Dulunya, Pengembara ini sepasang. Aku dan seseorang --Kau. Dua tubuh, dua pemikiran, dua dunia, dengan begitu banyak kesamaan. Hal yang paling kuingat mengenai dirimu ialah, tanggal dan bulan ulang tahun kita yang sama, serta sebuah surat yang kautulis dalam kertas origami berwarna ungu.
Saat kau mengatakan kita telah tersesat dan lebih baik memilih jalan masing-masing, surat itu masih tetap kusimpan hingga kini. Bukan apa-apa. Aku tidak mengharap kita menjadi sepasang pengembara lagi. Aku tidak ingin ada sesuatu di antara kita, dan aku tahu kau pun tidak menginginkannya.
Akan tetapi, setiap kali membaca surat tersebut, pikiranku surut akan masa-masa itu ; air mineral di jam makan siang. Dandanan yang natural saja. Jaket sebagai teman pulang. Nasi goreng di pinggir jalan. Minuman kaleng di halte bus. Sate Padang di depan gedung. Aroma sabun mandi di tubuhmu yang melekat dalam surat. Segala perlakuanmu padaku, mengendap dalam ingatan.
Kenangan itu berkelindan. Waktu kita tersesat, segalanya memang terasa pahit. Tetapi aku hanya ingin mengingat segala hal baik. Dan karena mengingatnya, perasaanku menjadi hangat. Gigil yang datang karena berbagai alasan mampu hilang karena suratmu. Isinya begitu tulus --mungkin kaulupa pernah menulis apa. Tulisan empat paragraf di dalam origami membuatku yakin bahwa aku berharga. Menjadikan aku begitu bahagia sebab pernah dicintai sebegini mewahnya.
Surat itu tetap kusimpan walau aku sudah memutuskan untuk tidak lagi menunggumu. Aku mengenal seseorang. Aku berhenti menunggumu dan melangkah menuju dunianya.
~
Ketika aku mantap memutuskan untuk menjelajahi dunianya, hal-hal yang kulihat dan kurasakan benar-benar membawa kenangan tentang aku yang dulu. Tentang aku yang katamu, bukanlah seperti kebanyakan perempuan lain.
Aku tidak pernah bilang aku berbeda dari semua perempuan yang ada di dunia ini. Menjadi berbeda itu menakutkan. Kau tentu tahu bagaimana rasanya dipandang aneh dan dilihat terus menerus dari kepala sampai kaki, dan dibicarakan sepanjang hari seolah-olah aku tidak mengetahuinya. Mereka bilang aku berbeda. Kau pun mengatakan hal yang sama. Aku tidak mau jadi yang berbeda. Tetapi, berpura-pura menjadi sama seperti kebanyakan orang, sebetulnya terlihat memuakkan.
Dan begitulah caraku menilai dia ; Tidak seperti lelaki kebanyakan.
Padanya, terasa sekali sifat yang tak pernah mau mengalah, pemikiran-pemikiran untuk terus mengejar sesuatu, ucapan-ucapan sarkas mengenai apa saja. Dan semakin banyak ia bicara, aku semakin nyaman.
Tiba-tiba saja aku enggan pulang.
Bukannya aku tersesat dan tidak menemukan jalan pulang ; dunianya begitu menarik untuk dijelajahi. Ada banyak tanya yang berkelebat, kumpulan prestasi yang menjadikannya bermartabat, suara intuisi dan logika kerap berdebat, dan gejolak rindu (entah pada siapa), yang tidak pernah ia bebat.
Dunianya bagaikan hutan belantara, dan aku ialah seorang pengembara yang sedang menyesatkan diri semakin jauh ke dalam rimbanya.
Hutan ini seolah tidak terawat, tapi begitu banyak yang bisa dilihat. Aku butuh ribuan hari mencari-cari, apakah ada aku, di dalam dunianya? Aku berharap ia membiarkan aku berkeliling lebih jauh dan berpikir seberapa lama aku sanggup bertahan di dalamnya.(°)
Kau tahu aku pasti sanggup. Dulu, menunggumu selama lebih dari 500 hari saja aku mampu. Dan aku tetap baik-baik saja saat kau akhirnya memang tidak kembali. Dan begitu pun dengannya. Yang kali ini, bahkan aku sempat berpikir gila untuk meninggalkan duniaku dan memilih tinggal di dunianya. Aku sempat mengajaknya mampir. Melihat-lihat isi duniaku. Mengajaknya berkeliling soal masa lalu. Dan dia menemukan jejakmu. Dan dia semakin jauh masuk ke dalam, melihat kegelapan yang pekat di lorong masa laluku. Aku menyesal telah mengajaknya ke duniaku dan ia jadi tahu rahasia-rahasia tergelapku.
Lalu,
dia pergi.
Dia mulai membangun sebuah candi di dalam hutan tersebut, lantas bersemedi di dalamnya, dan menutup semua akses masuk rapat-rapat ; seakan sikapnya ini semacam perlakuan halus untuk mengusirku tanpa bisa didebat.
Aku tidak diterima di dunianya.
Saat mengetahui ini, barangkali kamu sedang menertawaiku. Betapa aku yang dulunya seringkali meninggalkanmu, kali ini dihukum Tuhan. Orang bilang, ini namanya karma. Aku lebih mengamininya sebagai cara untuk bisa merasakan seberapa sakit ditinggal seseorang yang begitu dicintai. Aku tidak perlu mendeskripsikan lebih detail soal sakitnya, bukan? Kau yang paling tahu bagaiamana rasanya.
Aku sekarang paham, tersesat seperti apa yang kau maksud. Dan aku merasakan perasaan itu ; gamang.
Dunianya adalah hutan. Yang asing akan tetap terasingkan. Dia membiarkan aku tersesat sangat, sangat jauh. Dia mengasingkan aku di dalam dunianya. Sampai akhirnya aku lelah dan kakiku penuh luka karena sibuk mencari cara agar masuk ke candi tempat ia mengasingkan diri.
Oh, sebentar. Mungkin pengandaian di atas terlalu berlebihan. Mari kusederhanakan.
Dia, menurutku dia seperti sebuah stasiun Kota. Luas, ramah, dan selalu disesaki banyak pengunjung. Namun, ketika sepi, dia memagari pintu dan tak tak seorang pun boleh di dalam.
Aku berusaha memahami dengan caraku sendiri
; Yang sudah terbiasa sepi, lebih baik dibiarkan sendiri dalam sepinya. Sebab, aku tidak akan pernah mengada dalam ruangnya. Aku tidak akan bisa menggenapi impian-impian ganjilnya. Aku barangkali bukanlah perempuan yang Tuhan kehendaki untuknya.
Aku
Lebih baik pergi.
; Yang sudah terbiasa sepi, lebih baik dibiarkan sendiri dalam sepinya. Sebab, aku tidak akan pernah mengada dalam ruangnya. Aku tidak akan bisa menggenapi impian-impian ganjilnya. Aku barangkali bukanlah perempuan yang Tuhan kehendaki untuknya.
Aku
Lebih baik pergi.
Mulanya aku menunggu. Aku menunggu terus. Tapi lagi-lagi aku mengingatmu. Dan kubaca kembali suratmu. Dan kuingat lagi kesia-siaanku menunggumu. Kemudian, setelah berpikir terlalu terburu-buru, kuambil keputusan untuk pulang dan tidak menunggunya, bahkan tidak ingin dia datang menemuiku lagi. Tidak perlu.
Sekarang aku sudah keluar dari dunianya. Aku membiarkan diriku larut dalam keramaian lorong stasiun yang penuh orang lalu-lalang. Lain hari, kubebaskan diriku terombang-ambing di tengah lautan. Atau sengaja kusesatkan diri di tengah hiruk-pikuk terminal bus. Sampai akhirnya aku benar-benar memilih pulang dan duduk manis, lalu menuliskan segala cerita bodoh ini kepadamu.
Dan dalam kesendirian ini, masih tetap surat dalam origami ungu yang selalu kubaca. Huruf-huruf di dalamnya seperti sebuah nyanyian nina-bobo yang menenangkan. Deret kalimat yang kautulis membuatku kuat. Membuatku berpikir bahwa aku tidak perlu menangis karena keputusanku berhenti menunggunya.
Sama seperti saat kepergianmu ; setetes pun, tidak akan sudi kujatuhkan air mataku untuknya.
Aku telah merelakan dan melepaskan dirinya. Biarlah ia memilih sendiri orang yang ia cintai. Dan aku pun tidak akan berhenti jatuh cinta. Tetapi, tetapi aku berhenti mencari. Aku sudah tidak lagi berkelana.
Bukankah perempuan seharusnya tidak perlu mengembara?
Dan, tenang saja. Kau juga tidak perlu merasa berduka, berpura-pura simpati, atau mengulurkan bantuan. Kau tahu betul aku bisa mengatasinya sendiri. Aku hanya sedang butuh teman bercerita.
Jadi,
Terima kasih kau telah menyimaknya dengan sangat setia.
_____
Z
(20/06/16)
aku mbrebes mili :')
BalasHapus:))
Hapus:"))))))))))))))))
BalasHapus:')
Hapus