Aku cinta kamu. Sungguh. Mengetahui bahwa kamu menuliskan puluhan kalimat dan melahirkan banyak buku (yang bisa aku baca di setiap toko buku), aku semakin suka. Aku membaca semua tulisanmu. Aku melahapnya, menikmati semua sajianmu, dan membuatku semakin merasa mengenal kamu. Dan aku hanya sebatas pembaca serta kamu penulisnya. Kita berada pada dua dunia yang saling berkaitan tapi tidak bisa meyatu. Seperti dua ujung tombak yang sama runcing tapi tak mungkin saling menyentuh satu sama lain. Rumit, ya.
Aku Kagum. Tidak lebih. Tidak bisa lebih. Karena aku tahu, dalam setiap buku yang kau tulis, selalu ada ucap terima kasih untuk kekasihmu.
Aku suka kamu. Awalnya peduli, lalu begitu saja jatuh cinta padamu. Pada tulisanmu. Pada semua riwayat singkat di halaman terakhir. Pada foto yang terpasang di kaver belakang. Itu kamu, yang sedang tersenyum menatap kamera. Bisa jadi pemegang kamera saat itu adalah kekasihmu yang selalu kau sebut namanya dalam kicauan di jejaring sosial.
Aku cemburu. Cemburu pada tokoh fiksi yang kau ciptakan. Karena mereka pasti menemani jam insomnia-mu. Karena mereka pasti menjadi saksi bisu atas ulahmu yang selalu meyeduh kopi cappucino tanpa krimer, menyesapnya, kemudian tersenyum ke arah tokoh-tokoh fiksi itu ; -mendapat-kelanjutan-ide- adalah jurus untuk membuatmu bahagia.
Aku ingin, sekali saja kamu tahu, di sini, ada pembaca yang sangat kagum dan jatuh hati pada keseharianmu.
Aku benci buku. Benci huruf-huruf yang berjejer rapi di setiap lembar yang berjilid-jilid. Tapi aku sanggup membaca ratusan, bahkan jutaan naskahmu. Karena membacanya menjadi candu bagiku. Buku-buku (di mana namamu tercantum sebagai penulisnya) yang kupunya ini menjadi nutrisi bagi otak. Sarapan, juga makan malamku, cukup dengan membaca tulisanmu.
Ah, kamu.
Andai saja kamu tahu ini bukan perasaan sesaat. Aku sudah lama menyimpannya. Tapi rasa ini tak pernah busuk. Ia sehat, sebab rasa ini selalu berbasuh air mata yang menderas, merindukan kamu.
Kelak, tiap lembar dalam buku yang kau tulis akan memudar tintanya, akan rapuh kertasnya, akan bau apak.
Aku tak peduli.
Aku akan selalu menjadi pengagum yang setia menunggu kedatangan semua tokoh fiksi-mu, entah dalam bentuk apa pun. Menunggu agar penulis macam kamu tidak sekadar melihat aku sebagai sang pembaca buku-bukumu.
Lalu jarak antara penulis dan pembaca berubah menjadi kamu dan aku.
Amiin.
Aku Kagum. Tidak lebih. Tidak bisa lebih. Karena aku tahu, dalam setiap buku yang kau tulis, selalu ada ucap terima kasih untuk kekasihmu.
Aku suka kamu. Awalnya peduli, lalu begitu saja jatuh cinta padamu. Pada tulisanmu. Pada semua riwayat singkat di halaman terakhir. Pada foto yang terpasang di kaver belakang. Itu kamu, yang sedang tersenyum menatap kamera. Bisa jadi pemegang kamera saat itu adalah kekasihmu yang selalu kau sebut namanya dalam kicauan di jejaring sosial.
Aku cemburu. Cemburu pada tokoh fiksi yang kau ciptakan. Karena mereka pasti menemani jam insomnia-mu. Karena mereka pasti menjadi saksi bisu atas ulahmu yang selalu meyeduh kopi cappucino tanpa krimer, menyesapnya, kemudian tersenyum ke arah tokoh-tokoh fiksi itu ; -mendapat-kelanjutan-ide- adalah jurus untuk membuatmu bahagia.
Aku ingin, sekali saja kamu tahu, di sini, ada pembaca yang sangat kagum dan jatuh hati pada keseharianmu.
Aku benci buku. Benci huruf-huruf yang berjejer rapi di setiap lembar yang berjilid-jilid. Tapi aku sanggup membaca ratusan, bahkan jutaan naskahmu. Karena membacanya menjadi candu bagiku. Buku-buku (di mana namamu tercantum sebagai penulisnya) yang kupunya ini menjadi nutrisi bagi otak. Sarapan, juga makan malamku, cukup dengan membaca tulisanmu.
Ah, kamu.
Andai saja kamu tahu ini bukan perasaan sesaat. Aku sudah lama menyimpannya. Tapi rasa ini tak pernah busuk. Ia sehat, sebab rasa ini selalu berbasuh air mata yang menderas, merindukan kamu.
Kelak, tiap lembar dalam buku yang kau tulis akan memudar tintanya, akan rapuh kertasnya, akan bau apak.
Aku tak peduli.
Aku akan selalu menjadi pengagum yang setia menunggu kedatangan semua tokoh fiksi-mu, entah dalam bentuk apa pun. Menunggu agar penulis macam kamu tidak sekadar melihat aku sebagai sang pembaca buku-bukumu.
Lalu jarak antara penulis dan pembaca berubah menjadi kamu dan aku.
Amiin.
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)