Aku
terburu-buru menyamakan langkah ayah. Dini hari kami sudah pergi jauh sekali
sampai aku kehausan dan pandanganku mulai berkabut.
"Ayah, aku
capek," kataku yang langsung terduduk di tanah. Napasku tersengal-sengal
dan badanku rasanya panas. Ayah tetap diam, tak menoleh ke belakang meski satu
detik. Ah! Apa semua orangtua selalu begini? Memaksakan kehendak mereka
semaunya tanpa memedulikan, apakah anaknya mau atau tidak? Buru-buru aku
bangkit mengejar sebelum tertinggal dari ayah.
•••
Terlahir dari
keluarga biasa saja, tidak membuat kebahagiaanku berkurang. Walau kami hidup
serba kekurangan, aku sudah cukup senang melihat ibu dan ayah selalu
jalan-jalan bersama di setiap senja. Ayah suka sekali berkeliling daerah dari
satu tempat ke tempat lain, lalu pulangnya bercerita kepada aku dan ibu tentang
apa yang dilihatnya dalam perjalanan. Kadang, aku diajaknya ke suatu danau di
sebelah selatan, dan kami berenang sembunyi-sembunyi di danau itu, kemudian
berdansa sekenanya saat malam diterangi oleh api pembakaran sampah. Lalu
pulangnya kami membawa sedikit biji-bijian untuk dimakan bersama. Tapi beberapa
hari kemarin ibu kakinya sakit dan sulit keluar rumah. Ayah mondar-mandir di
depan rumah dan sesekali berteriak jika ada yang mendekati kami. Ayah bilang,
takut kalau ada yang membunuh ibu. Ayah juga takut kalau aku, -anak perempuan
kesayangannya, disakiti oleh siapa saja. Ayah jadi mudah panik dan ibu matanya
mulai menguning, sudah tak jelas melihat. Suatu malam ada banyak air jatuh dari
langit dan masuk ke sela-sela atap kami. Rumah basah, ibu kebasahan, ayah
menatap ibu dan terus berada di sampingnya. Aku melihat air-air itu jatuh ke
wajah ayah, jadi seperti menangis. Lantas aku lupa kapan air-air dari langit
itu berhenti jatuh, karena saat aku terbangun, suasana sunyi sekali. Dan ayah
masih tetap terjaga di samping ibu, yang tak lagi terbangun. "Ikut ayah,
nak. Kita harus pergi ke suatu tempat."
•••
"Kita
sudah sampai," ayah menghentikan langkahnya. Aku terengah-engah dan
berdiri di samping ayah. Entah berapa jauhnya, tapi langit mulai terang.
"Ini
apa?" Kataku sambil mengatur napas.
"Mulai
sekarang kamu tinggal di peternakan ini. Berbaurlah dengan yang lain. Kamu akan
bahagia. Ada banyak makanan," aku memicingkan mataku. Banyak yang serupa
dengan kami, tapi mereka semua putih. Aku takut jadi yang berbeda.
"Ayah
harus pergi. Mengubur ibumu. Jadilah angsa yang cantik, nak. Seperti
ibumu."
Kami saling tatap lamat-lamat,
dan ini adalah kali terakhir aku menatap matanya yang teduh. Ia merentangkan
sayapnya dan terbang tinggi. Meninggalkanku untuk selamanya.
______________
1. Untuk Prompt #68
2. Adaptasi bebas dari FM : Carolina Ratri
"DANCE WITH MY FATHER. Ya, dansa terakhir. Aku menatap Ayah lurus ke matanya. Tak lama kemudian, sayapnya mengepak. Dan ia pergi, selamanya."
"DANCE WITH MY FATHER. Ya, dansa terakhir. Aku menatap Ayah lurus ke matanya. Tak lama kemudian, sayapnya mengepak. Dan ia pergi, selamanya."
3. Source was taken from here
Tulisannya Bagus kak :))
BalasHapus-www.fkrimaulana.blogspot.com-
Makasiiih, salam kenal ya. Kamu akhir-akhir ini di blog aku, minggu depan aku makpir ke blog kamu, deh.
HapusKereeenn... endingnya gak ketebak. Ternyata angsa... :))
BalasHapusIya, angsa hitam yang harus tinggal di peternakan angsa putih. Makasih ya udah baca.
HapusCerita pendek yang nice. Nyaman dibacanya.
BalasHapusTerima kasih sudah baca :)
HapusAlur ceritanya bagus, dan menipu. Saya pikir ini cerita manusia, eh taunya endingnya cerita tentang angsa :D
BalasHapusbagus kak :))