Maaf. Aku membentak lagi. Itu adalah hal yang TIDAK pernah kusukai, tapi selalu kulakukan. Kadang, seudahnya pun aku kerap bertanya-tanya, mengapa kata-kata kasar selalu meluncur begitu saja? Melakukan itu, rasa-rasanya aku seperti bukan orang berpendidikan. Sia-sia gelar yang kupunya ini. Percuma pula jabatan tinggiku dalam pekerjaan. Karena untuk memuliakanmu saja, hal itu masih tak bisa kulakukan.
Jika saja aku mampu, ingin kupelintir bibirku yang lalai menjaga lidah. Bahkan, aku ingin sekali memotong lidahku yang terlalu tajam berucap. Atau merajam jari-jemari yang ringan tangan. Aku tidak pernah mengerti, mengapa aku terlalu kejam padamu.
Kau tahu, ibu, aku tak pernah takut pada apa pun. Tidak pernah, kecuali pada matamu yang terlalu sayu itu. Tatapanmu membuatku lumpuh. Bola matamu yang hitam melukiskan pilu yang mendalam. Siapa pun yang melihatnya seolah terseret dalam kesedihanmu. Dan melihat matamu, ada pantulan wajahku yang begitu hina. Itu sebabnya aku tak pernah mau bersitatap. Melihat matamu, membuatku hilang kepercayaan diri.
Ibu, orang di luar sana mengatakan aku baik, amat baik. Mereka memuji mengapa aku bisa menjadi orang yang begitu optimis dan murah hati. Mereka mengagumi semua kinerjaku. Aku asal bicara saja pada mereka, mengatakan ini semua berkat doa dan masakanmu yang masuk ke tubuhku. Lalu mereka bilang iri melihat kita. Aku tersenyum, mengucap terima kasih, kemudian sekelebat bayang tentang-aku-yang-melempar-masakanmu terlintas. Cepat-cepat kuusir bayang tersebut, kembali tersenyum pada teman-temanku.
Bu, ternyata dengan bersikap baik, aku setidaknya bisa dikagumi banyak orang. Padahal di hadapanmu, semua sifatku berbanding terbalik. Seakan-akan aku ini begitu kulai, tak kuasa melakukan apa pun tanpa pertolonganmu. Aku benci melihat aku yang begitu bergantung. Aku tak mau dekat-dekat denganmu lagi. Kalau orang melihat sifat asliku, mereka akan menjauhi aku, bu. Itu sebabnya aku memakimu setiap kali bertemu.
Kau tahu itu. Betapa mental-ku begitu rapuh. Hati pun terlalu lusuh. Aku terlalu takut menjadi diri sendiri. Kau juga tahu, bahwa di luar sana aku menjadi baik dan tersenyum setiap saat, sampai akhirnya bisa mendapatkan apa yang kumau, bisa diterima sekelilingku, bisa membahagiakan orang lain. Tapi jelas aku tak pernah bahagia, ibu. Aku lekas-lekas menyimpan semua lara di dalam dada. Dan begitu sesak semua perasaan yang kutimbun ini. Hanya padamu, semuanya berani kutumpahkan.
Ya, ibu. Kau merupakan pawang dari segala macam kesedihan. Kalau kau tiada, maka luka, duka, dan semua derita akan merajalela, membuatku sangat tersiksa. Memang hanya kau yang mampu menerjemahkan apa-apa yang tak kuperlihatkan. Kau tahu itu, tentang ketakutanku yang semakin menjalar ke seluruh tubuh.
Tetapi, ibu, biarkan aku tetap TIDAK menjadi diri sendiri, agar orang-orang sekelilingku tak pergi. Dan lepaskan aku dari semua perlindunganmu, supaya kau tak lagi menjadi muntahan amarahku. Supaya segala sakit yang bersemyam di dalam dada tak keluar di depanmu. Aku begitu membenci sifat asliku, begitu membenci aku yang jahat dan kejam. Menjauhlah, tapi jangan pernah tinggalkan aku. Karena tanpamu, aku semakin rapuh.
Maaf. Aku selalu membentakmu, ibu.
__________________
Nb : Tulisan di atas terinspirasi dari berita >> Seorang ibu ditolak anaknya karena terlalu jelek | Kalau saya baca beritanya, tentu aneh. Seorang anak yang tak mau lagi bertemu ibunya tapi masih memberi kabar lewat telepon. Dan seorang ibu yang sudah dimaki tetapi tetap menyayangi anaknya. Lihat, betapa ikatan batin antara anak-ibu tidak dapat diputus.
Waducchhhh...parah tu anak,durhaka kau!
BalasHapusitulah hidup, tidak semua berjalan sesuai harapan. Tapi, menerima apa pun yang ada itu jauh lebih bijak, ketimbang membedakan atau mencari jauh yang lebih baik dari apa yang kita miliki
BalasHapus