1/
Waktu itu 27
April, di tahun yang tentu akan selalu kita ingat. Saat itu Jumat. Cuaca sedang
begitu cerah ketika terik matahari seperti tepat menusuk ubun-ubun tiap kepala.
Hujan sudah tidak datang di kota kita sejak empat bulan di awal tahun. Di sana,
di masjid yang di halaman depannya telah penuh oleh berbagai macam alas kaki,
katamu, kau telah duduk di depan dekat mimbar dan dengan tak sabar membalas
pesan sms-ku. Mengabaikan khotbah, tak mengacuhkan sepanjang shaf yang
bersalaman satu sama lain. Kira-kira lima ratus meter jauhnya dari masjid, ada
kamar kos berukuran kecil yang begitu bersih tetapi terlalu sempit untuk
didiami oleh aku dan empat teman yang sedang berleha-leha. Di kamar itulah aku
membalas pesanmu dan rela menanggalkan tugasku. Tak puas dengan komunikasi di
sms, kita sepakat bertemu pada pukul satu.
Kemudian
tatapan kita berserobok. Kau pakai kemeja biru dongker dengan wangi tubuh yang
akan selalu kuingat. Wangi yang lembut tetapi tidak terlalu manis, dan tidak
ada bau musk atau wooden seperti parfum lelaki lain. Aku
hafal jenis parfum yang kau pakai, tetapi baunya jadi lain ketika bercampur
keringatmu. Sebelum duduk kau melihat jam tanganmu dua kali. Lalu sekali lagi.
Dan sekali lagi. Aku tahu kau bukan kehabisan waktu. Begitu kan, caramu untuk menghilangkan
kecanggungan yang ada di antara kita? Herannya, aku justru suka caramu yang
kikuk dan setelahnya, kita tertawa, begitu saja.
Aku. Selalu.
Ingat. Itu.
Malamnya,
kulihat pesan masuk pada pukul 18.07 dan di pesan itu kau bilang padaku, ingin
sekali menghentikan waktu. Katamu, kau telah menemukan perasaan yang indah,
tetapi tidak tahu apakah rasa itu benar adanya. Kubilang, “Jalani saja.
Kalaupun salah, tetap indah.”
2/
27 hari
lewat dua minggu setelah pertemuan itu. Kita sibuk menceritakan orang lain. Kau
bercerita tentang teman-temanmu yang bandel tetapi teramat kau sayang, dan aku
mengenalkanmu pada teman-temanku yang selalu kubanggakan. Kita terlalu bersemangat
menceritakan apa-apa yang dialami oleh teman-teman kita, malah lupa mengenal
lebih jauh tentang kita satu sama lain. Katamu, teman adalah yang utama, dan
bagiku, teman adalah segalanya. Dan selalu mengenai teman-teman kita lah yang
ada dalam setiap percakapan. Biarpun begitu, aku masih tahu lebih banyak
tentangmu ketimbang teman-temanmu itu. Dan aku semakin ingin menyesatkan diri
di antara kelebihan dan kekurangan yang kau miliki.
3/
27 Juni kala
itu. Hujan mulai datang tanpa lelah ketika kau bilang sibuk. Aku bilang, aku
luang. Tapi lihatlah, siapa yang sesungguhnya paling sibuk saat itu? Kau, atau
aku? Kita kerap berpapasan tapi seolah tak saling kenal karena kesibukan telah
mencuri kebersamaan kita. Dan, siapa yang paling banyak membuang prioritasnya
demi membahagiakan satu sama lain? Kau, atau aku?
Kita telah sama-sama
tahu jawabannya ; tidak ada.
Baik kau
atau aku terlalu sibuk dengan dunia masing-masing. Tetapi kau terlalu pandai
menyembunyikan cinta, dan aku yang paling murah mengumbar rasa. Maka kutuliskan
beberapa aksara dalam kertas lipatan kecil dan kukirimkan lewat orang lain,
yang kemudian kau anggap sebuah surat. Dan surat-surat yang rutin kutuliskan
setiap bulan di tanggal dua puluh tujuh, serupa pupuk kenangan tentang kita. Surat-surat
yang isinya terlalu banyak basa-basi dan ketidakjelasan karena aku sebetulnya
hanya ingin bercerita, berharap kita tetap saling terhubung. Dan seluruh
tulisanku untukmu, itulah sesungguhnya rindu yang paling sunyi. Sebab, ia tak
pernah mengetahui balasannya.
4/
Tanggal 27,
empat bulan setelah pertemuan pertama itu. Aku marah karena kau mengabaikanku,
status Line di Read tetapi tak kau balas, dan hanya bilang sedang sibuk. Sibuk apa tengah malam saat itu?
Besoknya kita tidak bertengkar hebat, tidak. Hanya saja aku terus mengoceh dan
memuntahkan kekesalanku. Pada akhirnya aku malu karena telah bersikap payah
kepadamu, setelah tahu sikapmu yang tiba-tiba dingin itu karena ingin memberi
kejutan di hari ulang tahun kita. Ya, sibukmu tengah mempersiapkan hadiah
istimewa. Ah, aku akan selalu ingat itu. Dan seharusnya kau selalu ingat, bahwa
aku benci kejutan. Tetapi hadiah darimu… Kau tidak akan pernah tahu bahwa
setelah hari itu, aku selalu melihat hadiahmu setiap pagi dan malam selama 720
hari.
5/
Aku ingat
nasehat paling penting yang menjadi repitisi dalam alarm-ku ; Air.
Katamu, aku
harus bersahabat dengan air. Ialah ;
Air kubangan
- aku harus lebih membumi, lebih bermasyarakat, dan tidak perlu menjadi sok
bersih dengan setiap kali mengelap meja dan kursi ketika kita hendak makan.
Air mineral
- karena kau tahu aku hanya meminum 250ml air perhari dan kau murka
mengetahuinya. Ketika lelaki lain memanjakan perempuannya dengan makanan mewah,
kau cukup dengan selalu membelikan air mineral untukku. Betapa sejak saat itu
aku jadi jatuh cinta sekali dengan air. Sebetulnya, tidak. Aku masih benci air,
tetapi dengan meminumnya seperti aku sedang menyiram kenangan tentang kita agar
tetap hidup dan tumbuh terus.
Air rintik
hujan - bagimu aku terlalu payah karena membenci hujan. Tetapi sejak
mengenalmu, aku jadi menanti hujan setiap malam. Karena jika hujan datang, kita
akan terjebak di salah satu halte dan duduk berjam-jam sampai reda kemudian
pulang. Itu kali pertama aku menyukai air. Ingat? kau selalu membawaku berdiam
diri di tempat tak beratap dan kita rela diguyur hujan. Besoknya kita sama-sama
sakit dan menertawai kebodohan kita. Kau harus tahu, sampai sekarang, aku tak
pernah mengeluh sama sekali ketika bertemu hujan. Terakhir kita menjumpai
hujan, ketika kau terkejut saat tanganku memanas dan kedua telapak tanganmu
begitu dingin, beku karena dinginnya hujan. Kau iri dengan telapak tanganku
yang menghangat dan berharap kehangatan itu menular. Kataku saat itu, yang
hangat bukan hanya tanganku. Tubuhku, memang selalu menghangat ketika cuaca
dingin. Tapi kau sedikit pun tidak memeluk, hanya menyuruh pulang dan itu
terkahir kali kita bermain hujan. Esoknya, hujan jarang sekali mampir ke kota
kita.
Satu-satunya
air yang tidak boleh kujadikan sahabat, ialah air mata. Kau pernah katakan itu
ketika kita berdiam di halte bercat kuning. katamu, air mata itu jahat. Maka
berhentilah menangisi apa saja.
6/
Kau sudah
merasa seolah-olah kau adalah yang paling tahu segalanya tentangku. Lantas kau bilang,
aku harus menjadi diri sendiri karena gerah dengan sikapku yang mampu membuat
wanita manapun iri karena mereka tak bisa menjadi seperti itu. Kau bilang, aku
harus menjadi siapa aku yang sebenarnya. Tapi, ketika aku menjadi diriku
seutuhnya, kau tidak terima dan memintaku jauh-jauh darimu, seakan aku telah
melakukan kesalahan paling hina dan menguarkan bau untukmu. Kau malah katakan
kalau aku menjadi orang lain, berubah, tidak lagi kau kenal. Padahal, hey, ini
aku. Aku yang kau minta menjadi diri sendiri. Bagaiamana? Kau tidak sanggup
menghadapi sifat asliku, kan? Ini aku, bukan orang lain. Tapi kau menolak
kenyataan.
Sejak hari itu aku sadar, kau sebetulnya hanya mencari perempuan
sempurna versi imajinermu dan ingin menempatkannya pada diriku, yang ternyata
gagal dan kau kecewa.
7/
Omong-omong
soal sempurna. Kau tahu? kata ‘sempurna’ menjadi momok menakutkan buatku. Ingat
sekali masa itu, masa di mana kau dan aku begitu akrab dengan hampir semua
mahasiswa di kampus. Dan bersatunya kita membuat gegar mereka. Konon, hampir
seluruh orang di semua fakultas mengagumi kita, mengatakan bahwa kita adalah
yang paling romantis, paling tentram, layak dijadikan panutan.
Mereka
bilang, kita, begitu sempurna.
Mereka hanya
tidak tahu badai yang berkecamuk disertai dengan gemuruh tiada henti di
dalamnya. Dan, kau pun, selalu bilang aku ini sempurna. Dengan kecantikan
alami, kecerdasan tak terbatas, keluwesan dalam bersikap, kemandirian yang
tanpa cela, dan kepandaian membawa diri. Betapa sejak itu aku jadi benci kata
sempurna. Karena kesempurnaan rupanya dapat mengantarkan mata siapa saja untuk
melihat suatu yang cacat.
Dan justru
karena kesempurnaan itulah kau menyuruhku pergi. Iya, aku yang pergi. Aku yang
berdiri, memunggungimu, lantas berjalan menjauh sementara kau merebahkan dirimu
di atas dipan yang sebelumnya kita duduki.
Sebelum
aku pergi, kuucapkan padamu, bahwa kita tak perlu bertemu lagi dan kau kini
telah bebas. Tetapi kau bertanya, apakah aku akan menerimamu kembali ketika kau
akhirnya memutuskan aku, sebagai tempatmu berpulang? Kukatakan padamu,
“Pulanglah kapanpun kau mau, aku menunggu dengan setia.” Sedikit bodoh,
sebetulnya. Iya, bodoh. Mengapa kau bilang akan kembali ketika dengan tegas telah
menyuruhku pergi? Dan mengapa aku menjawab akan menunggu ketika hanya dertia
yang terus kudapat darimu? Tetapi aku yakin akan kesetiaan dan keteguhan hatimu,
aku percaya kau akan kembali. Ini perpisahan paling baik karena kita sama-sama
tersenyum dan aku tak menangis. Kau yang menyuruhku untuk tidak menangis, kan?
Aku katakan
selamat tinggal.
Katamu,
sampai bertemu lagi.
8/
Setelah
kupikir lagi, kita ini bodoh sekali. Tahu apa soal Setia? Kesetiaan. Kau tahu?
Setia hanyalah soal kita tidak menemukan yang baru, atau tidak ingin mencari
lagi. Tapi ketika kata 'tidak' pada kalimat di atas dihilangkan, maka setia menjadi
omong kosong. Di detik sebelum punggungku menjauh, masih kuingat katamu, tentang
keinginanmu untuk kembali dan berharap aku akan menerimamu kembali.
Nyatanya?
Ada perempuan itu.
Aku
lupa, itu pertanyaan, bukan pernyataan. Iya, aku sungguh bodoh telah menunggumu
setiap hari. Aku selalu berpikir, “Oke hanya kutunggu sampai besok.” Besoknya
kukatakan lagi begitu, lusa, seterusnya, aku selalu membatin pada diriku untuk
menunggumu satu hari lagi. Namun, ketika aku menghitungnya, hari-hari penantian
itu berubah menjadi tahunan. Dan kau tetap tak kembali.
9/
27 April
2015, hari ini. Seorang kawan masih bertanya padaku, seberapa besar cintaku
padamu. Kujawab, tidak tahu sebesar apa, tetapi bahkan untuk mati demi dirimu,
aku rela. Dia kembali bertanya, apakah perasaan itu masih ada? Kataku, ada.
Tetapi, lanjutku. Tetapi, untuk menunggumu pulang, aku sudah tidak mau. Aku
tidak pernah lelah menunggu, hanya saja aku memilih melupakan. Aku memutuskan
untuk tak lagi menunggu seseorang yang tidak akan pulang. Aku masih mencintaimu
dengan caraku sendiri, tetapi tentang kita, dan segala kenangan bersamamu, kuputuskan
sudah selesai. Aku pernah bersama kamu, tergila-gila, melakukan hal di luar
nalar, menciptakan kesalahan bersama-sama, dan berpura-pura romantis sepanjang
hari di depan orang untuk menutupi kerusakan yang ada pada kita. Tapi masa-masa
bersama kamu, ternyata sudah selesai.
Aku berubah
banyak sekarang. Sudah tidak lagi sempurna, sudah seperti wanita kebanyakan
yang begitu menyebalkan, dan sudah menyadari bahwa aku perlu melupakan. Aku
akan kembali bahagia, tanpa dirimu, tanpa orang lain, hanya aku sendiri.
Dan
ini, tulisan ini, adalah sesungguhnya perpisahan, sebenar-benarnya ucapan
pelepasan, sebagai bukti bahwa aku telah berhenti menunggumu.
~
Ps. Mintalah
Tuhan untuk menuntunmu dalam mencintai wanita yang sekarang ada bersamamu.
Sebab, kau tahu, cinta itu membutakan. Kalau Tuhan tidak menuntunmu, kau bisa
tersesat ke arah yang salah.
Pss. Selamat
tinggal.
Psss. 27 April 2018
Ternyata, dia menjadi perempuan tempatmu melabuhkan cinta terakhir. Aku turut bahagia mendengarnya.
humm,, keren tulisannya, tp lihat tulisanmu yang ada nomor-nomornya gitu jadi ingat tulisannya DEE yang ada nomor-nomornya juga. itu kisah nyata ya..?? hehehe. klu kisah nyata, sy harus akui kamu hebat, karna menunggu itu pekerjaan yang semua masyarakat di bumi ini tidak sukai.
BalasHapusHi, thanks for stopping by. Menurutmu, ini kisah nyata atau bukan?
HapusPemberian nomor seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Dee, tapi beberapa penulis lain pernah melakukan hal serupa. Saya pun sering menulis begini di beberapa postingan. Sebagian orang mengatakan yang begini namanya prosa, kak.