"Sebentar. Seperti ada yang salah ," katamu hari itu, ketika langit mega mendung. Aku memerhatikanmu dengan sangat cermat dan menyadari betapa kau tampak begitu rapi. Terlalu wangi. Dan rona wajahmu teramat berseri. Tapi tatapanmu, aku tahu ada yang berbeda dari binar matamu. Padaku, binar itu mulai meredup dan auramu tidak terasa lagi meletup-letup. Apakah kau telah menemukan sesuatu yang lebih segalanya dariku, sayang?
Aku mengamati sekali lagi. Mencoba menebak apa yang sedang terjadi. Kau berubah kaku. Tidak beralaskan sandal jepit berwarna merah yang kerap kaugunakan ketika melangkah bersamaku. Hari itu kau memakai kemeja tanpa motif berwarna biru. Tidak ada lagi kaus kasual yang menjadi pembatas antara peluk kita. Kau bahkan memberi spasi yang sangat lega. Aku tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Tidakkah kamu menyadari? Kita sudah tersesat terlalu jauh," katamu dengan tenang, membunuh hening di antara kita. Orang yang lalu lalang tersenyum dan kita membalas dengan mimik muka yang paling manis. Sekeliling kita penuh sekali yang lalu-lalang, sekadar meyaksikan seberapa romantisnya sepasang kekasih yang mengembara mencari masa depan. Mereka terkagum-kagum mengetahui kau atau aku tidak pernah tertarik pada apa yag menggoda kita selama di perjalanan. Kita serupa aktris yang ditonton dan ditunggu kelanjutan kisahnya. Yang mereka ingin lihat, hanya bahagia dan sukacita. Lantas akan mereka tiru dan jadikan kita sebagai panutan. Yang kita lakukan terus saja ramah tamah dan bersikap sopan santun. Mereka senang melihat kita penuh senyuman dan pelukan yang paling memabukan. Dalam ransel kita penuh bahagia dan cinta. Mereka tidak akan lihat duka pun derita karena kita menyimpannya di bawah telapak kaki. Dan sekarang pun, ketika kau bilang tersesat, kita harus tetap tersenyum pada mereka.
Tersesat, katamu? Setelah melangkah sejauh ini, sepanjang jalan yang tidak tahu kapan sampai ke tujuan, tidak tahu kapan berakhir, tidak pernah memperlihatkan pada orang betapa sakit dan tersiksanya kita melanglah dengan luka dan beban derita yang menancap di telapak kaki...
Dulu sekali, ketika itu, kita merupakan orang yang tersesat. Semua orang seperti berada dalam labirin dan terus saja berputar-putar mencari jalan keluar. Kemudian pada sebuah persimpangan kita bertemu. Katamu, aku adalah yang paling sempurna untuk menuntunmu ke jalan yang benar. Katamu, aku ialah cahaya yang Tuhan kirim ketika kau mulai putus asa. Bagiku, kau itu anugrah.
Kita gegas menjadi sekutu ; berjalan bersama, melewati setapak kecil, hutan belantara, jalan besar, tebing, dan entah jalan apalagi yang selalu kita lewati. Kita tahu ke mana tujuan kita -masa depan.
Lalu, tiba-tiba kau bilang kita tersesat? Kita punya navigasi, kita tidak buta peta, dan kita acapkali berhenti di beberapa titik untuk beristirahat. Kita tahu tempat tujuan kita teramat jauh, dan meskipun di setiap perjalanan kita selalu menjumpai hal-hal yang tidak kita inginkan, asal bersamamu, aku selalu ingin terus melangkah, kecuali hari itu.
Tersesat.
Bukan. Kita tidak tersesat. Jalan yang kita tempuh menuju masa depan itu benar. Walaupun persediaan kita yang berupa tekad, niat, keyakinan, dan kepercayaan, telah menipis, seharusnya kita tetap melangkah, kan? Namun, melihat binar matamu, aku tahu kau menemukan sesuatu -mungkin di persimpangan jalan, menemukan yang lebih menjanjikan ketimbang terus melangkah denganku.
Sayang, kau hanya lelah melangkah bersamaku. Dan tersesat ialah alasanmu untuk menghentikan perjalanan kita. Begitu, kan?
"Lihat. Bukankah perjalanan kita teramat sempurna? Kalaupun tersesat, kita bisa mencari jalan keluar bersama..." ucapku meyakinkan.
"Maaf," katamu parau. Kulihat kauseka keringat di dahimu. Entah kelelahan, atau karena susah payah ingin pergi dariku. Aku ingat dengan jelas kata terakhir yang kauucap itu. Dan, lebih ingat lagi pada kalimat berikutnya,
"Aku harus putar arah, ada sesuatu yang indah di belakang sana, aku harus memastikannya sendiri."
"Oh, itu sebabnya kau rapi sekali."
"Tapi, kalau nanti aku kembali, kau masih mau melangkah bersamaku, kan?"
Aku mengangguk. Aku akan menunggumu.
Dan menunggumu, rupanya hal paling dungu yang pernah aku lakukan dalam hidup.
~~~~
Aku menunggu di persimpangan jalan. Aku menyaksikan apa saja yang lewat di hadapanku. Aku menjumpai orang-orang yang akan mengantarkanku ke masa depan, dan dengan sopan kukatakan aku menunggumu. Orang mulai bertanya ada apa dengan kita, tapi dengan keyakinan yang hampir rubuh kujawab bahwa kau akan segera kembali. Setiap hari, dalam diam, perlahan aku melihat banyak sekali yang berubah di tempat aku menunggumu. Yang lalu-lalang mulai menghilang. Bunga-bunga henti bermekaran. Hujan debu setiap malam. Kita bukan lagi sepasang pengembara yang mereka tunggu kisahnya.
Suatu hari, kala itu siang. Aku mendengar langkah mendekat. Ketika aku menengadahkan wajahku, terlihat dunia di tempat aku menunggumu gersang dan beraura malang. Orang itu mendekat. Ia menunjukkan sesuatu di dalam genggaman tangannya. Berupa angka dan jarum yang bergerak setiap detik.
"Barangkali kau tak punya," katanya sopan. Dia bukan dari salah satu yang suka menyaksikan tentang kita. Dia bilang dia musafir. Dia bilang melihatku seperti gelandangan. Dia tanya padaku sejak kapan aku duduk begini saja. Waktu kukatakan persisnya, dia membelakakan matanya dan menjatuhkan apa yang di dalam genggamannya.
"Sadarkah kau, sudah berapa lama di sini, nona?"
Kami berbincang sebentar dan dia izin melanjutkan perjalanannya. Dia bilang, tujuannya ke Kota Impian. Kukatakan dia mungin saja jalan ke arah yang salah karena dulu kau jalan ke sana dan belum juga kembali. Tapi dia tetap gigih dan katanya, jika di tengah jalan nanti menemukanmu, dia akan memberitahu padamu bahwa aku masih menunggu.
Aku terus menunggumu kembali, dan hanya menunggu yang kulakukan. 1080 hari, sayang. Iya, aku menghitungnya. Kau pergi selama 1080 hari. Selama itu aku hanya diam, menjadi gelandangan yang dungu karena memercayai keditakpastian. Sementara, selepas meninggalkanku, apa saja yang telah kau dapati hingga enggan kembali?
Di hari ke 1082, aku menemukan sesuatu.
"Siapa?" tanyaku hati-hati. Aku dapat melihat wajahnya, tapi masih samar. Dia tidak menjawab. Dia berdiri di ujung jalan dan apa yang dibawanya itu menarik perhatianku. Aku seperti melihat aku yang dulu pada dirinya. Dia kemudian berjalan menjauh. Hari itu senja, awan kemerahan menyebar di langit yang mahaluas. Aku melihat sekelilingku ; tidak ada yang tersisa selain tiang lampu yang masih kokoh berdiri. Sekejap saja, aku memutuskan untuk mengkuti orang tersebut.
Aku terus berjalan hanya untuk mengetahui siapa dia. Aku tahu mungkin aku akan tersesat mengikuti langkahnya, menguntit perjalanannya, tapi kami terus berjalan dengan dia yang memimpin langkah.
Dan aku mengikuti perjalanannya ke suatu tempat yang bagiku tidak asing. Aku melihat impian bertaburan, tanda tanya bertebaran, aku melihat prestasi berjajar, mengingatkanku pada dunia yang dulu kutinggali. Dan seseorang lewat membuyarkan rasa takjubku. Aku meraih tangannya dan memutuskan bertanya. Sekadar memastikan.
"Ini di mana?"
Dia melihatku seperti lalat. Tatapan matanya menelanjangi dari kaki hingga kepala, melongok isi ranselku, dan menarik paksa lengannya yang sempat kucengkram.
"Ini di perjalanan menuju masa depan miliknya," kata orang itu seraya menunjuk dia -orang yang kuikuti tadi.
"Bisakah aku tinggal di sini?"
"Kau harus pulang dulu ke duniamu, memantaskan diri, dan mengurus perpindahannya."
Kau tahu?
Orang itu betul.
Aku harus pulang. Bukan menunggumu, lagi. Aku akan mulai memantaskan diri, dan mengejar orang ini. Aku ingin tinggal di dunianya.
~~~~
Kau tahu? Ternyata ketika tersesat, atau ketika teman perjalanan pergi meninggalkan, aku seharusnya tidak boleh menunggu, aku semestinya mencari jalan pulang, atau jalan menuju masa depan, sendirian saja. Kelak, jika nanti aku tersesat kembali, aku tahu bahwa aku hanya perlu berbalik dan menemukan jalan pulang. Bukan menunggu, diam, tidak melakukan apa pun, seperti yang sudah kulakukan ketika kita berpisah hari itu.
Sekarang, aku PULANG.
Gugusan aksaranya berhasil membawaku pada satu peristiwa disatu masa. kereeen...
BalasHapusAwalnya aku menganggap akan ada sebuah pertemuan mengumpul kembali jejak yang tersesat, tapi ternyata yang tercipta adalah sebuah langkah terbaik untuk saling mencari jalan yang pantas untuk dinyanyikan.
Iya, mencari langkah terbaik itu nggak mudah, banyak prosesnya :) terima kasih sudah baca :)
Hapusmaksudnya tersampaikan,
BalasHapusawalnya gue juga berharap mereka bisa kembali bertemu dan proses menunggunya tidak menjadi sia-sia, tapi bukankah dia bertemu dengan musafir itu juga karena menunggunya, jadi kalo dia gak nunggu trus sadar bahwa dia sudah tersesat, apakah dia akan bertemu musafir yang berbeda. gue rasa ceritanya gak bakalan sama. hahaha
gue penasaran musafir itu seperti apa sehingga dia rela membuang 1082 harinya. Apakah dia akan selalu bertanya-tanya dalam hidupnya ketika hidup bersama musafir, bagaimana jika di menunggu sedikit lebih lama lagi, sesorang itu akan kembali berjalan bersamanya..mungkin ini maksud menyelesaikan perpindahannya yah.
Iya, ini cerita proses move on seseorang. Tapi musafir itu cuma persinggahan sementara, kok. Sekarang si Aku sudah menemukan dunianyabyang baru. Makasih sudah baca ^^
Hapushah kok bisa cuma persinggahan sementara..?
HapusKarena yang bikin dia move on orang yang dia temui setelah si Musafir. Jadi, bahasa gampangnya, si aku abis diputusin, terus ketemu gebetan (musadir ini) tapi nggak pacaran, dan sekarang dia udh ketemu jodohnya yang baru. Gitu :)
Hapuskeren mbak ceritNya
BalasHapuswalau rada berbelit tapi alurnya nyambung dan pas rasanya.
cukup sulit si untuk mengerti maksudnya tapi cukup sya bilng ini keren.
cewek ini memang harusnya gk perlu menungu yg tidak pasti.
bersyukur dia menemukan jalan pulang dan juga menemukan hal baru yang ingin dia jalani
Iya, maaf ya kalau membingungkan. Ini intinya cerita proses move on seseorang, tapi ditulis dengan analogi. Semoga kita semua bisa menemukan jalan pulang kalau tersesat dalam mencintai seseorang, ya. Makasih sudah baca ;)
HapusKeren sih, cuma aku rada bingung sama ceritanya.
BalasHapusAku pikir mereka "tersesat" karena mereka pacaran, lalu ada kata yang memberikan tautan ke tulisan tentang kenapa kok tidak boleh pacaran. Ketika kita lagi sendirian dan jika tersesat ya kita harus cari jalan pulangnya sendiri.
Iya, tautan itu menjelaskan, kenapa hubungan mereka terasa salah. Si aku sadar, dia sudah banyak melakukan kesalahan yang dijelaskan di tautan itu.
HapusDan, ya, kita memang harus cari jalan pulang. Terima kasih untuk komentarnya ^^
Pada dasarnya kita tak boleh berhenti pada satu titik, entah itu menunggu atau enggan bergerak, sejatinya semua itu proses berjalan, proses mencari, jadi jangan diam diri di satu tempat..
BalasHapusAku ingat sama salah satu quotenya Kapten Horvath di film Saving Private Ryan tentang seorang prajurit yang takut maju ketika sedang melakukan invasi di pantai barat eropa, dan kaptai horvath terus memaksa untuk terus bergerak maju meskipun dihujani hujan senapan mesin, mortar, meriam, dia berteriak "YOU STAY HERE, YOU ARE DEAD MEN!" Ya memang betul kata dia, majulah dan hadapi resiko yang ada di depan, jangan takut untuk maju X)
Wah, komentarnya memotivasi sekali, kak. Benar, diam dan tak melakukan apa-apa adalah hal bodoh, mati. Kita seharusnya terus bergerak dan siap menghadapi segala kemungkinan. Terima kasih untuk komentarnya, kak ^^
Hapuskeren mbaaaaaaak :D
BalasHapusseiring berjalannya waktu kita memang harus selalu move on. nggak boleh stuck aja di satu tempat, apalagi coba coba berbalik ke belakang. oleh karena itu emang bener kan kalo analoginya spion dipasang kecil kecil aja :p *opo tho*
ayo pulang, jalan menuju masa depan sudah tampak :)
Iya, saya pun baru benar-benar paham kenapa spion kecil banget. Rupanya begitu ; melihat ke belakang boleh, tapi jalan harus tetap ke depan. Terima kasih sudah baca, ya :)
HapusKerennn Un
BalasHapusAlurnya agak ribet ya :) hehe...
Pelajaran dari cerita ini, hubungan mau selama apa pun kalo bukan jodoh akan terpisah. Ada jalan masing" yang harus ditempuh. Ada poin tersirat bahwa kita harus menyayangi diri kita terlebih dahulu jadi jika suatu saat dia pergi kita akan lebih memperhatikan diri kita tanpa menunggu lebih lama seharusnya kita tahu tujuan ke depan kita akan seperti apa dan mau kemana?
Thanks Un pembelajarannya :)
Wah, kamu menangkap point dalam cerita ini dengan sangat baik! :O terima kasih sudah baca, Bella :)
HapusSeringkali aku merasa begitu, berjalan beriringan menuju sesuatu yang disebut 'masa depan', tapi di tengah jalan, aku merasa bosan, aku juga merasa tersesat, aku lelah berjalan bersamanya, dan aku meninggalkannya, sendirian.
BalasHapusAku mulai berjalan lagi, disebuah persimpangan pun menemukan sesuatu yang baru, seseorang yang rela berjalan bersama menuju sesuatu yang disebut 'masa depan'. Tapi dia lelah, dia merasa tersesat jika terus bersamaku, mungkin ini karma, aku coba tinggalkan, berbalik arah, dan mencoba pulang. Tapi... ternyata dia semakin tersesat, dan mencariku, sayangnya aku sedang berada di perjalanan ke 'masa depan' bersama orang lain.
Kadang aku bingung, harus menunggu, atau pulang. Karena aku tidak tau, apakah yang ku tinggalkan, atau yang meninggalkanku akan kembali menjemputku dalam kesendirian.
Yep, betul sekali. Dan dalam kebingungan itu, segeralah cari orang lain yang bisa menjawab kebingungan kita :) terima kasih sudah baca, kak :)
HapusBerhenti di satu titik di mana kita menjadi padu dalam keadaan yang tidak pasti bukannya pilihan yg baik menurut gue, banyak yg tak terlalu sadar bahwa begitu banyak keadaan yang seharusnya kita temu, namun karena begitu ketidajmauan kita untuk meju, semuanya terlewatkan begitu saja.
BalasHapusAduh.... Keren sih, ceritanya. Ya walupun gue harus galau sesaat buat ngerti alurnya. Hehehe
Iya, benar sekali. Karena diam membuat segala yang bermanfaat terlewat begitu saja.
HapusMaaf ya, kalau ceritanya agak susah dimengerti, nanti akan aku perbaiki lagi. Terima kasih sudah baca :)
Wuah keren nih ceritanya.. pemilihan katanya bener2 syahdu~
BalasHapusGue juga sempet dibikin bingung sama alurnya... mesti mikir dulu biar paham~
Ah, biasa aja kok tulisannya :) Alurnya ini maju-maju padahal, sih. Mungkin karena ini konteksnya full narasi, jadi bingung ya.. Terima kasih sudah baca, bang Edotz. :)
Hapusceritanya bagus
BalasHapusAda kritik?
HapusAgak sedikit membingungkan ceritanya mbak, untuk mengantisipasinya membaca secara berulang ulang.
BalasHapusKeren nih tulisannya, walaupun agak sedikit berat menurut gue hehe...
Ehehehe, bahasanya berat, ya. Maaf membuat bingung :(
HapusAku juga pernah nunggu seseorang, sebelum akhirnya sadar itu hal yang sia-sia. Emang butuh kebulatan tekad dan keberanian mengambil sikap sih biar nggak merugikan diri sendiri.
BalasHapusNice post... :)
Iya, benar sekali, butuh tekad dan tujuan jelas untuk bisa move on :) Makasih sudah baca :)
HapusCerpen ini sekaligus sbg pengingat tuk memantaskan diri ^___^
BalasHapusIya, mati memantaskan diri :)
Hapussetelah diresapi... ini tentang move on kah? saking bosannya menunggu, dia memutuskan untuk memantaskan diri ke orang lain..
BalasHapusRalat sedikit, dia nggak bosan menunggu, cuma dia menemukan alasan untuk berhenti menunggu dan akhirnya move on. Makasih ya udah baca ^^
Hapusoh.. mantap. saya dapat esensi-esensinya..
HapusAku merasa "deg" saat dia yang pergi bertanya apa masih mau berjalan bersama ketika kembali dan dijawab dengan anggukan. Serasa pernah mengalami, tapi aku masih mendamba lupa hahaha.
BalasHapusSeperti biasa, kalimatmu apik. Tapi kurasa ada satu paragraf yang mengganggu di awal menuju konflik. Bukan mengganggu, sih, hanya kurang rapi. Di bagian ransel dan telapak kaki. Kurasa di paragraf itu mesti lebih jelas lagi supaya logika pembaca lebih sampai. Itu aja, penggunaan "kau" nanti di Line. :3
Oh, penjelasannya kurang, ya? Oke, akan aku perbaiki agar lebih baik. Terima kasih sudah baca! *bombardir line Tiwi*
HapusBisa aja nih, mbak editor... :D
HapusBingung mau komentar apa. Setelah baca tulisan di sini, blog saya jadi terasa cemen..
BalasHapusGood job!
nice
BalasHapus