Aku lupa bagaimana caranya jatuh cinta. Lupa rasanya sakit hati. Lupa seperti apa euforia saat bertemu sosok yang begitu di idam-idamkan selama hidup. Kemudian aku bertemu kamu, dan aku kembali ingat semua, yang sebelumnya kulupa.
Aku melihatmu saat malam di mana aku datang pertama kali ke tempat itu. Kita bertemu di tempat yang sama, terpanggil atas nama pekerjaan dan kita saling sibuk dengan tugas masing-masing. Aku pembawa acara dan kamu sebagai fotografer. Posisi berdiri kita, terpisah jauh.
Dalam kesibukanku memandu acara, aku masih sempat-sempatnya memperhatikan kamu yang mondar-mandir mengabadikan momen, dan sesekali melihat layar kamera untuk memastikan bahwa jepretan-mu memuaskan. Kamu tidak memedulikan tatapan mataku, kamu hanya sibuk melihat layar kamera.
Kepada lelaki yang namanya tak kuketahui,
aku tak berharap mengetahui tentang kamu lebih jauh. Cukup mengenalmu saja, aku sudah senang. Tapi aku tidak mendapat kesempatan mengenalmu, bahkan nama pun aku tak tahu. Aku senang sekali karena pada pagi hari kamu berhasil mengambil gambar wajahku yang jelas kusadari. Senang sekali melihatmu memberi arahan pada tamu undangan untuk berpose rapi sebelum kau foto. Senang sekali, saat aku dan kamu berdiri sejajar ketika salah satu sesi acara berlangsung. Kita bercakap sebentar, dan kita terjebak di tenda sejak hujan mulai turun rebas-rebas yang kemudian menderas. Tapi tak lama, sebab aku keluar tenda dan memutuskan untuk basah kuyup.
Untuk lelaki yang baru pertama kali kutemui.
Kamu galak, dan mudah kesal. Begitu yang terlintas di pikiran sebagian teman-temanku. Sebab raut mukamu memang begitu adanya. Tapi, bagiku kamu adalah lelaki yang aku sukai. Dan aku tahu, bukan perempuan seperti aku yang kamu harapkan untuk bisa menjadi pasanganmu.
Kepada lelaki yang tak kuketahui identitasnya,
Mestinya momen bersamamu bisa lebih lama. Mestinya kita punya bayak waktu untuk berbincang-bincang. Tapi aku tahu kamu tak suka basa-basi. Aku pun tak suka berdua dalam keadaan sepi. Kita tak bisa menjadi pasangan yang saling mengisi. Kamu dengan kameramu segera pergi, dan aku dengan microphone tetap berdiri di sini.
Kalau saja aku boleh meminta pada tuhan, aku ingin kita dipertemukan sekali lagi sekadar untuk berbincang lebih lama, dan bertukar cerita seperti teman lama. Kalau saja boleh, aku ingin kamu membaca surat ini ketika kamu dalam keadaan sepi, agar kamu tahu bahwa kamu tak selamanya sendiri, sebab ada aku yang sudi menemani. Kalau saja itu bisa terjadi...
Kenyataannya (sampai saat ini) kita tidak pernah bertemu lagi. Ah, sepertinya aku harus segera melupakanmu, secepat mungkin.
padahal udah tau itu si, eh ada cicak di dinding mihihihi
BalasHapus