Mataku mengerjap, lalu liar menatap sekeliling. Pikiranku berkecamuk, semua kemungkinan berjejalan dalam otak, memaksaku untuk berpikir yang tidak-tidak. Aku berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi tapi akal sehatku terasa lumpuh. Aku tak mampu mengingat apa pun. Tubuhku terasa nyeri. Beberapa kali aku melihat ke belakang, mencoba mendeteksi suara apa yang membuat telingaku berdengung. Mataku masih awas menatap tapi area di sini terlalu silau. Aku tak tahu aku berada di mana. Kutajamkan pendengaranku. Terdengar seperti ada suara air mengalir yang menghempas batu, beberapa serangga berbunyi krik krik, gesekan pohon bambu, suara suara dengungan binatang kecil yang kasat mata, dan kicauan burung yang menggema.
Aku sepertinya berada di gunung.
Aku mundur selangkah dari tempatku berdiri. Sinar matahari yang menyilaukan segera terhalang oleh beberapa pohon pinus berwarna cokelat yang hampir mati.
SREK!
Suara daun jatuh membuatku bergidik. Bulu kudukku merinding dan jantungku berdetak cepat. Kepalaku masih saja menengok kesana kemari mengitari sekeliling, berharap tahu tempat apa ini. Aku ingat. Terakhir kali aku sedang bermain dengan teman-teman. Lalu dari kejauhan terdengar derap langkah kaki dan suara tembakkan mulai sahut menyahut. Kemudian dengan hitungan detik, aku menyaksikan temanku sendiri mati di depanku. Saat itu aku segera lari secepat mungkin tanpa tahu arah, terpelosok ke semak belukar dan kemudian...
Kemudian aku ada di sini. Di tempat yang sangat asing bagiku.
Tubuhku mulai terbiasa. Kukibaskan rumput mati yang menempel di badanku. Di ujung sebelah kiriku, terdapat tangga berbatu yang mengarah ke atas bukit. Aku memutuskan untuk menaiki tangga tersebut dan berharap semoga pilihanku untuk naik ke atas bukit tidak salah. Tertatih aku melangkah. Semua telapak kaki terasa nyeri saat menginjak batu tajam. Aku terus melangkah dan hampir di atas bukit tapi seeokor ngengat besar dan buruk rupa menabrak mataku, membuat mataku perih.
Aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terguling ke bawah. Lalu pandanganku menjadi gelap kembali.
•••
Napasku tersengal-sengal dan bau anyir menguar ke udara. Darah mengucur di dahiku, perlahan menetes menentuh bibirku. Asin. Kupejamkan mataku sekali lagi, kuabaikan daun telingaku yang memanas, selalu ada suara-suara aneh yang dihasilkan oleh binatang tak terlihat oleh mata. Aku butuh ketenangan, butuh berpikir apa yang sedang kualami.
Aku harus pulang. Menemukan ayah dan ibu, mencari teman-temanku. Kenapa ada suara tembakan? Mengapa kami semua ditembaki? Aku takut. Aku sungguh takut dengan suara yang mendatangkan maut. Tapi sekarang ini aku merasa bodoh. Aku bukanya mencari jalan pulang, malah mengantuk di tempat seperti ini. Kupejamkan mata beberapa menit seolah aku sedang berada di rumah yang nyaman. Tapi setiap beberapa detik, seperti ada sekelebat bayang hitam mampir di hadapanku.
Aku sebenarnya ada di mana? Kemana semua teman-teman dan keluargaku? Kenapa dunia ini terasa sangat sunyi? Atau.. apakah aku berada di surga?
"Hei, kenapa kamu ada di sini?"
Suara itu berasal dari belakangku. Aku menoleh. Tampan, berkumis tipis, matanya biru kehijauan, hidungnya sedikit basah, dan tubuhnya kekar. Aku segera membetulkan posisi duduk dan tergagap menjawabnya.
"A-aku... Aku tersesat."
"Aku tahu kamu pasti tersesat. Ini wilayahku. Kalau teman-temanku tahu kamu masuk ke sini, mereka akan membunuhmu,"
Aku bergidik. Telingaku menangkap jelas perkataannya. Aku bahkan bisa mendengar suara desahan napasnya yang teratur. Dia berjalan mendekatiku. Aku bisa rasakan jantungku berdetak lebih cepat karena dua hal. Pertama, aku takut dia akan melakukan hal yang membuatku rugi. Kedua, aku tak kuasa melihat ketampanannya yang memukau dan membuatku lumpuh. Tidak, jangan sampai aku jatuh cinta pada makhluk yang baru kukenal ini. Jarak dia semakin dekat, kira-kira 30 sentimeter di hadapanku.
"Kamu harus segera pergi dari sini,"
Katanya dengan suara berat. Aku menangkap kegelisahannya. Aku segera memutar tubuhku dan hendak berlari sekencang mungkin tapi dia segera berteriak.
"Tunggu! Kamu bisa berlindung di rumahku untuk sementara, sampai luka di dahimu sembuh. Aku akan menjamin keselamatanmu,"
"Kamu serius?"
"Iya,"
Dia berjalan di depanku, memberi isyarat untuk mengikutinya.
"Aku lapar. Di rumahmu ada makanan? Atau sayuran? Aku butuh makan,"
Kataku kepada si tampan. Dia tetap berjalan di depanku dan bisa kupastikan matanya awas melihat sekeliling.
"Tidak ada sayur. Aku benci makan sayur. Tapi aku punya daging ayam yang masih segar. Kamu pasti suka,"
Aku tidak membalasnya. Kami terus melangkah dan kakiku mulai berkeringat lebih banyak dari biasanya. Membuat langkahku licin saat menginjak ranting yang berserakan di atas tanah di hutan ini.
"Kita sudah sampai,"
Aku menabrak punggungnya karena dia berhenti mendadak di depanku. Dan mataku terkesiap melihat pemandangan yang ada di hadapanku. Rumahnya seram, tapi begitu memukau.
•••
"Kalau aku bilang aku suka kamu, bagaimana?"
Suara si tampan memecah keheningan malam. Aku yang sedang termenung terkejut mendengar pernyataannya.
"Eh?"
"Iya, aku suka kamu. Cantik, gemulai, lincah, molek, dan matamu... Indah sekali dipandang,"
Mendengar pujiannya, aku tersipu malu. Sudah satu minggu aku di sini dan hutan ini tak lagi asing bagiku. Aku nyaman dan merasa seperti ada di rumah sendiri. Si Tampan bilang, kota tempat tinggalku tidak aman dan kabarnya para penembak jitu masih menembaki siapa saja yang masih hidup di kota itu. Si Tampan bilang, aku lebih baik tinggal di sini. Memang, buktinya aku aman dan sehat tinggal di sini. Aku teringat ada pepatah yang mengatakan : tempat untuk bersembunyi paling aman adalah di tempat yang paling berbahaya.
"Jadi, bagaimana?"
Lagi-lagi si Tampan mengejutkanku. Aku menatap pupil matanya yang oval, melihat tubuh kekarnya secara keseluruhan. Wanita mana yang sanggup menolak cinta si Tampan?
"A-aku... Aku juga suka kamu. Tapi kita begitu berbeda soal usia, status sosial, derajat, dan kita berasal dari keluarga yang berbeda. Apakah..."
"Cantik, ketika jatuh cinta, semua tentang perbedaan tak perlu dipedulikan lagi,"
Telingaku menangkap jelas ucapannya. Dia bersingut mendekatiku, hidung kami saling bersentuhan. Aku sedikit merinding saat telingaku mendengar desahan napasnya. Kupikir dia akan menciumku maka kupejamkan mataku secepatnya. Tapi tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa, dia menggigit leherku dan aku menyaksikan sendiri darah yang mengalir dari leherku berceceran di atas tanah. Tubuhku kejang-kejang dan napasku tersengal-sengal. Dalam sisa napasku, aku masih bisa melihat sekawanan serigala hutan datang mengelilingiku. Iya, mereka teman-temannya si Tampan.
Penglihatanku mulai kabur, tubuhku yang berbulu putih bermandikan darahku sendiri. Tapi telingaku masih mendengar ucapan mereka.
"Dasar kelinci bodoh!"
•••
*) Maunya bikin cerita fabel tentang kelinci bodoh dan serigala cerdik. Tapi kayaknya gagal :D
**) Sumber gambar di ambil di sini .
Aku sepertinya berada di gunung.
Aku mundur selangkah dari tempatku berdiri. Sinar matahari yang menyilaukan segera terhalang oleh beberapa pohon pinus berwarna cokelat yang hampir mati.
SREK!
Suara daun jatuh membuatku bergidik. Bulu kudukku merinding dan jantungku berdetak cepat. Kepalaku masih saja menengok kesana kemari mengitari sekeliling, berharap tahu tempat apa ini. Aku ingat. Terakhir kali aku sedang bermain dengan teman-teman. Lalu dari kejauhan terdengar derap langkah kaki dan suara tembakkan mulai sahut menyahut. Kemudian dengan hitungan detik, aku menyaksikan temanku sendiri mati di depanku. Saat itu aku segera lari secepat mungkin tanpa tahu arah, terpelosok ke semak belukar dan kemudian...
Kemudian aku ada di sini. Di tempat yang sangat asing bagiku.
Tubuhku mulai terbiasa. Kukibaskan rumput mati yang menempel di badanku. Di ujung sebelah kiriku, terdapat tangga berbatu yang mengarah ke atas bukit. Aku memutuskan untuk menaiki tangga tersebut dan berharap semoga pilihanku untuk naik ke atas bukit tidak salah. Tertatih aku melangkah. Semua telapak kaki terasa nyeri saat menginjak batu tajam. Aku terus melangkah dan hampir di atas bukit tapi seeokor ngengat besar dan buruk rupa menabrak mataku, membuat mataku perih.
Aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terguling ke bawah. Lalu pandanganku menjadi gelap kembali.
•••
Napasku tersengal-sengal dan bau anyir menguar ke udara. Darah mengucur di dahiku, perlahan menetes menentuh bibirku. Asin. Kupejamkan mataku sekali lagi, kuabaikan daun telingaku yang memanas, selalu ada suara-suara aneh yang dihasilkan oleh binatang tak terlihat oleh mata. Aku butuh ketenangan, butuh berpikir apa yang sedang kualami.
Aku harus pulang. Menemukan ayah dan ibu, mencari teman-temanku. Kenapa ada suara tembakan? Mengapa kami semua ditembaki? Aku takut. Aku sungguh takut dengan suara yang mendatangkan maut. Tapi sekarang ini aku merasa bodoh. Aku bukanya mencari jalan pulang, malah mengantuk di tempat seperti ini. Kupejamkan mata beberapa menit seolah aku sedang berada di rumah yang nyaman. Tapi setiap beberapa detik, seperti ada sekelebat bayang hitam mampir di hadapanku.
Aku sebenarnya ada di mana? Kemana semua teman-teman dan keluargaku? Kenapa dunia ini terasa sangat sunyi? Atau.. apakah aku berada di surga?
"Hei, kenapa kamu ada di sini?"
Suara itu berasal dari belakangku. Aku menoleh. Tampan, berkumis tipis, matanya biru kehijauan, hidungnya sedikit basah, dan tubuhnya kekar. Aku segera membetulkan posisi duduk dan tergagap menjawabnya.
"A-aku... Aku tersesat."
"Aku tahu kamu pasti tersesat. Ini wilayahku. Kalau teman-temanku tahu kamu masuk ke sini, mereka akan membunuhmu,"
Aku bergidik. Telingaku menangkap jelas perkataannya. Aku bahkan bisa mendengar suara desahan napasnya yang teratur. Dia berjalan mendekatiku. Aku bisa rasakan jantungku berdetak lebih cepat karena dua hal. Pertama, aku takut dia akan melakukan hal yang membuatku rugi. Kedua, aku tak kuasa melihat ketampanannya yang memukau dan membuatku lumpuh. Tidak, jangan sampai aku jatuh cinta pada makhluk yang baru kukenal ini. Jarak dia semakin dekat, kira-kira 30 sentimeter di hadapanku.
"Kamu harus segera pergi dari sini,"
Katanya dengan suara berat. Aku menangkap kegelisahannya. Aku segera memutar tubuhku dan hendak berlari sekencang mungkin tapi dia segera berteriak.
"Tunggu! Kamu bisa berlindung di rumahku untuk sementara, sampai luka di dahimu sembuh. Aku akan menjamin keselamatanmu,"
"Kamu serius?"
"Iya,"
Dia berjalan di depanku, memberi isyarat untuk mengikutinya.
"Aku lapar. Di rumahmu ada makanan? Atau sayuran? Aku butuh makan,"
Kataku kepada si tampan. Dia tetap berjalan di depanku dan bisa kupastikan matanya awas melihat sekeliling.
"Tidak ada sayur. Aku benci makan sayur. Tapi aku punya daging ayam yang masih segar. Kamu pasti suka,"
Aku tidak membalasnya. Kami terus melangkah dan kakiku mulai berkeringat lebih banyak dari biasanya. Membuat langkahku licin saat menginjak ranting yang berserakan di atas tanah di hutan ini.
"Kita sudah sampai,"
Aku menabrak punggungnya karena dia berhenti mendadak di depanku. Dan mataku terkesiap melihat pemandangan yang ada di hadapanku. Rumahnya seram, tapi begitu memukau.
•••
"Kalau aku bilang aku suka kamu, bagaimana?"
Suara si tampan memecah keheningan malam. Aku yang sedang termenung terkejut mendengar pernyataannya.
"Eh?"
"Iya, aku suka kamu. Cantik, gemulai, lincah, molek, dan matamu... Indah sekali dipandang,"
Mendengar pujiannya, aku tersipu malu. Sudah satu minggu aku di sini dan hutan ini tak lagi asing bagiku. Aku nyaman dan merasa seperti ada di rumah sendiri. Si Tampan bilang, kota tempat tinggalku tidak aman dan kabarnya para penembak jitu masih menembaki siapa saja yang masih hidup di kota itu. Si Tampan bilang, aku lebih baik tinggal di sini. Memang, buktinya aku aman dan sehat tinggal di sini. Aku teringat ada pepatah yang mengatakan : tempat untuk bersembunyi paling aman adalah di tempat yang paling berbahaya.
"Jadi, bagaimana?"
Lagi-lagi si Tampan mengejutkanku. Aku menatap pupil matanya yang oval, melihat tubuh kekarnya secara keseluruhan. Wanita mana yang sanggup menolak cinta si Tampan?
"A-aku... Aku juga suka kamu. Tapi kita begitu berbeda soal usia, status sosial, derajat, dan kita berasal dari keluarga yang berbeda. Apakah..."
"Cantik, ketika jatuh cinta, semua tentang perbedaan tak perlu dipedulikan lagi,"
Telingaku menangkap jelas ucapannya. Dia bersingut mendekatiku, hidung kami saling bersentuhan. Aku sedikit merinding saat telingaku mendengar desahan napasnya. Kupikir dia akan menciumku maka kupejamkan mataku secepatnya. Tapi tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa, dia menggigit leherku dan aku menyaksikan sendiri darah yang mengalir dari leherku berceceran di atas tanah. Tubuhku kejang-kejang dan napasku tersengal-sengal. Dalam sisa napasku, aku masih bisa melihat sekawanan serigala hutan datang mengelilingiku. Iya, mereka teman-temannya si Tampan.
Penglihatanku mulai kabur, tubuhku yang berbulu putih bermandikan darahku sendiri. Tapi telingaku masih mendengar ucapan mereka.
"Dasar kelinci bodoh!"
•••
*) Maunya bikin cerita fabel tentang kelinci bodoh dan serigala cerdik. Tapi kayaknya gagal :D
**) Sumber gambar di ambil di sini .
Aihhhh... suka banget sama ceritanya. Uni memang jago! Awal-awal cerita penuh misteri. Serem, sampe di akhir baru tau kalo tokohnya kelinci sama serigala. Nice Uni!
BalasHapusBAGUUUSSS!!! :D
BalasHapusbagus ceritanya,...
BalasHapusbtw aku ijin follow blog kamu yah,.kalo bisa follow back blog aku juga dong biar makin banyak temen hehhe
catatandewisri.blogspot.com
makasih, salam kenal :)
bagus, endingnya gak di sangka sangka.
BalasHapus