Source |
Rumah
bergaya Mediterania seluas lima ratus meter yang terletak di sudut persimpangan
itu, semakin terlihat lenggang. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan
keadaan satu jam lalu yang begitu sesak, ditandai dengan padatnya puluhan mobil
terparkir teratur di sepanjang teras persegi panjang, serta berjejalan berbagai
sepatu mahal dengan bermacam merek di depan pintu masuk. Sekumpulan lelaki
berusia empat puluh –atau lebih mungkin kurang– telah berkumpul di teras depan
sambil sesekali menyeruput kopi Luwak
Arabica yang dibawakan dari dapur,
sementara ibu-ibu berkerumun di ruang utama ; saling bercerita secara emosional
yang dibumbui mertafora sehingga mengaduk perasaan para pendengar, dan obrolan
menjadi ramai karena mereka merasa senasib sepenanggungan. Kelihatannya
keramaian tersebut membuat pendingin ruangan harus berkerja lebih ekstra
memberikan angin segar di ruang utama.
Meja
makan yang diletakkan di sudut ruang utama penuh hidangan berupa makanan yang
dibeli di restoran terdekat. Anak-anak berusia sepuluh dan sepantarnya kerap
lalu-lalang ke sekitar ruangan untuk menyajikan hidangan camilan, dan
memberitahu menu makanan yang tersedia kepada para tamu. Dari dapur menyeruak
aroma daging cincang, soto, juga opor ayam, dan berbaur dengan wangi kembang
kenanga yang dipasang di beberapa tempat. Ada sedikit bau barus, pengharum
ruangan beraroma Lavender, serta susu
bayi yang tumpah, menjadikan udara begitu engap dan memuakkan, tetapi seluruh
tamu pura-pura abai atau memang penciuman mereka tidak tajam.
Sudah
dua jam hanya itu-itu saja yang Shanella lakukan, berkeliling di depan rumah
dan berjalan kembali sampai dapur seraya memerhatikan keadaan dan ia merasakan
kepalanya berdenyut saat melihat ratusan pasang mata yang berkumpul. Tanpa
tawa, tanpa air mata. Hanya obrolan sebagai pemecah suasana serta jabat tangan
yang terus bergilir, dengan pelukan sesekali sebagai formalitas.
Seorang
tetua telah meninggal dunia.
Tetua
itu adalah kakak pertama yang bijak menurut paman-bibi, teman yang murah hati
di mata tetangga, nenek yang penyayang bagi kedua cucunya, ibu bak malaikat
untuk menantu dan anak lelakinya, kecuali Shanella. Ia benci Ibu.
“Shan,
tolong jaga Ibu,” Ghea mengalihkan perhatian Shanella. Ia mengangguk,
melangkahkan kakinya menuju tempat pembaringan Ibu dan membiarkan Ghea pergi ke
dapur sambil membawa peralatan makan yang kotor. Setelah batang hidung Ghea tak
lagi terlihat, Shan kembali memerhatikan keramaian di rumah bernuansa bohemian
itu hingga lambat laun, makanan di atas meja tandas dan orang-orang mulai
beranjak dari duduknya setelah membaca doa-doa pelepasan, kemudian berpamitan
pergi.
Adanya
keramaian yang tidak berselimut nestapa di rumah tersebut sudah seperti tradisi
dalam keluarga besar Shan. Pada prinsipnya, mereka ingin merayakan duka dengan sukacita,
agar yang berpulang tidak nelangsa saat meninggalkan. Entah dengan tradisi aneh
itu, tetapi Shan benar-benar tidak ingin menangis. Ia menengadahkan kepalanya
sejenak dan memastikan kalau cahaya dari kumpulan lampu pendant yang menggantung di langit-langit itulah yang telah menyoroti
tubuh ibu. Shan kembali menyapu keadaan sekitar dan menyadari hanya tinggal
sekumpulan orang saja yang tersisa ; keluarga inti dan anak cucu yang matanya
tetap tergaja sambil sesekali mengusap air mata yang berusaha mereka tahan
untuk tidak keluar, dan Shan –memilih duduk di sisi pembaringan terakhir. Shan mulai
memusatkan pandangannya pada ibu, sambil berkomat-kamit melafalkan doa
mengikuti ucapan yang keluar dari tablet yang diletakkan di sisi kiri kepala ibu
meski ia tak tahu apa yang sedang ia lafakan.
Bibirnya
tetap bergumam pelan dan matanya yang memejam tidak benar-benar mengjaknya
tidur. Ia tidak dapat tidur dengan rasa sakit di kedua sisi dahi seolah ada ujung
jarum pentul yang terus menerus menusuk. Ia teringat kejadian sore tadi, ketika
langit berwarna layung dan hampir seluruh kerabat datang berduyun-duyun sambil
terkesan habis menangis mengetahui kepergian Ibu tersebab diabetes yang
dideritanya. Mengetahui kabar tersebut selepas pulang sekolah, ia merasa
jantungnya terlalu cepat berdetak lalu melorot ke perut dan kembali membuat
kerusuhan di sekujur tubuh. Kedua tumit kakinya lemas dan darah berdesir serasa
ribuan semut berlari-lari.
Shan
tahu tubuhnya bukan bereaksi karena kehilangan. Ia mencemaskan sesuatu.
Shan
memutuskan untuk di rumah saja ketika keluarga sepakat membawa Ibu ke rumah Alvin
–kakak sulungnya. Sejak kepergian Ayah pada usia Shan yang ke sepuluh, Ibu yang
hanya tinggal berdua dengan Shan memang memutuskan untuk tetap di kampung. Dan
Shan yakin, kematian mendadak Ibu pasti membuat Alvin begitu terpukul karena
mereka berdua sudah terpisah sejak Alvin menikah dengan Ghea.
“Ibu
mengurusmu belasan tahun, Sempatkanlah mengurus kematian Ibu yang hanya
beberapa jam,” ucap Ghea sambil mengecek ponselnya. Matanya menunggu kabar
keberadaan mobil jenazah yang belum kunjung datang.
“Aku
ada eskul dan les.”
“Kalau
menurutmu itu lebih penting, biar Abang yang urus Ibu,” sambung Alvin yang
entah itu kalimat dukungan untuk Shan atau semacam satire. Dan karena teguran
itulah ia terpaksa batal les lalu
memutuskan selalu di samping pembaringan terakhir Ibu, sampai malam ini. Sebagai
formalitas tentu saja, sebab, ia benci Ibu.
Ia
membuka matanya dan merasakan kelopaknya begitu lengket, meminta untuk memejam
kembali tetapi penglihatannya keburu menangkap wajah Ibu dan pandangnnya jadi
tidak bisa lepas. Ada beberapa bekas luka bakar di sekitar wajah dan tangan
yang telah mengering, dan bekas tersebut membawanya pada ingatan di mana semua
itu didapat. Dari dulu, ia tidak pernah peduli saat Ibu selalu mengeluh jika
penggorengan terlalu kecil hingga minyak berlompatan ke wajahnya. Ia tidak
pernah tahu keluhan Ibu disebabkan karena luka-luka itu, kecuali hari ini.
Shan
mengedarkan pandangannya ke ruang utama rumah Alvin yang begitu megah dan
mewah. Kata Ghea, bangunannya memadukan konsep Timur Tengah dan Mediterania.
Kakak iparnya memang suka sekali gaya boho-chic
dan seisi ruangan penuh dengan pernak-pernik etnik. Berbeda dengan rumah yang
ia tinggali bersama Ibu di kampung, hanya sebuah rumah tipe 21 yang akan
kebanjiran jika hujan, pengap ketika musim panas. Rumah ini, tersedia empat
kamar serta kamar mandi yang nyaman dipakai berlama-lama. Di rumah Ibu, kamar
mandi mereka atapnya bolong dan pintu akan terbuka sedikit meski sudah diganjal
dengan tali rafia yang dikaitkan ke paku. Kadang pakunya terlepas sendiri
karena tidak kuat menancap di bilik. Kadang pula menggores lengan atau menusuk
kaki Shan ketika terlepas dari bilik. Shan berandai-andai untuk ikut menetap di
sini, tapi kalau ia harus sendiri di kampung, baginya itu akan jauh lebih baik.
Kepalanya
berdenyut lagi. Kali ini bukan hanya seperti jarum saja, ia merasa ada batu
besar yang jatuh berkali-kali menimpa kepalanya. Pagi ketika ia di sekolah
tadi, Shan baru saja berdiskusi dengan guru Bimbingan Konseling di sekolah dan
beliau mengatakan adalah hal yang wajar memiliki perasaan yang berganti-ganti
saat remaja. Tapi bukan jawaban itu yang Shan inginkan. Ia hanya tidak mengerti
mengapa Ibu terlalu memiliki banyak aturan dan melarang banyak hal padanya. Kebencian
Shan semakin menggila saat ia pulang, dan menemukan Ibu tengah berbincang
dengan seorang tetangga yang bahkan tak dikenali Shanella.
“Yah,
begitulah, bu. Bersikap adil itu memang susah. Namanya juga manusia,” tetangga
yang lebih mirip orang asing itu berucap. Entah apa yang mereka katakan sebelum
ini, Shan tidak dapat mendengarnya.
“Iya.
Saya, walaupun merasa sudah adil pada dua anak, kadang merasa kasih sayang saya
lebih banyak untuk si Sulung. Avin memang anak kebanggan, kesayangan, tapi–”
“Si
bungsu?”
“Ah,
apa yang bisa diharapkan pada Shanella di usia sekarang? Itu anak tomboy,
tukang onar di sekolah, malas, beda sekali sama abangnya. Mungkin nanti–”
“Wajar
sih, saya juga bangga sama anak sulung saya.”
“Ya
memang rahasia orangtua, pasti ada salah satu yang dibanggakan di antara yang
lain, buat saya Alvin –”
Shan
menutup telinganya dan langkah kakinya tergesa memasuki rumah. Ya memang rahasia orangtua, pasti ada salah
satu yang dibanggakan di antara yang lain… Apa iya? Apa semua orangtua pilih kasih? Apa benar begitu? Batin
Shan muai berkecamuk banyak pertayaan. Ia berharap Ibu pergi jauh darinya atau
kalau tidak pergi, setidaknya Ibu merasakan luka agar tahu seberapa sakit
perasaan Shan.
“Shan,
pulang kok langsung ngeloyor aja. Itu
coba ke dapur, Ibu masak ayam rica-rica sama air panas buat kamu mandi,” ucap
Ibu setengah berteriak di depan rumah. Dari balik jendela kamar Shan bisa
melihat tetangganya melongok untuk mengetahui apa yang terjadi tetapi Ibu degan
sigap membwa tamunya keluar rumah dan mereka berbincang kembali. Lantas Shan ke
dapur, menyalakan lagi kompor dan membuat air dalam panci mendidih. Dibawanya
ke kamar mandi dan tumpahkan ke dalam bak kosong.
Ah, apa yang bisa diharapkan pada Shanella?
Pernyataan tersebut
sungguh membuat dadanya sesak dan kepalanya sakit. Shan mengusap kedua matanya
yang basah. Ia tidak mengerti mengapa kedua bola matanya mengeluarkan air yang
teramat asin ketik menyentuh bibirnya. Ia urungkan untuk mandi dan keluar
dengan tergesa, gegas menyambar tasnya di kamar dan mengabaikan paku kamar
mandi yang terjatuh dan lekas pergi dari rumah –masih mengenakan seragam.
~
“Belum tidur, Shan?” Alvin menghampiri Shan
dan itu membuat ia tersadar dari kejadian hari ini. Ditatapnya wajah Alvin
serta Ibu bergantian, dan ia menemukan bahwa
keduanya memiliki keteduhan yang sama. Alvin punya banyak kemiripan
dengan Ibu, kornea matanya berwarna cokelat dan tulang hidungnya begitu mancung,
ditambah dengan sifat otoriternya, dan kesuksesan Alvin dengan segala jabatan
serta rumah mewah ini, membuat Shan semakin sakit.
“Sebaiknya
kamu tidur, Shan. Dan ganti baju dulu gih,” kata Alvin seraya mengacak rambut
Shan yang bercat burgundy dan mencium
dahinya. Shan menekuk dagunya dan menyadari ia belum sempat mengganti pakaian
seragam sekolahnya. Pakaian terakhir yang disetrika oleh Ibu.
~
Cahaya
matahari menyambut kedatangan orang-orang yang kembali berkumpul dan suasana
kembali ramai menjelang prosesi pemakaman. Shan mendengar beberapa kolega yang berbasa-basi
soal pekerjaan dan jadwal tiket penerbangan ke Cordoba, Belfast, Yorkshire, Dubai,
dan entah ke mana lagi, yang sudah mereka beli untuk dipakai selepas mengantar
jenazah Ibu. Mobil melaju dengan kencang dan beriringan menyesuaikan sirene
ambulan. Ada lima belas mobil pengiring, satu mobil pengantar jenazah di depan,
dan dua motor polisi yang mengawal. Mobil hitam Ghea berada di posisi ketiga
dan hanya Shan yang ada di kursi sebelahnya, dua anaknya di kursi belakang.
Alvin memilih di mobil jenazah agar tetap dekat Ibu.
Alvin memang anak kebanggan Ibu.
Apa yang bisa diharapkan pada Shanella?
Kalimat
itu terngiang lagi dan Shan gegas menyetel lagu untuk memecah keheningan
sekaligus menghilangkan ucapan Ibu dalam ingatannya. Sebuah lagu Big Girls Cry
dari Sia mulai mengalun sepanjang jalan. Bibirnya sedikit menggumam mengikuti
lirik yang sudah ia hafal di luar teks.
“Kamu
kelihatanya takut. Ada apa?” Tangan kiri Ghea mengecilkan volume dan mengajak
Shan berbincang. Shan menoleh ke kanan, melihat kakak iparnya yang tetap
menatap lurus ke arah jalan.
“Nanti
kalau kamu sudah dewasa, kamu akan tahu kalau Ibu itu sayang sama kamu,” lanjut
Ghea tanpa perlu menunggu respon Shan. Ia melihat sudut mata Ghea basah dan
mulai meleleh di pipi kirinya.
“Aku…”
ucap Shan terbata. Kalimatnya terputus melihat lokasi permakaman semakin dekat
dan sirene masih menggema sepanjang jalan. Ia tahu sepulang dari sini, tidak
akan ada lagi yang melarang apa pun yang ingin ia lakukan tetapi, itu juga
menjadi penanda tidak ada lagi yang memberinya makan, mengurus keperluan
sekolahnya… Tiba-tiba jantungnya berdegub sedikit lebih cepat dan kedua telapak
tangannya meremas sisi sofa mobil. Ada sesuatu yang kembali mengaduk perutnya
dan mata Shan mulai memanas. Ghea benar, mungkin ia akan menyesal. Shan
menggigit lidahnya agar air matanya tak jatuh. Ia tak mau menangis. Tapi ia
benar-benar baru merasa kehilangan.
“Aku…
Boleh cerita sesuatu? Tapi… Janji, ini rahasia,” Shan melanjutkan kalimatnya.
Ia mengigit bibir bawahnya dan memalingkan wajah ke sisi jendela sambil
menunggu Ghea bersuara. Ada jeda sekian detik setelah terdengar desahan lalu
suara lembut Ghea terdengar. “Selama ini, aku selalu jaga rahasia, kan?”
Shan
menagngguk. Ghea memang sudah banyak sekali tahu rahasia yang tidak pernah
diceritakan pada Ibu bahkan Alvin. Ia menelan ludahnnya dua kali. “Aku–”
“Mm?”
Alvin memang anak kebanggan Ibu.
Dan apa yang bisa diharapkan pada
Shanella?
Potongan
dari perkataan Ibu kembali terngiang di dalam pikiran Shan. Ia alihkan wajahnya
dari Ghea dan menekuk dagunya rapat ke tulang selangka. “Kenapa… Ibu pilih
kasih, ya?”
“Abangmu
pun berpikir yang sama, Shan. Katanya Ibu lebih banyak sayang ke kamu dibanding
Alvin.”
“Ibu
banyak bangganya ke Abang.” Shan mendengar kakak iparnya tertawa sejenak. Ia
merasakan tangan kiri Ghea menyentuh bahunya pelan dan menarik dagu Shan agar
menoleh ke kanan, sehingga matanya sejajar menatap Ghea. Kakak iparnya menggeleng
lemah, lalu menengadahkan wajahnya sebentar, seperti berusaha menahan air mata
agar tidak jatuh. “Kalau ada yang mau dilakukan Alvin dan aku sekarang… Itu
bukan bertanya kenapa Ibu pilih kasih, tapi memeluk Ibu dan menangis di
kakinya, Shan. Kaki Ibu tempat surga bermuara.”
“Tapi
kaki Ibu beda dengan kaki ibu-ibu yang lainnya, Ghea,” kilah Shan cepat. Ia
ingat ketika Ghea dan dirinya berada di ruang pemandian dan melihat kaki Ibu
yang telah disemuti kain batik dan kondisinya membuat bulu tengkuk Shan
meremang. Sepasang kaki Ibu di bagian tulang kering membusuk. Dokter mengatakan
kalau penyakit diabetes lah yang telah menggerogoti kesehatannya. Kejadiannya
cepat sekali, kedua kaki Ibu melepuh karena tidak merasakan air panas yang Ibu
gunakan di dalam bak mandi sore tadi. Selain itu, kedua telapak kaki Ibu di
bagian antara ibu jari dan telunjuk terkelupas kulitnya sejak dua hari lalu
karena sendal jepit yang Ibu pakai, sempurna mempercepat kepergian Ibu.
“Tetap
saja surga ada di bawah kaki Ibu. Omong-omong, tadi ada rahasia apa?”
“Uh,
itu…” kalimat Shan terhenti bersamaan dengan rombongan mobil yang berheti
tempat di lokasi permakaman. Ghea masih menunggu ia melanjutkan ucapannya
tetapi kepalanya berdenyut kembali dan ia muali ragu untuk bercerita kejadian
sore kemarin. Andai saja ia tidak memanaskan air tersebut, andai saja tidak ia
tuangkan ke dalam bak, andai saja ia tidak semena-mena keluar rumah tadi sore… Dan kenapa Ibu tidak merasakan panas? Kenapa
Ibu harus pakai air itu?
Ia mengkhawatirkan
sesuatu. Ia telah membunuh Ibu. Ia pembunuh.
Ah.
“Tidak
jadi,” sambung Shan sambil membuka pintu mobil.
________________________
Catatan : Sejak bulan Januari, seorang tokoh yang mengaku bernama Shanella datang ke mimpi saya dan meminta namanya dituliskan dalam sebuah cepen melalui tangan saya. Namun, sejak vakum bulan Desember 2014 kemarin, saya begitu kaku menulis cerita dan bingung bagaimana mengeksekusinya. Saya bahkan sudah menulis cerpen sebanyak sepuluh kali dengan tokoh bernama Shanella, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Ini adalah cerpen kesebals yang sejujurnya, masih kurang puas, tetapi semoga Shanella senang dan berhenti menghantui saya dalam mimpi.
Wah serem banget Mbak. Jadi Shanella itu sebenernya siapa?
BalasHapusSiapa di mana, nih? Di cerita, ya anak kandung ibunya, adiknya alvin. :) Kalau di catatan, maksudnya aku beberapa kali selalu keingat nama "Shanella" dan berpikir untuk memhuat dia jadi salah satu tokoh cerita. Dan inilah ceritanya. :)
Hapusoh.. dikira mimpiin hantu shanella, hihihi.
Hapusbaper kak baca beginian, jadi inget bapak aku :")
Nggak ada hantu muhahahaha. Sama, kangen bapakku juga jadinya :(
HapusBaru mampir ke sini lagi Uni. Hehehehe.
BalasHapusHmm, di ending kok agak kurang puas, ya?
Pas baca catatan, ternyata habis vakum. :D
Tapi tulisan Uni mah tetep enak dibaca, walaupun panjang-panjang. Eak. :D
Iyaaaah ini baru nulis lagi setelah vakum lama. berasa belajar dari nol lagi ih.
HapusSaya membaca ceritanya, ini bagus dan dengan diksi yang enak juga buat dibaca.
BalasHapusPas baca note, saya kaget
itu beneran mbak, ngak ngada-ngada?
serem banget kalau emang didatangi yang seperti itu dalam mimpi.
Terima kasih sudah baca. Ini sungguh diksinya masih standar, doakan tulisanku bisa lebih baik dari ini, ya.
HapusSoal mimpi, jadi begini. Aku sering banget mimpi dan ketemu orang asing, lalu kenalan. Nah, setiap orang dalam mimpi sebut namanya, pas bangun, aku selalu jadikan buat nama tokoh. Kebetulan mimpi beberapa kali orangnya ngaku bernama Shanella.
ih keren ceritanya. Endingnya Shanella ngerasa kalo dia pembunuhnya. Emang sih kasih ibu gak akan pernah tergantikan. Apalagi kalo ibu udah gak ada, kerasa banget kehilangannya :(
BalasHapusYap, dia merasa udah membunuh ibunya, padahal ibu memang sakit. Ini karena miskom dan si anak masih remaja jadinya nyerap semua informasi secara asal. Hehe. Makasih kak, sudah baca.
HapusSalam kenal kak, aku baru pertama main disini atau kedua ya aku lupa nih
BalasHapusPas baca awalnya kukira ini suasana lebaran gitu, ternyata.. Jadi penyebab ibunya shanella meninggal itu gara-gara mandi air panas yang dituangkan shanella dulu, tapi bukannya itu air yang digunakan buat shanella mandi? Sedih juga ya jalan hidupnya shanella.
Ceritanya bagus kok kak, kayaknya mesti belajar dari sini unuk membuat cerpen yang baik
Iya, betul banget. Konon, orang yang sakit diabetes itu ga bisa merasakan sakit atau panas. Nah ibunya ga merasakan itu. Tapi poin penting dalam cerita ini sih, mau ngasih tahu kalau ibu mana pun selalu sayang sama anaknya, kadang kita sebagai anak suka salah kaprah menyikapi perlakuan orangtua, kan. Cmiiw. Terimabkasih sudah mampir dan semoga mampir lagi di kemudian hari.
HapusSeseorang, apalagi ibu, memang kadang terlalu dipedulikan ketika hidup, bahkan mungkin kita membencinya. Saat beliau sudah tiada, baru kita ingat jasa-jasa beliau, kalau masih hidup, kebanyakan cuma mengingat saat beliau marah, ah, jadi kangen ibu :')
BalasHapusWalaupun bilangnya lama vakum nulis, ceritanya lumayan seru lu. Bahasanya ngalir dan diksinya juga kayak penulis pro gitu :)
((Kayak penulis pro))
HapusAh, akumah kumpulan uban yang dicabut, kak. Masih cetek banget buahahahaha.
Iyanih, aku juga selesai nulis ini langsung peluk nyokap, kangen tiba-tiba, muahaha. Thanks for stopping by, kak.
Mbak tulisannya agak kurang ngalir pas diawal cerita menurutku, soalnya aku msh mencerna2 tulisannya (hehe..) tp seterusnya bagus kok, apalagi endingnya... serem...
BalasHapusKurang ngalir ini, mungkin karena kebanyakan deskripsi, ya, jadinya membingungkan? Makasih lih, sudah baca dari awal sampai ending. Ada kritik lagi?
HapusWalaupun sempat vakum menulis, tapi tulisannya masih enak kok buat dibaca. Jujur, gak tau mau komen apa lagi. Seandainya saya bisa menulis kayak gini. Saya coba deh kapan-kapan, hehe. :D
BalasHapusApakah itu benar, Shanella datang ke mimpi?? :)
Hi Ilham, tulisanmu mungkin aja lebih bagus dari aku, kapan-kapan aku mau belajar dong, sama kamu, hehe. Makasih sudah baca, ya. Ini masih banyak kurangnya, duh.
HapusAda yg main ke mimpi namanya shanella, lalu aku tuliskan kisahnya menurut versiku. Gitu. :)
Blusukan pertama ke blog ini nih, salam kenal ya.
BalasHapusjadi ini cerpen terinspirasi dari mimpi yang terus-terusan menghantui ya ? oh ya kalau bolh tau stella itu apanya lo ya, kok bisa-bisa masuk ke mimpi lo terus ? keliantannya cerpennya agak misteri nih. hehehe
walaupun dibilang udah lama vakum gak nulis, dari rangkaian kata-kata dan alur ceritanya, gak terlalu parah-parah banget kok, konflik yang dibangun juga jelas sekali.
muhahahahaha ini mengalami penurunan kualitas, sih, sebetulnya, ehehehehehehe. makasih ya sudah berkunjung ke sini. Ndak terinspirasi dari mimpi, sih, ini idenya murni imajinasi, yang mimpi itu nama Shanella tiba-tiba sekelebat lewat. ehehe
HapusWah akhirannya kurang greget.. Tapi keren juga, soalnya aku sendiri gabisa nulis kaya gini. BTW untuk Shanella : Aku tau rahasiamu loohh :P
BalasHapusNAH INI DIAAA!!!! Akhirnya ga twist ending jadinya ya begitulah aku juga ga puas hahahah . PSSSt rahasianya jangan diksih tau ya.
Hapus