"Nenek!"
Aliya segera berlari ke pangkuan sang nenek. Ia menangis lagi, belum juga kuat meski jatuh adalah kebiasaan sehari-harinya.
"Sini, sudah, nggak papa kok. Nggak berdarah kan? Udah, nggak usah ditangkap, sini nenek peluk,"
"Aliya mau tangkap, nek. Aliya mau pegang," ucap Aliya sambil sesenggukan. Matanya basah dan memerah. Tulang kering kaki kanannya sakit, terantuk batu di depan rumah.
"Jangan menangis terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi. Kau lihat? Di bawah lampu penerangan itu…"
"Tapi sampai kapan Aliya cuma melihatnya, nek? Aliya mau coba pegang,"
Gadis berusia enam tahun itu melihat dari kejauhan. Setiap matahari menghilang dari kubah langit, setiap tanah basah, kunang-kunang akan datang, beriringan membawa cahaya kekuningan, melintasi pekarangan rumah Aliya.
"Untuk apa menangkap mereka, kalau kamu bisa menikmati dengan melihatnya saja?"
"Tapi nek,"
"Sini, mana kakinya yang sakit? Nenek pijat dulu,"
Aliya mengangkat kaki kanannya. Membiarkan nenek melihat bagian memar di bagian tulang kering. Warnanya kebiruan pada kulit yang sedikit menggembung. Nenek mengusapnya perlahan. Aliya Aprilia, begitu nama yang disematkan sang nenek, adalah gadis kecil yang tinggal bersama neneknya di sebuah perkampungan. Aliya yang lincah berlari karena mengejar kupu-kupu, tumbuh besar karena memakan ayam-ayam ternak milik nenek, Aliya yang bersih karena bersahabat dengan sungai di dekat rumah, gemar menyanyi ditemani suara jangkrik-jangrik, pandai melompat mengikuti katak, Aliya yang polos, bercahaya bagai cahaya kunang-kunang.
"Nek, kapan Aliya akan berkeriput seperti nenek?"
"Nanti sayang, masih lama. Kamu akan cantik dulu, pintar, disukai banyak laki-laki, terkenal, menikah, bahagia... Keriput itu masih lama."
"Aliya bisa bahagia nek? Menangkap salamander dan kunang-kunang aja, nggak bisa!"
"Bisa bahagia sayang, kamu bersyukurlah. Kamu akan bahagia, kalau kamu menggunakan lima panca indra dengan sepenuhnya."
"Apa nek?"
"Kamu punya mata, telinga, lidah, hidung, kulit... Nah, gunakan semuanya untuk lebih peka sama lingkungan. Kamu akan bahagia."
"Aliya nggak ngerti..."
"Nggak perlu mengerti, diingat saja. Suatu hari kamu akan mengerti, sayang."
•••
"Mama!"
Atika segera menghambur ke pelukan mama. Ia menangis sejadi-jadinya, merasa menjadi perempuan paling hina di muka bumi. Mama hanya membisu, tidak menyambut pelukan anaknya yang begitu erat.
"Bagaimana pun juga, anak itu anugrah, Tika. Jangan menyalahkan Tuhan." Mama bersuara. Parau. Dewo, menantunya, hanya mematung di pojok ruang tamu. Ia lebih memilih berdiri di sebelah bufet berisi piring-piring dan gelas antik tahun 90-an. Pintu kamar di mana bayi perempuan itu tertidur, dibiarkan terbuka. Bahkan jendela kamar belum sempat ditutup. Gemercik air sungai terdengar jelas. Bagi dua pasangan ini, mempunyai seorang anak perempuan itu merupakan kenyataan terpahit dalam hubungan rumah tangga mereka selama belasan tahun.
"Ma... Dewo sama Tika minta izin..." Dewo angkat suara.
"Iya ma, dia... di buang saja, ya?" Atika melepaskan pelukannya. Asal bicara seolah lupa bahwa dosa berlaku bagi semua orang. Mama masih bergeming. Mama mulai hangus dada mendengar pertanyaan anaknya barusan. Di buang?
"Kalian sebagai orangtua, sungguh gagal. Anak ini titipan Tuhan! Tidak boleh di buang!"
"Ma, Atika sama Dewo malu, ma! Biar saja dia mati ma!" Intonasi Atika mulai meninggi, tangisan anak itu pecah, susul-menyusul dengan suara air sungai di luar rumah. Dewo masuk kamar, bukannya menenangkan tangisan sang bayi, alih-alih keluar dan membawa dua koper yang sudah terkunci. Ia segera keluar rumah tanpa pamit. Atika menyusul di belakangnya. Menghiraukan mama yang masih terbengong-bengong, masih mematung, menahan amarah. Anak dan menantunya malu punya anak perempuan itu. Tapi mama lebih malu pada Tuhan karena memunyai anak yang tak bisa bersyukur.
•••
"Neneek buruan ke luaaar! Mereka datang lagi nek, banyak, cepat nek, cepat!"
Aliya berteriak dari luar rumah. Abah, tetangga sebelah yang baru saja pulang memancing, hanya tertawa melihat tingkah laku Aliya. Semua tetangga menyukai Aliya. Gadis mungil yang pandai sekali mengaji dan baca tulis. Dia sama seperti anak kecil seusianya, cengeng dan manja. Tangisannya hanya akan berhenti jika dipeluk nenek.
"Kenapa lagi, Aliya? Nenekmu ini lagi masak air!" sahut nenek dari dalam rumah. Pasti soal kunang-kunang lagi, gumam nenek. Aliya selalu senang melihatnya.
"Aaaah nenek nggak asik. Banyak banget nek, Aliya dikelilingin cahaya!"
"Yasudah, di sana aja, jangan dikejar ya,"
"Aliya mau tangkap nek, mau dipelihara! Masukin dalam botol, ya?"
Sahut-sahutan ini kerap terdengar tetangga. Tidak ada yang terusik, semua sayang Aliya, anak perempuan anugrah Tuhan.
"Nggak usah ditangkap, Aliya. Dilihat saja. Sini abah temani," Abah ikut campur, mendekat, lalu duduk sejenak di pekarangan rumah nenek. Abah menaruh alat pancing di sebelah kanan dan membiarkan Aliya duduk di atas pangkuannya.
"Aliya sudah sembahyang, belum?"
Abah bertanya seraya mengelus rambut kemerahan Aliya. Terpaan sinar raja siang membuat warna rambut Aliya memerah macam perempuan barat. Hebatnya, anak ini terlihat sangat manis dengan warna rambut itu. Aliya menggeleng.
"Belum. Aliyah mau lihat kunang-kunang aja. Kalau memuji ciptaanNya, dapat pahala kan, Abah? Subhanallah, subhanallah, cantiknyaa cahaya
mereka."
"Iya, dapat pahala. Tapi sembahyang juga harus, sayang. Itu kewajiban. Mau jamaah sama abah? Ke rumah abah yuk,"
"Nggak maaaau, abah! Aliya lagi lihat kunang-kunang. Aliya nggak mau sembahyang, ngambek sama Tuhan!"
"Loh, kenapa?"
"Aliya berbeda dari anak kecil lain. Aliya malu sama teman-teman mengaji, Aliya nggak mau sembahyang, teman-teman suka mengejek."
Abah terdiam. Disusul dengan kedatangan nenek yang hanya membungkam. Diejek?
•••
Mama dan Atika suka bunga bakung. Sebagian orang
menyebutnya bunga lily, (atau dua bunga itu adalah jenis yang berbeda?) Pokoknya mereka suka sekali. Mereka tanami tumbuhan cantik itu. Tiap malam dipandanginya bunga bakung di depan rumah. Bunganya mekar dan putih bercahaya jika malam, benang sari dan putiknya berwarna kuning gading. Setiap musim hujan selalu bermekaran dan paginya akan kuncup, membiarkan tetes embun menempel di kelopak. Selain itu, di taman ini ada sedap malam berwarna putih. Ada dua pohon melati putih yang selalu bermekaran. Kumis kucing yang putih-keunguan, dan mawar putih. Mama dan Atika suka semua kembang putih, serasa sejuk dan damai melihatnya. Suatu pagi, selepas berziarah ke makam ayah, Dewo datang. Membawa seikat bunga mawar berwarna putih. Wangi. Mama hanya diam, acuh tak acuh. Mama benci tumbuhan yang tercabut dari akarnya. Tapi Atika lain, ia tersanjung bukan main. Dewo sepupunya. Mana mungkin mama menyetujui mereka. Tapi manusia memang bisa mengubah takdir, pernikahan berlangsung
dan belasan tahun bahagia. Kemudian...
...Kemudian lahir seorang anak perempuan. Yang cantik, menggemaskan, tapi merupakan malapetaka bagi Atika dan Dewo. Menyedihkan memang, tapi manusia memang ahli membuat keputusan tanpa berpikir. Beberapa minggu setelah kelahiran bayi itu, orangtuanya pergi malam ini. Memberi keputusan sepenuhnya kepada mama, mau diapakan sang buah hati. Mama masuk ke dalam kamar, menggendong bayi mungil yang baru saja lahir beberapa minggu yang lalu. Mengecup halus pipinya yang masih kemerahan. Mengayun-ayunkan badannya, dan tangisan anak perempuan itu berhenti. Dipeluknya bayi itu, cucunya.
"Jangan menangis lagi sayang, kamu bersama nenek. Coba lihat di luar jendela itu, ada kunang-kunang. Hidup mereka tidak lama, tapi mereka tidak menangis. Mereka memancarkan keindahan."
•••
Genap tahun ini, usia Aliya mencapai tujuh tahun. Namun masih belum mengerti mengapa banyak orang ramai di rumah. Belum paham mengapa ada bendera kuning berkibar di tiang pagar rumahnya. Aliya menangis. Bukan karena jatuh, tapi karena ia tidak mengerti kenapa nenek tidak bangun dan menyambut tetangga-tetangga yang datang ke rumah. Satu persatu memeluk Aliya. Di depan pembaringan nenek, tangisan Aliya menderas. Ia tidak begitu mengerti, tapi dia tahu, ada rasa kehilangan yang sangat menyakitkan. Nenek tidak bangun lagi.
"Nenek.. nek.. jangan tidur... Nek.. nanti siapa yang bukain jendela kamar Aliya?"
"Nek bangun... banyak tamu, Aliya nggak bisa bawakan gelas..."
"Nenek! Kalau nenek tidur terus nanti siapa yang tangkapin kunang- kunang nek?"
Senyap. Nenek masih memejamkan mata.
"Nek, Aliya nggak punya tangan, Aliya nggak malu kok. Aliya juga janji nggak akan ngambek sama Tuhan. Tapi Aliya sedih nggak bisa peluk nenek. Bangun, nek."
_________________
P.s : pernah diikutsertakan dalam lomba #Febversary dan cerpen ini belum layak untuk menang :D
waah sad ending gini yaa :( tapi keren kok, terus semangat nulis yaa
BalasHapussaya juga seneng nulis fiksi di blog saya disini --> http://sirajuddinabraham.wordpress.com/category/fiksi/
masih belajar tapi :D
Aku otw ke blog nya nih. Ayo sama sama belajar nulis Cerpen :)
Hapuskeren nih. ternyata itu alasan dia gak bisa nangkap kunang2.
BalasHapustapi aku gak tau nih, apa hubungan antara aliya dan bayi itu?
Bayi itu Aliya. Bayinya gapunya tangan jadi ibunya sedih dan menitipkan ke neneknya. Nah, Aliya dirawat deh sama neneknya.
HapusIni cerpen keren, bacanya aja sampe terharu. Kenapa mesti belum layak menang?
BalasHapusBelum layak, soalnya yang lain lebih bagus. Coba. Cek #febversary di twitter :)
HapusLo masuk dalam nominasi the liebster award dari gue. Cek ya :) -> http://komedi-romantis.blogspot.com/2014/08/the-liebster-award.html
BalasHapusAw! Oke di cek. dulu tp dikerjainnya belum bisa cepet nih
HapusMenanggis. Bagus banget, meski akhirnya sad ending,. :(
BalasHapusAku suka baca tulisannya Uni.
Ih yang ini biasa aja, cek ke postingan lama deh, ada cerpen kesukaanku hehe. Makasih udah baca ;)
Hapus