Halo, Ambu.
Lama sekali tak
berkabar. Sedang apa kau sekarang? Aku dapat alamatmu dari catatan lama yang
kau berikan dulu. Alamat itu kutemukan saat tengah membereskan laci meja
belajar yang tak pernah kusentuh beberapa tahun terakhir. Rencananya, meja itu
akan kubuang karena aku tak sanggup melihat melihat kenangan yang bertumpuk di
dalam lacinya, tetapi kuurungkan niatku.
Sejak kutemukan
alamatmu, kupikir, inilah saat yang tepat untuk berkirim surat. Maaf, jika
surat pembuka ini terlalu panjang dan membosankan, sebab aku sudah lupa caranya
berbasa-basi lewat serangkaian kata. Aku menuliskannya di tengah keramaian dan
ini sulit sekali membuatku fokus. Meski kau tidak tanya atau tak mau tahu, aku
mau mengabari kalau aku berada di salah satu jembatan jalan di wilayah Bogor.
Kau pasti tahu di mana aku sedang berdiri, kau pernah sesekali menghabiskan
waktu di sini, bukan? Tempat ini tak banyak berubah, hanya saja cat hijaunya
kian usang dan pemkot kota tak berniat merenovasi ulang. Ah, semoga suratku ini
tidak mengganggu jam makan atau aktivitasmu yang lain.
Begini, meski
aku tak tahu apa kau masih mengingatku atau tidak, aku ingin sekali kita
bernostalgia, mempertahankan sebuah kenangan agar ia tetap hidup dalam hati dan
pikiran kita. Maka, melalui surat pertama ini, akan kuceritakan kau sebuah
kisah masa lalu, tentang seorang perempuan yang sudah sangat kau kenali tapi
mungkin telah dilupakan banyak orang, termasuk dirimu.
Perempuan itu
kabarnya sudah mati, Ambu. Ia sempat jatuh bangun berjuang hidup di masa
kanak-kanak, dituntut dewasa di usia yang masih belia, pernah juga mengalami
masa kejayaannya, dan lain waktu ambruk begitu saja. Baiklah, surat ini akan
jadi pemanasan otak yang ringan, barangkali kau lupa sama sekali tentang
perempuan ini. Mari kita sebut saja dia, Zi.
Terakhir
kulihat ia sedang berdiri di sebrang Mall Pangrango Bogor dan membiarkan
tubuhnya kuyup terkena tampias hujan. Ahh, itu sudah lama sekali, seingatku di
tahun 2013. Aku mengingatnya ; dia berdiri di sana selama dua jam, memandang
gedung mall usang yang tak lagi berpenghuni. Entah apa yang dilihatnya, tapi
pada sorot matanya bisa kutemui sebuah penyelasan. Ada air mata yang ikut luruh
bersama tetes-tetes hujan di wajahnya. Aku paham, dia bukan memandang gedung
tua itu, bukan juga melihat suatu objek. Dia, sedang menyesali sesuatu, dan
kebetulan saja wajahnya menghadap gedung tersebut. Aku mulai menerka, ia
seperti menyesal, marah, benci, sekaligus merasa kehilangan. Dia mungkin sedang
menjerat lehernya dengan banyak pengandaian agar segala sesuatu yang sudah
terjadi dapat diulang kembali.
Kelihatannya,
perempuan itu sedang patah hati.
Beberapa kali
klakson angkutan berbunyi di hadapannya, dan ada pengendara motor yang
meneriaki untuk segera berteduh, tetapi Zi memilih bergeming. Ia sedang larut
dalam rindu-rindu yang harus ia gugurkan sendiri. Ah, Ambu. Yang kulakukan saat
itu pun ikut terdiam, tak bisa ikut campur, tak juga mengajaknya berteduh. Aku
ingat saat itu sudah hampir sepuluh malam, dan dua orang polisi patroli mulai
menghampiri Zi, lantas bertanya apa semua baik-baik saja, namun jawabnya; Bisa
tembak saya? Ingin sekali mati.
Maaf Ambu,
bukan mauku menakutimu. Tentu saja perempuan itu tidak ditembak mati. Polisi
satu menyebrang jalan, membeli segelas, entah. Aku tak dapat menajamkan
pandanganku karena hujan terlalu deras. Sedang polisi satunya hanya berdiri
mematung menemani Zi, untuk beberapa menit. Begitu tahu perempuan malang itu
sedang patah hati, dua polisi patroli memilih pergi meninggalkan Zi.
Ambu, itu
adalah gambaran terakhir yang kulihat tentang perempuan itu, sebab setelahnya,
keberadaan dia seakan bias, antara masih ada atau telah tiada. Tapi aku masih
mengingat seluruh kejadian yang berkaitan tentangnya, dan kisahnya akan
memudahkan kau untuk berpikir segala benang merah tentang kau, perempuan itu,
dan juga aku. Jadi, bersiaplah, akan selalu kuceritakan padamu tentang Zi di setiap
surat yang akan kukirimkan secara periodik.
Ambu, apa yang
sedang kau lakukan sekarang? Maukah kau kabari aku? Anggap saja aku sedang
merajuk dan berharap kau mau memaafkan kesalahanku. Kita bisa sesekali ngobrol
di kafe kopi kesukaanmu di Bantarjati dan kalau kau tak keberatan, aku yang
akan bayar semuanya. Cepat kabari aku, sedang apa kau di tempatmu.
Yours truly,
Uni
mbak, ini cerita beneran ttg mbak uni kan?
BalasHapusno comment. #eh...
BalasHapusKisah nyaata ini??
BalasHapusnyata bukan ini mbk??
BalasHapusCeritanya bagus sekali.I Like.Ini cerita nyata ya?
BalasHapusUni... aku ditraktir ya...
BalasHapusjangan sedih, Uni. Tunggulah sejenak hingga lega hati. nulis Kopisusu saja yuk...
BalasHapusSuka banget sama tulisannya :)
BalasHapuskereeen :)
BalasHapusnon-fiksi kan ini?
Tagnya sih fiksi. Based on true story?
BalasHapus