulau mana yang patut dikunjungi untuk mengilangkan jenuh?”

“Indonesia ini kaya sekali, Sonia. Kau harus mengelilinginya untuk tahu mana saja yang indah.” Musa berjongkok pelan, membetulkan tali sepatunya yang melonggar. “Tapi, cobalah ke Belitung. Pulau yang, mengagumkan.”

Aku mengangguk asal. Musa kembali berdiri, kami melangkah perlahan. “Hm... Begitu, ya. Sepertinya, mustahil ke Belitung,” gumamku pelan.

Kami hampir tiba di ujung jembatan, namun, Musa lagi-lagi menghentikan langkahnya. Ia mengeluarkan gawai dari saku celananya, dan layar depan cekatan mengarah pada kami berdua. Berikutnya, ia memotretku. Cahaya flash menciptakan sekelebat bayangan tentang sahabatku yang duduk di depan teras sambil terus berkhayal, andai suatu hari nanti ia dapat menikmati pemandangan kala langit layung di tepi pantai. Aku menggebah tangan kananku di depan wajah, lantas bayangan tadi buyar dalam sekejap.

“Aku selalu percaya keajaiban, pengabulan sebuah doa. Selama kau punya keyakinan, semesta pasti mendukung,” ujar Musa dengan santai. “Misalnya nih, mungkin saja kita bisa kembali menjadi pacar sepulang dari sini,” ia meneruskan ucapannya sambil menyelipkan tawanya yang khas.

“Sahabatku… Selalu melakukan apa saja untuk membahagiakanku," aku melanjutkan, tak mengacuhkan guyonan Musa. Pikiranku terpusat saat saudaranya berkumpul dan bercerita tentang keseruan liburan itu. Mereka mengabaikan perasaannya yang hanya diam termangu, dengan sejumlah tanya yang tak terlontar. Sepulang dari sana, ia jadi sering berperang dengan praduganya sendiri. Kadang, ia meracau betapa perlakuan saudaranya membuat hatinya terluka, lain hari mengoceh akan keinginannya keliling Indonesia, demi membuktikan pada saudaranya bahwa ia mampu. Bukankah itu hanya urusan sepele? Ah, Gusti. Bagiku, pemikirannya itu kadang menjadi sangat mejengkelkan.

'Kenapa saya tidak diajak? Apa karena saya miskin? Seandainya kamu kaya raya, Sonia... Pasti kamu akan mengajak saya berlibur ke manapun, kan? Tidak seperti mereka yang meninggalkan saya.'

Bisikannya itu terus berulang dalam kepalaku.

Aku tahu persis, dia bukan wanita yang mudah mengumbar rasa. Ia pandai menyembunyikan luka. Adanya kejadian ini, membuatku ingin sekali membahagiakannya. “Aku mau membahagiaknnya, mungkin dengan mengajaknya berkeliling pulau. ini janjiku seumur hidup, Musa.”

“Yah, that's what best friend are for, Sonia. Do, that.”

Aku menangkap getar di dalam saku. Remasan karcis di tangan kiriku berpindah memegang telepon genggam. Kulihat satu nama di layar. Dia, yang sedang kami bicarakan, menelepon. “Panjang umur sekali, dia menelepon,” kataku merajuk. Musa mengendikkan bahu dan mundur perlahan, memberi ruang untukku.

‘Ya, kenapa, Ibu?’
‘…’
‘Eh, ini siapa?’
‘…’
‘Baik, saya ke sana sekarang.’

“Musa, we have to go, now. Ibuku ada di Rumah Sakit Azra. Katanya kecelakaan.”
“Eh? Katamu, itu dari sahabatmu? Kok ibu?”

Aku merasa tidak perlu menjawab pertanyaan Musa. Kutarik lengannya untuk menyamakan langkahku menuju pintu utama. Langit mulai melindap dan suara burung hantu terdengar bersahutan di kejauhan.

'Jangan Kau jemput dulu. Aku mau mengajaknya berkeliling pulau sebelum ia pergi menghadapMu.'

Mataku memanas. Aku tak henti berdoa dalam hati.



_____________________


1/ Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .

2/ 722 kata tanpa judul dan catatan kaki .

Yuk Berlangganan!

Nggak mau ketinggalan informasi dari blog ini? Let's keep in touch! Tinggalkan alamat e-mail kamu dan dapatkan review artikel, tutorial, serta tips menarik secara gratis! :)

  • About Dza
  • About
  • Shop
  • FAQ
  • Explore
  • Lifestyle
  • Tips
  • Salero Uni
  • E-commerce
    Connect

Copyright Forever Young Lady All rights reserved. Design by Jung - Good Ideas. Great Stories.