Aba, Ama,
Dulu, sejak kecil aku selalu dihadapkan pada banyak hal yang membuatku jadi bertanya-tanya ; Apa itu boleh? Apa itu benar? Bukankah itu salah? Apa itu generalisasi? Apa itu toleransi? Apa itu kelahiran dan kematian? Apa itu tuhan?
Dan semasa kecil, aku, selalu sulit membedakan mana yang benar atau salah. Kadang, di rumah Aba dan Ama bilang itu benar, tapi orangtua temanku bilang, itu salah. Tentu saja batas benar dan salah itu abu-abu, karena persepsi tiap lingkungan pun pendidikan, berbeda. Begitu kata Aba, kan? Namun, satu hal yang pasti, sekarang ini, ketika aku beranjak dewasa, dunia telah menjelaskan sendiri mana yang benar, mana yang salah, mana yang dosa, mana yang tidak ; dunia sudah mengajarkan itu lewat ilmu yang kudapat. Dan ketika aku tahu bahwa aku dibesarkan dalam segala hal yang salah, aku tetap bersyukur memiliki kalian, karena Aba dan Ama selalu mengajarkan aku untuk tetap bersyukur, kan? Aba dan Ama tahu, apa yang salah dalam hidupku?
Ini terjadi dimulai ketika usiaku enam tahun.
***
Aku ingat sekali. Waktu itu umurku masih enam. Kejadiannya pada hari Kamis siang. Begitu sampai rumah sepulang sekolah, aku gegas membanting pintu depan dengan keras. Pun sengaja kulempar tas ke sofa ruang tamu, tergesa melepas dasi, membuka seragam dan melempar lagi, lalu sembarang saja meninggalkan sepatu dan kaus kaki. Masih belum puas, aku membuka pintu kamar, menutupnya dengan membanting seperti yang kulakukan pada pintu depan. Hari itu aku iri. Aku tahu Tuhan telah berlaku tidak adil. Makanya aku mengamuk biar Tuhan lihat. Aku mau menuntut Tuhan kalau Dia datang ke rumah. Tapi sebelum aku teriak kesetanan, Aba keluar dari kamar, masuk ke kamarku dengan tatapan melotot. Aku jelas melihat warna wajah Aba tiba-tiba memerah gelap. "Thalia! Apa-apaan kamu ini!"
"Let her go, dear. Thalia butuh waktu," dari belakang Ama menyahut -membelaku. Ama sepertinya masuk setelah aku keras membanting pintu. Sebetulnya, aku merasa sedikit bersalah karena sepanjang perjalanan saat Ama menjemput dari sekolah, aku diam seribu bahasa. "Tadi dia di sekolah ada masalah," Ama melanjutkan dan aku pura-pura tidak mendengarkan.
"Kenapa?"
"Bukan masalah besar."
"Lalu?"
Hening.
Aku tahu Ama pasti sulit menjelaskannya, ya? Aku juga. Aku takut Aba marah. Tapi mengingat kejadian tadi di sekolah, kejadian ketika mamanya Mia berbicara dengan orangtua teman-teman yang lain, dan dengan lantangnya mengatakan kalau aku patut dikasihani. Para orangtua itu sedang berkumpul untuk menjemput -Ama belum datang. Waktu aku bergandengan tangan dengan Mia dan Fani, mamanya Mia langsung memisahkan tangan kami.
Aba, Ama... Katanya, aku anak pendosa.
"Thalia? Lemme know. Kenapa tadi?" Suara Aba cukup membuyarkan lamunanku meski terdengar lebih melunak, mungkin karena melihat ada sesuatu yang membasahi mataku.
"Tadi, kata mamanya Mia, aku nggak akan pernah bisa masuk surga."
"Kenapa?"
"Karena, katanya, surga itu ada di telapak kaki ibu. Telapak kaki ibu yang kayak telapak kaki mamanya Mia, atau mamanya Fani, atau Lisda, tapi bukan telapak kaki Ama. Itu apa artinya, Aba? Kaki Ama memangnya kenapa? Thalia nggak ngerti."
Aku mengatakannya dengan jelas, lancar, tidak terbata, tapi di mukaku seperti hujan turun dengan deras. Basah. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah suara-suara orangtua tadi yang berdengung di kepala. Kenapa aku tidak bisa masuk surga? Kenapa? Kenapa sama telapak kaki Ama? Kenapa Ama seperti Aba, dan bukan berpakaian seperti mamanya teman-temanku? Lenih penting lagi, kenapa surga harus dtentukan oleh kaki-kaki terpilih? Bukannya surga ada di atas? Kenapa Aba jadi sedih? Kenapa aku tidak tahu apa pun? Aku merasa jadi orang bodoh sekali.
"Surga..." kata Aba terbata, "Seharusnya Surga bisa ditempuh lewat jalur manapun, termasuk lewat telapak kaki Aba, atau Ama, sekalipun kami keturunan anak Adam," Aba berkata dengan rangkaian kalimat yang saat itu sukar kupahami. Aku kembali bertanya bagaimana rupa Surga, apa yang dimaksud dengan telapak kaki anak Adam?
Alih-alih mendapatkan jawaban, Aba dan Ama hanya memelukku dengan erat.
Dan,
Semakin erat.
***
Mungkin Aba dan Ama lupa tentang masa kecilku yang penuh tanda tanya. Aku pun lupa bertanya. Sebab setelah kejadian itu, selepas kalian memelukku, setelah itu, hidupku berubah. Tak ada lagi kelemahlembutan dari Ama, tak ada pemakluman dari Aba. Kalian menjadi begitu keras mendidik, membabat semua tanda tanyaku, menebas ketakukanku. Menciptakan aku yang hanya perlu memandang dunia dari sisi kalian, harus tutup telinga dari segala gunjing, harus tutup mata dari segala hal yang menurut kalian salah. Aku jadi pribadi yang kaku. Kalian jadi semakin dingin. Aku bisa merasakan hati kalian membeku. Aku menggigil bertahun-tahun.
Ada yang tertinggal dari ingatanku. Dulu, aku juga masih ingat saat aku kali pertama belajar di rumah Mia, ketika kelas empat SD. Tapi pengetahuan baru ini tidak pernah aku cek kebenarannya pada Aba dan Ama. Aku terlalu sayang sama kalian. Aku takut mendapati kenyataan yang tidak sesuai mauku.
"Tadi kakaknya Mia ngasih lihat pelajaran Biologi," Aku ingin sekali mengucapkan itu dengan nada santai yang sebetulnya aku jantungan setengah mati ketika mengangkat topik ini di jam makan malam. Namun, pernyataan itu tidak pernah aku lontarkan. Hanya bermain-main saja di kepalaku.
Aku tahu, sebaiknya aku tidak perlu melanjutkan, bahwa ada penjelasan dari Kakaknya Mia, kalau Aba sama Ama tidak mungkin bisa punya anak. Jadi, sebenarnya, anak siapa aku?
(to be continue)
____
LeuwiPanjang, 2015.
wah penasaran nih cerita selanjutnya gimana :D
BalasHapusHahahaha, ndak jelas ini, kak
BalasHapusWah anak siapa jadinya? Aku tunggu kelanjutannya. Ketidakjelasan itulah yang sebenarnya bikin menarik :)
BalasHapus