![]() |
Source |
Kaca yang
luasnya setara dengan dinding ruangan, menjadi pembatas antara keramaian di
luar sana dan ketenangan yang ada di dalam. Panjangnya yang menyentuh plafon
hingga lantai membuat rintik hujan terhalang masuk dan meninggalkan uap yang
membuat pemandangan di luar kaca terlihat bias. Tetapi, Manda bisa melihat
siapa saja yang baru memarkirkan mobil dan keluar satu-persatu, berjalan
beriringan menemui dirinya dan Ajeng yang telah duduk menunggu sejak satu jam
yang lalu.
“Sorry, Nda, Jeng, lama banget ya? Abis
dari showroom. Kampret banget
langsung kena hujan,” ceplos Nadia sambil membuka kancing paling atas kemejanya
begitu tahu yang duduk di meja sebelah mereka adalah seorang lelaki yang
berpenampilan menarik. Tak lama Yessa pun menggelung rambut bagian bawah dan
menjepitnya hingga menjadi sanggul. Heran, di luar hujan dan pendingin ruangan
berembus kencang tetapi teman-temannya belaga seakan cuaca sedang
panas-panasnya. Manda merogoh tasnya dan mengeluarkan tiga helai tisu -untuk
Nadia.
“Yes, lo
bawa catokan, kan?” Nadia kembali menyerocos setelah menerima tisu yang
diberikan Manda. Ia melihat Yessa mengeluarkan benda panjang berwarna hitam
yang mengapit besi. Segera Nadia menyambar dan memasukkan kabelnya ke saklar
kafe. Dari kejauhan Manda melihat dua orang yang sangat ia kenali memangkas
jarak seraya membawa dua buah nampan yang masing-masing berisi kentang serta
spageti dengan porsi ukuran besar.
“Buset, Nad.
Sempet-sempetnya ya, lo catokan di kafe. Parah!” Wina menaruh nampan yang ia
bawa ke atas meja, menyalami Yessa, mendorong halus kepala Nadia dengan
telunjuk kanannya, dan menempelkan pipinya ke kedua pipi Manda. Hal itu
dilakukan juga oleh Maria setelah ia menaruh nampan makanan. Maria bahkan
menarik rambut ikal Nadia dengan jahil. “Nadia gila.”
“Bodo amat!
Gue gila tapi bahagia. Eh Ajeng, mobil lo perawatannya sebulan berapa?”
“Eh beb, tiga
bulan lagi lo nikah, kita nyiapin apa, nih?” Yessa menenggelamkan pertanyaan
Nadia dan begitu mendengar pertanyaan Yesaa barusan, semua kompak menatap Wina.
Yang ditanya malah angkat bahu seraya mengambil kentang di atas nampan dan
mengambilnya sekali lagi, meyuapinya untuk Nadia. Manda mulai mengambil di kentang
ketiga. Ia selalu suka begini. Berkumpul dengan mereka setiap akhir bulan,
membicarakan banyak hal yang mungkin saja jika perbincangan tersebut ditambah
dosa, sudah begitu menggunung. Dan kadang apa yang dibicarakan memang seputar
itu-itu saja tanpa jawaban, karena mereka hanya sibuk bercerita sendiri. Tetapi, bukankah yang terpenting adalah
kebersamaannya?
“Gengs,
bulan depan heng out di mana, kita?” kali ini Ajeng angkat suara ketika pelayan
kafe datang membawa nampan berisi soda, teh, dua cokelat panas, dan kopi dengan
float yang meluap – kesukaan Manda.
“Nikahan gue
nanti sederhana aja. Kalian nggak perlu ribet. Males ngabisin duit. Malah kalau
bisa, cukup keluarga inti, kalian, dan penghulu, tanpa pesta,” ucap Wina
setelah meneguk cokelat panas yang uapnya mengepul di depan wajahnya.
“Iya tuh,
gue setuju! Nanti kalau gue nikah juga gitu, ah. Sederhana aja, di pantai, pas
senja, gausah banyak pesta. Yang penting lo semua ada,” sambung Nadia. Ia
mencabut kabel alat catok dan menggulungnya, menyerahkan pada Yessa. Maria yang
duduk tepat di sampingnya kembali menarik rambut Nadia. Selanjutnya Manda
dengan saksama mendengarkan mimpi Nadia, Yessa, Ajeng, juga Maria, mengenai
pernikahan impian mereka akan seperti apa. Dan semua kompak menginginkan
kesederhanaan karena ingin menciptakan suasana sakral dan khusyuk. Mereka juga
berharap kelak akan tinggal sederhana dengan rumah mungil bersama pasangan
kelak.
Manda hanya
bisa ikut menyunggingkan senyuman, mengannggukkan kepalanya, seolah ia setuju
dengan semua statement dan impian tersebut. Tetapi, hati kecilnya menjerit dan
kedua giginya menggigit gusi di belakang bibir bawahnya, menyembunyikan apa
yang ada di pikirannya. Ia tidak ingin orang tahu pemikirannya tentang imipan
perikahannya – jika ia dibolehkan bermimpi. Disesapnya kopi yang sudah mulai
mendingin dan perlahan mengunyah kentang kesekian.
“Lo
dari tadi belum ngomong, Nda. Mau nikah yang sederhana juga, kan? Asik kan ya,
kalau sepi gitu, kerasa intim,” tanya Maria yang sebetulnya tak memerlukan
jawaban Manda.
“iya
setuju, nggak perlu mewah banget, tah kebahagiaan kan nggak bisa dibeli juga
pakai uang,” Nadia menyambung.
“Iya,
Nda, kalau kamu, maunya gimana?” tanya Wina, mengulang pertanyaan Maria. Manda
meminum kopinya dan berharap kata-kata yang di dalam pikirannya ikut tenggelam
dan dihancurkan di lambung.
“Lo
nggak berpikir mau nikah kayak Raffi Ahmad sama Nagita, kan?”
Presetan
dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kebahagiaan tidak dapat dibeli dengan
uang. Dan lebih menyebalkan lagi orang yang berkata ingin sekali hidup
sederhana dan dijauhkan dari harta melimpah. Sungguh, presetan. Menurut Manda,
mungkin, mereka terlalu banyak menonton telenovela atau drama Korea sehingga
memimpikan kesederhanaan, dan jelas saja karena mereka terlahir dari keluarga
berada membuat mreka merasa uang bukanlah segalanya. Namun, tidak bagi Manda.
Baginya, justru kebahagiaan itu didapat ketika ada uang.
Jika ada
uang, ayahnya tidak akan mati dihajar para preman karena tidak membayar sewa
kios. Jika ada uang, ibunya sudah pasti duduk sehat di depan beranda rumah
sambil menunggu kepulangan Manda setiap pulang kerja dan tidak perlu berbaring
di ranjang selama belasan tahun sejak ayah wafat. Jika ada uang, adiknya Bimo,
mungkin saja akan menjadi sarjana sains dan dikenal karena pekerjaannya di
dunia IT, sementara Manda bisa memakai uang untuk mempercantik diri agar
diterima kerja di salah satu perusahaan besar dan ternama di Jakarta Selatan.
Jika ada uang, Manda seharusnya pergi memakai mobil pribadi ketika datang
kemari berkumpul dengan kawanannya, bukan memakai angkutan umum yang ia bayar
dengan sangat pas ditemani dengan sepatu lusuhnya. Jika ada uang, ia bisa saja
memberikan sedikit recehnya pada para tuna wisma yang memelas dari balik kaca
kafe di tempat yang ia duduki sekarang.
Dan jika ada
uang, ia tidak mau merayakan pernikahan yang baginya hanya sekali seumur hidup,
dengan sederhana. Ia ingin segala yang megah, bertabur pernak-pernik mewah,
acara yang meriah, dan itulah sesungguhnya kebahagiaan. Uang, adalah sumbernya,
seperti mata air yang hadir di tengah oase. Presetan yang berkata bahagia tidak
bisa dibeli dengan uang. Bagi Manda, yang berkata begitu pastilah bukan orang
yang mudah bersyukur atau tidak tahu caranya memanfaatkan apa yang dimiliki. Tetapi,
sekali lagi, Manda hanya menarik sedikit bibirnya, tersenyum simpul dan
membiarkan teman-temannya tak pernah tahu bahwa kebahagiaan di matanya adalah,
jika ia memiliki harta melimpah ruah.
“Ah, lihat
aja nanti,” Manda mengibaskan telapak tangan kanannya ke depan wajah tepat
setelah kopinya habis.
Manda
kembali larut dalam pikirannya sendiri sambil menatap ke luar kafe. Ia percaya,
mungkin, itu sebabnya, ada pepatah yang mengatakan bahwa bahagia itu relatif.
Ya, dikarenakan apa yang tiap orang inginkan, dilihat dari sudut pandang yang
berbeda. Dan untuk itulah, ada peribahasa “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang
kemudian,” guna mengingatkan, betapa untuk mendapatkan bahagia, tiap orang
harus rela bersusah payah. Dan untuk itulah Manda ada di sini. Ia mau bahagia,
ia harus bersusah payah meraihnya.
“Gaes,
kayaknya aku harus balik ke dapur. Bentar lagi shift aku, nih,” ucap Manda
memotong pembicaraan yang masih tentang kesederhanaan. Di luar hujan mereda dan
seorang nenek renta menghadap ke mereka – meminta iba. Tiba-tiba saja Manda ingat
ibu di rumah, dan Bimo yang entah sedang apa.
“Nggak
bisa nanti aja? Jarang kan kita ngumpul gini.”
“Aku
harus kerja,” Manda menjawab seramah mungkin. Walau jam kerjanya masih empat
jam lagi, tetapi, untuk kali ini ia tak lagi sanggup mendengarkan ocehan dan
cerita teman-temannya, yang sibuk membahas tentang apa-apa yang tidak pernah
bisa Manda miliki.
Ia
ingin kaya raya, seperti mereka.
thanks for stopping by, kak.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAgree~ :)
BalasHapusAh kerasa banget.
BalasHapusSering nasehatin diri sendiri kalau uang bukan sumber kebahagiaan. Tapi ya gimana ya, ribet emang hidup sekarang mah ah. Jadi pengen nikah megah-megahan juga.
Itu presetan apa persetan, ya? Tapi bener, uang itu penting...mau ga mau.
BalasHapus