Nabila menekan tombol simpan dan dalam dua detik email yang baru saja ia tulis tersimpan dalam draft email, tidak akan sampai kepada alamat yang dituju. Berat rasanya menyusun kalimat yang pas agar tak satupun rindunya tumpah ruah di surat itu. Sudah setahun hubungannya berakhir sejak tiga tahun terikat, dan ia selalu ingat bagaimana caranya merindu sosok terbaik dalam hidupnya. Nabila tahu, kekasihnya itu sudah bertunangan dengan Anita,teman satu fakultas Nabila semasa kuliah dulu. Tetapi mengirim surat atas nama teman di hari ulang tahunnya, bukan hal bodoh kan? Dulu, mereka selalu merayakan ulang tahun bersama-sama tapi sejak Anita hadir, kebahagiaan seakan tak pernah menggelayuti Nabila. Lebih baik suratnya disimpan saja dulu, batin Nabila.
Belum ada tanda-tanda cahaya fajar yang masuk melalui ventilasi kamar, masih pukul tiga dini hari. Nabila menutup laptop dan segera mengambil handuk. Ia harus segera bersiap-siap menghadiri acara di Bandung, menjadi moderator salah satu petinggi politik di acara seminar itu, ia tentunya tak boleh terlambat.
•••
"Selamat ulang tahun, untuk kamu dan aku,"
"Selamat hari lahir, untuk kita, walaupun beda tanggal, hihi."
Radit menggunan kata 'kita' pada ucapanya. Ini adalah tahun kedua Nabila dan Radit merayakan ulang tahun bersama, 30 april di sore hari. Sebenarnya ulang tahun Radit tanggal 20, tapi mereka sepasang kekasih yang memutuskan merayakan ulang tahun bersama-sama. Tahun lalu mereka merayakan dengan saling bertukar hadiah dan menurut Nabila hadiah dari Radit jauh lebih istimewa, sebuah mobil sports mainan yang kuncinya dijadikan bandul kalung untuk dipakai Nabila. Hanya mainan yang dapat dipajang di ruang keluarga tapi Nabila senang bukan main. Sementara Nabila hanya memberikan sebuah buku cerita yang dipesan khusus dari London. Di tahun ini, mereka tak bertukar hadiah, hanya membuka buku tabungan di salah satu bank terkenal dan menabung bersama-sama, untuk membangun rumah yang mereka impikan, dan dua pihak keluarga juga sangat mendukung. Mereka sekarang bukan menginginkan kemewahan materi, hanya ingin membuat semua mimpi mereka menjadi nyata.
"Oya Bia... untuk buku tabungannya biar kamu yang pegang, karena wanita lebih teliti. Dan aku akan simpan kartu debitnya, aku tak mungkin gunakan uang kita untuk berbelanja sepertimu Bia,"
Radit tertawa puas saat mengatakannya. Nabila memanyunkan bibir pertanda tidak setuju, tapi dengan senang hati dituruti kemauan Radit. Mereka menikmati hari dengan banyak berdiskusi soal desain rumah dan perabotan apa saja yang akan di beli, berapa jumlah kamar, warna cat yang bagus, menyepakati untuk memelihara dua kelinci dan memiliki tanaman kecil di pekarangan rumah. Berdebat sedikit soal ruang keluarga dan dapur, mengkalkulasikan berapa rupiah yang harus mereka gunakan, berapa biaya akomodasi pembangunan yang akan dikeluarkan, dan Nabila sangat menikmati hari ini sebab, impian mereka sangat jelas tergambar. Tapi pada akhir pembicaraan, Nabila mengacaukan diskusi saat ia bertanya hal yang telah menyinggung Radit.
"Sebentar Dit, kita terlalu jauh mempersiapkan ini semua. Kenapa kita tidak memulai dengan membicarakan tentang menikah, dan... kapan kamu mau lamar aku?"
Dan Radit segera tertunduk, mungkin ia memikirkan jawaban terbaik yang ia punya tapi Nabila sudah bisa menebak yang Radit katakan kira-kira seperti 'Nanti ya sayang, aku kan harus kerja dulu biar nanti nggak pakai uang orang tua' .
"Nanti dulu Bia, aku harus kerja dulu karena aku tak mau gunakan uang Ayah dan Ibu kalau kita sudah menikah,"
'Nah, benar kan, apa kataku,' Batin Nabila bersuara. Radit selalu bicara begitu tapi tak ada usaha untuk mencari pekerjaan. Lalu setelah itu mereka diam seribu bahasa sampai akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Terkadang hal kecil dapat membuat mereka bertengkar dan diam menjadi solusi untuk menyudahinya. Keduanya memiliki sifat yang sama-sama tak mau mengalah.
"Terima kasih mbak Nabila!"
DHEG! Nabila menoleh ke sumber suara, lamunanya akan masa lalu buyar. Lalu terdengar riuh tepuk tangan setelah sekitar delapan detik ruang aula mengalami kesenyapan. Petinggi politik segera pamit dari panggung setelah bersalaman dengan Nabila. Ia terlihat sangat puas dengan kinerja Nabila sebagai moderator. Pun Nabila sangat puas dengan kerjanya hari ini, tidak telat, tidak ada insiden bodoh, acara berjalan lancar, meskipun tadi, dalam keadaan kerja, bisa-bisanya dia melamun.
Setelah sesi foto berakhir Nabila segera keluar dari ruangan dan menemukan Anita dengan tatapan yang seolah ingin memakan dirinya. Tatapan yang tak bisa melihat tapi penuh dengan ambisi. Tatapan menakutkan. Anita tampak anggun dengan balutan blouse berwarna hijau dan lipstik nude-nya membuatnya semakin terlihat cantik, walaupun mata kanannya tak bisa melihat karena suatu kecelakaan.
Anita adalah sahabat terbaik Nabila semasa kuliah, tempat berbagi cerita, wadah segala solusi, dan selalu tahu perkembangan hubungan Nabila dengan Radit. Entah terbuat dari apa hati Anita, ia berhasil merebut Radit bahkan bertunangan di belakang Nabila.
"Aku mau kamu pergi jauh-jauh Bia, pergi dan jangan ganggu hubunganku dengan Radit,"
Tanpa basa-basi ia berkata, membuat lidah Nabila kelu dan hatinya semakin sakit seolah tertusuk sembilu.
"Aku sudah tidak betemu dengannya Nita, aku tidak menghubunginya. Kita sama-sama wanita. Aku yakin kamu mengerti bahwa melupakan itu, adalah hal tersakit dan butuh proses yang tidak cepat," ucap Nabila setegar mungkin.
"Iya aku ngerti. Tapi dia selalu mengigau memanggil namamu. Bagaimana caranya untuk membuat dia lupa padamu?" Anita memegang kedua tangan Nabila, erat. Dalam suasana sepeti ini, bukan lagi pegangan erat atas nama persahabatan yang Nabila rasakan.
"Kamu cukup buat dia jatuh cinta kepadamu, maka dia akan lupa dengan masa lalunya. Buat dia bahagia dengan semua pengorbananmu untuknya," Nabila menjelaskan. Ia melepas tangan Anita dan melangkah pergi. Meninggalkan Anita yang tersenyum sumringah entah kenapa. Nabila ingat, hal serupa pernah terjadi setahun lalu, saat Nabila dan Radit merayakan ulang tahun mereka, saat keduanya saling mengucap doa dan harapan yang di saksikan senja.
"Selamat ulang tahun untuk kita, semoga kamu tahun ini mendapat pekerjaan dan nantinya kita akan segera menikah,"
Nabila mengucap doa terlebih dahulu. Tak ada doa untuk dirinya, yang penting adalah Radit, dan masa depan yang ada di hadapannya.
"Selamat hari lahir, untuk aku dan kamu. Dan Bia, maaf..."
Radit menghentikan ucapannya.
"Maaf untuk apa?"
"Maaf karena aku ingin kamu mengabulkan keinginanku,"
"Apapun untukmu, sayang,"
"Aku ingin kita putus. Dan aku mau kamu merestui pertunanganku dengan Anita,"
Lalu Anita muncul tiba-tiba dengan baju blouse berwarna kuning, dengan lipstik merah maroon. Nabila hanya mengutuk senja yang membisu dan seisi bumi yang tak bisa membantunya. Hari itu, ia hanya di temani oleh sejumlah air mata yang mengalir di tengah malam tanpa bintang. Nabila tak pernah mengerti apa salahnya, apa kekurangannya, apa kelebihan Anita, apa yang di inginkan Radit, Nabila tak pernah pahami itu. Terlebih Anita adalah sahabat setia bagi Nabila. Setia, yang berakhir pada pengkhianatan.
Ponselnya berdering. Menyadarkan Nabila dari kenangan suram di masa silam yang hanya membuat para saksi alam bungkam.
"Bia!"
"Kita perlu ketemu. Ada yang ingin aku bicarakan,"
Tania. Suaranya terdengar panik namun tetap dipaksakan agar tenang. Tania pun pun sebenarnya bukan teman Nabila, dia teman Radit yang kini akrab dengan Nabila.
"Ada apa, di mana, jam berapa?"
"Jam tujuh malem, di Jakarta ya. Aku tunggu kamu di depan Park Hotel Cawang. Oke,"
Klik. Telepon dimatikan. Nabila segera membuka kunci mobil dan sebelum dia masuk, Nabila melihat kebelakang dan memastikan apa yang sedang dilakukan Anita, tapi perempuan itu ternayata sudah tidak di tempat semula.
•••
Pukul tujuh lewat tiga puluh menit mobil Nabila sampai di tempat yang dijanjikan. Tania tersenyum, segera masuk ke mobil Nabila tanpa dikomando.
"Gila ya kamu, nyuruh aku ke Jakarta hari ini. Aku ngebut tahu dari Bandung, mana macet!"
Nabila membuka pembicaraan dengan sedikit candaan. Tania melepas kacamata hitamnya,menyandarkan bahunya pada kursi dan segera memasang sabuk pengaman.
"Haha, ya maaf. Eh, harusnya kamu yang minta maaf sih, telat! By the way, Ini urgent Bia... Coba nih, lihat alamat yang ada di kertas ini, kita kesana ya sekarang,orang yang janjian sama kamu waktu itu, mau ketemu sekarang."
Nabila membaca kertas tersebut kemudian mobilnya segera melaju ke tempat tujuan.
"Agak gila sih, kamu mau ngelakuin hal ini." Tania bergumam. Nabila hanya mencibir, tetap fokus menyetir.
"Yaelah, biasa aja, Nia. Untuk berbuat baik kan bisa dengan cara apa saja. Ini caraku. Semoga bayarannya surga ya! Hahahaha."
"Itu... Bentar dong. Keluar topik. Itu gimana ceritanya sih Radit sama Nita bisa begitu?"
Tania kembali bertanya. Sedikit pelan. Takut-takut membuat Nabila tersinggung. Yang ditanya hanya tersenyum.
"Kamu mau tau hubungan mereka, apa mau tau tentang kecelakaan itu?"
"Maunya sih, dua-duanya, Bia. Boleh?"
"..."
"Bia! Jawab napa. Ngeselin ih." Tania meninju lengan kiri Nabila, pelan.
"Nggak mau cerita ah. Intinya Radit sama Nita butuh pertolongan, kalau nggak, umur mereka nggak lama. Eh nggak peduli sih ya, sama Nita. Yang parah kena di bagian mata aja kok. Sampe nggak bisa lihat. Gitu. Kecelakaannya apa, aku juga gamau tau. Nih, kita sudah sampai." Nabila mematikan mesin mobil di depan sebuah rumah yang di depannya terdapat plang izin praktek. Ternyata lokasinya tidak terlalu jauh.
"Nah, sampai juga. Katanya kalau mau konsul enakan di rumah beliau, Bia. Lebih nyaman. Kalau proses ya di rumah sakit." Tania melepas sabuk pengaman, membuka pintu. Mereka berdua lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Anita mantap menjalankan keinginannya.
•••
Sepuluh bulan sudah berlalu sejak pertemuan terakhir Tania dan Nabila. Mereka putus kontak setelah itu.
Hari ini, 20 April saat semua persiapan untuk pernikahan sudah hampir rampung. Semua seolah sudah melupakan Nabila, bahkan Anita tertawa bahagia seraya menghitung jumlah sovernir, matanya berbinar melihat ratusan sovernir yang cantik. Saat semua keluarga sedang sibuk menuliskan sejumlah nama dalam daftar undangan, Tania datang membawa pesan. Keceriaan di ruang keluarga segera terhenti saat Tania menangis dan tanpa banyak bicara, Tania melirik Anita, lalu memberikan secarik kertas berwarna fuchsia yang terlipat rapi kepada Radit.
"Hadiah ulang tahun untuk kamu, hari ini,"
Hanya itu yang keluar dari mulut Tania. Radit cepat-cepat membuka dengan kehati-hatian agar tidak ada kerusakan dalam kertas surat tersebut. Anita bersingut mundur, membiarkan Radit tenggelam dalam surat tersebut.
"Kamu selalu tahu password email-ku,"
Hanya satu kalimat yang ada dalam surat tersebut tapi Radit yakin, ada satu. pesan yang Nabila berharap ia membacanya. Segera di bukanya email Nabila melalui laptop yang ada di hadapannya. Ia singkirkan daftar undangan pernikahan dan segera membuka email. Jari-jemari Radit lincah menelusuri pesan masuk serta pesan keluar milik Nabila. Tak ada yang menarik. Sampai jemarinya berhenti di salah satu surat yang tersimpan di dalam draft.
Semua yang ada di ruang keluarga merapat, dalam diam ingin tahu apa yang di tuliskan oleh Nabila.
-------------------------
"Radit,
Saat kamu membaca surat ini, aku sedang berada di sebuah tempat yang keindahannya tidak dapat di prediksi oleh indera manusia, sebuah tempat di mana aku bisa memakan apa saja yang kumau tanpa ada yang melarang, tempatnya pusat segala macam kenikmatan, kelezatan, kesenangan, kebahagiaan, dan kesejukan pandangan mata. Aku berada di surga, Radit. Tadinya aku hendak ke luar negeri tapi aku lebih memilih ke surga karena tidak perlu pakai paspor dan visa :p
Aku tuliskan surat ini atas nama persahabatan, dan ingin menyampaikan. seluruh maaf serta terima kasihku atas semua hal yang tidak bisa kujelaskan.
Aku berharap, kornea mataku yang ada di mata Anita, bisa membawa kebahagiaan nantinya. Semoga Anita bahagia karena bisa melihat anak cucu kalian kelak. Dan untuk jantung yang bersemayam di dalam tubuhmu itu... kuharap ia terus berdetak seirama dengan detak jantung Anita, agar kalian bisa hidup dengan bahagia. Aku juga ingin tahu, bagaimana rasanya detak jantung yang berdebar lebih cepat saat hari sakral itu tiba, oleh karena itu kuberikan jantungku padamu. Semoga pernikahanmu dan Anita akan lancar kelak. Pesanku, jangan lagi mengalami kecelakaan bodoh yang dapat merusak organ tubuh kalian ya, hidup lah baik-baik. Dan soal uang di buku tabungan kita, aku harap kamu bisa membangun rumah impianmu dengan uang tersebut dan hidup selamanya dengan Anita.
Selamat ulang tahun, hanya kamu.
Salam,
Bia.
•••
beuhhh.......bagus juga nih cerpen nya mba...."andai" mba yg di posisi si nabila....kira2 bakal ngelakuin hal yg sama ga???
BalasHapusKalau aku di posisi Nabila, hm. Sepertinya enggak, aku belum sanggup :(
Hapusnice ka' enak bacanya, cerpennya kerennnn, emang uni paling kece
BalasHapusMakasiiih Aya :*
Hapussalam uni,,,
BalasHapuswah keren euy cerpenya. bru tau ternyata si uni ini cerpenis ya,,,
Salam bloger Merauke
Hai, aku belum pernah ke Merauke nih, seperti apa tempatnya? Hehe, doakan jadi cerpenis, ya.
HapusIh ya ampun, beneran sedih ini mah :'( Keren kakak ceritanya.
BalasHapusKalau berkenan, baca juga dong cerita yg ada di blogku. Butuh masukan nih :)
Salam kenal
Salam kenal juga! Sini kasih aku link cerpen blog kamu, :)
Hapussemua cerpen kak dzalika kece semua. ini keren banget. kakak jago banget deh twistnya. jadi ngefans nih
BalasHapusAaaaak akoh punya fans! Ayo ketemu biar aku kasih TTD, lol. Makasih, ya :')
HapusUni keren banget cerpennya :')
BalasHapusIh ini masih belajar kok, belum keren hehe. Makasih, Rizka sudah baca :')
HapusGilak, keren banget nih! Nggak nyangka kalo endingnya akan begitu :')
BalasHapusSedih, nggak? Aku sayang Nabila :(
HapusKereeen. Jadi kangen sahabat2 yang udah pisah sekolah deh. :(
BalasHapusSama aku juga kangen :( ayo kontak mereka, ajak ketemuan!
Hapus