(Ini tadinya mau diikutsertakan dalam lomba cerpen #AntologiRindu . Tapi tiba-tiba perut mules dan langsung nggak pede. Karena udah jadi dan nggak tega untuk masukin ke tong sampah, jadilah di pajang ke blog. Antologi Rindu adalah lomba cerpen yang mengharuskan menulis cerita tanpa ada kata rindu, kangen dan sejenisnya. Rumit, memang. Makanya langsung nggak pede. Masih perlu belajar banyak :') hehehehe.)
Ajeng Sarwendah namanya. Perempuan keturunan Jawa yang mempunyai rambut lurus sebahu, mata cokelat, tubuh semampai, dan kulitnya yang kuning langsat menjadi daya tarik tersendiri. Sarwendah benci saat ia harus menerima kenyataan bahwa orangtuanya bercerai lima tahun silam. Bukan benci kepada Tuhan, ia hanya benci saat mengharap sebuah pelukan dari mamanya tapi tentu tak berbalas.
Lain lagi dengan papanya yang hanya sibuk memacari pekerjaan gila yang melumat seluruh waktu papanya dengan Sarwendah.
Sedangkan Martin, lelaki yang rela berbagi seluruh perhatiannya, seluruh harta bendanya, kepada Sarwendah. Pun rela melakukan apapun, dan berhasil membuat Sarwendah lebih bahagia. Sarwendah senang-bahagia-tiada-tara bisa dekat dengan Martin. Tapi itu pun sudah berlalu, sekarang Martin tidak lagi seperti dulu.
Kini Sarwendah termenung di dalam kamar. Jantungnya berdegub kencang menatap dus ukuran sedang berbalut sampul cokelat. Sebuah paket tanpa nama pengirim mendarat mulus di depan teras rumah, tadi siang. Ia khawatir paket tersebut sebuah bom atau virus mematikan ketika dibuka. Namun rasa takutnya kalah oleh rasa penasaran yang sedang mengusiknya. Perlahan diangakatnya dus tersebut, dipangkunya. Ia segera membuka paket tersebut dan sepucuk surat tertera didalamnya.
"Aku selalu punya bantal favorit. Jadi kalau capek, aku akan peluk bantal itu sampai tertidur pulas. Kalau pergi, bantal itu juga di bawa. Kamu gimana?"
"Nggak ada. Aku gapunya bantal favorit. Tidur ya tidur aja,"
"Masa sih? Perempuan gapunya bantal favorit itu aneh! Kalau boneka kesayangan untuk dipeluk pas tidur, ada kan?"
"Nggak punya boneka. Tidur ya tidur aja."
"Aneh. Kamu harus punya. Aku yang cowok aja punya. Papamu nggak membelikan? Apa harus aku yang..."
"Makanya belikan dong untukku."
"Kalau aku belikan, nanti kamu nggak mau pakai bantalnya, malah percuma,"
"Nggak kok. Kalau kamu belikan, akan dipakai. Yang ngasih kan orang spesial."
"..."
"Kok diem?"
"I-iya nanti aku belikan, aku janji. Tapi nanti ya. NANTI, setelah aku gajian. Jadi kamu harus terus doain supaya aku cepat dapat kerja."
---
Halo Sasa. Masih ingat percakapan kita di atas? Kutuliskan kembali, agar kamu mengingatnya. Hanya saja aku lupa kapan tanggal percakapan kita saat itu. Aku yakin sudah sangat lama, beberapa tahun silam. Tapi ini janjiku, aku sekarang sudah berpenghasilan, dan meskipun aku sudah tidak lagi istimewa, aku akan tetap menepati janji.
Sarwendah menatap bantal berwarna kuning, berbentuk emote icon senyuman. Ia sungguh masih ingat percakapan tersebut, tapi semua kenangan tentang pengirim bantal ini, sudah ia hapus sejak beberapa bulan yang lalu. Mereka hilang kontak. Dipeluknya erat bantal tersebut seraya memejamkan matanya. Ia menarik panjang napasnya lalu dihembuskannya perlahan dan semua masa lalu kembali datang tepat di pikirannya, semua saling menyusun seperti potongan puzzle yang membentuk satu gambar objek secara sempurna. Tiba-tiba perasaan aneh muncul. Degub jantung yang tak karuan membuat sesak di dada dan tubuhnya melemas. Di dalam kesunyian ini ada sesuatu yang menyeruak kembali ke dalam dekapannya. Lalu air matanya perlahan meleleh, membasahi bantal barunya. Sesuatu yang sangat menyakitkan ketika merasakan perasaan yang tak berbalas ini.
Dahulu Martin begitu mencintai dan menyayanginya, kecuali di malam saat Martin meminta restu, lalu Martin pergi memilih yang lain.
Dimasukannya kembali bantal tersebut. Ia jelas tak boleh memilikinya meskipun ia mau. Diketiknya satu pesan singkat untuk Martin.
"Maaf. Kamu salah kirim paket."
Tidak butuh waktu lama, pesan berikutnya masuk.
Martin : Memang buatmu.
Sarwendah : Aku tak pantas menerimanya. Kasih untuk dia saja, Martin.
Martin : Aku juga menyesal dulu pernah berjanji padamu. Jadi sebenarnya secara terpaksa aku memberikannya, hanya untuk memenuhi janjiku. Atau aku masuk neraka karena ingkar janji.
Sarwendah : Hanya karena janji itu? Lalu kenapa kamu kirim percakapan kita dulu? Membuatku kembali ingat semua tentang kita, membuatku merasa sangat bersalah, membuatku ingin bertemu kamu, memelukmu, menangis di bahumu, dan memintamu untuk meredakan rasa sesak karena ingin bertemu kamu.
Martin : Kamu siapa?
Sarwendah : Tolong, Martin. Aku termasuk potongan dari masa lalumu.
Martin : Maaf ya, bantal itu hanya untuk menepati janji. Bagiku kamu, dan papamu itu bukan masa laluku.
Sakit.
Tidak. Lebih dari sakit. Rasanya seperti mencoba bunuh diri berkali-kali tapi tak pernah mati : tersiksa, sengsara, putus asa, muak.
Sarwendah memencet beberapa digit kemudian suara dari sebrang terdengar.
"Tolong berhenti ganggu aku, Sa."
"Martin bisa kan kamu kasih aku waktu sehari saja, Tuhan saja berbaik hati memberi apapun."
"Maaf. Tidak bisa."
"Aku hamil."
Tak ada jawaban. Untuk beberapa saat telepon masih tersambung tapi terputus dari pihak sebrang. Sarwendah kembali menangis. Kalau saja Martin selalu ada untuknya, pasti dia akan lebih menjaga pergaulan. Bodohnya ia. Habislah sudah harga dirinya.
Martin namanya. Dua tahun lalu ia memutuskan menikah dengan perempuan yang sangat cantik. Ada rasa benci terhadap perempuan itu. Sarwendah yang sejak kecil bersama Martin, yang selalu bersama, selalu berbagi camilan, selalu hadir meskipun jarak telah memisahkan. Kini, saat Sarwendah beranjak dewasa, ia mulai mengerti bahwa dirinya butuh sosok Martin. Ada rasa seperti candu untuk terus bertemu. Mereka saling berbagi, saling mengasihi. Sampai akhirnya, Perasaan Martin utuh untuk calon isterinya yang sangat cantik itu.
Sarwendah kembali mendekap bantal yang masih bau baru.
•••
"Papa kamu tahu Sa?"
Sarwendah menggeleng.
"Mama kamu?"
Menggeleng lagi.
"Uhm.. Martin tahu kan, Sa?"
Mengangguk. Sarewndah lantas memeluk sahabatnya Dinar. Erat. Siang ini mereka duduk berdua di belakang halaman sekolah, seusai jam pelajaran. Persoalan tentang hamil memang sangat rumit untuk anak seusia mereka.
"Aku mau bunuh diri. Percuma. Papa mama terlalu sibuk dengan pekerjaan. Martin sibuk dengan kekuarga barunya. Aku butuh.... A-aku... Aku butuh keluarga yang utuh."
Dilepasnya pelukan kepada Dinar. Tidak. Sarwendah tidak menangis. Ia lupa bagaimana caranya mengeluarkan air mata. Hanya perasaan sesak yang selalu ada.
"Bodoh kamu! Bunuh diri tuh gak mudah. Semua orang bakal direpotkan ngurusin mayat kamu. Belum polisi. Belum tangisan papa kamu. Belum lagi nanti urusan sama Tuhan. Ih, mau-maunya bunuh diri."
Dinar asal berbicara. Tapi dalam hatinya getir. Tidak ada yang bisa dia perbuat selain selalu ada di samping sahabatnya.
"Nggak peduli. Kalau aku mati, nanti Martin, mama, papa... Kamu. Kalian semua akan ada di sekelilingku kan?"
Sebenarnya istri Martin baik. Beberapa kali Sarwendah main ke rumah mereka, istrinya selalu menghidangkan makanan, selalu mengajaknya berbagi cerita. Mereka akan duduk di depan ruang tamu sambil menikmati cahaya senja yang masuk ke dalam rumah. Tapi Sarwendah akan melihat Martin di sebelah istrinya, merangkulnya, lalu menatap datar Sarwendah yang duduk di sebarangnya. Dan istrinya akan tertawa, seakan tawanya mengandung arti aku-yang-memenangkan-hatinya-Martin. Membuat Sarwendah benci.
Keputusannya bulat sudah. Nanti malam. Harus.
•••
"Maafkan aku Sa..."
Suara Martin terdengar lirih. Entah mengakui kesalahannya atau lirih karena takut tertangkap polisi. Martin sungguh takut. Ia sungguh takut karena beberapa menit yang lalu ia menyaksikan orang yang pernah disayangnya mencoba bunuh diri di dapur rumahnya. Bukan. Persoalan ini rumit. Ia melihat istrinya memegang pisau dapur. Ia melihat perut Sarwendah bersimbah darah. Ia melihat pisau dapur yang di pegang istrinya penuh darah. Ia melihat mimik muka Sarwendah yang penuh ketakutan. Ia melihat istrinya terkejut melihat Martin datang. Hanya saja, ia tak melihat apa yang baru saja terjadi. Martin menyesal. Andai ia pulang dari kantor lebih cepat.
"Sa, bertahan ya! Ambulans sedang kesini. Tunggu sebentar!"
Martin setengah berteriak. Ia sudah menyandarkan kepala Sarwendah di atas pangkuannya. Kemana istrinya? Tiba-tiba berlari keluar rumah dan meninggalkan Martin dengan penuh kepanikan.
"A... A-ku baik-baik saja kan?"
Sarwendah meringis. Kesakitan.
"Akan baik-baik saja. Tunggu sebentar ya. Papamu, mama, dan ambulans akan segera datang."
Martin berusaha tenang, tapi Sarwendah tahu, urusan ini tidak mudah. Ia ingin menjelaskan kepada Martin tentang hal yang baru saja terjadi, tapi tenaganya terlalu lemah. Ia mau menjelaskan bahwa istrinya tidak bersalah. Bahwa istrinya terkejut melihat Sarwendah di dapur. Lalu karena kebodohannya, malah mencabut pisau yang tertancap di perut Sarwendah. Darah bercucuran. Martin datang.
"Maafkan istriku Sa. Aku tahu dia sebenarnya tidak suka kamu. Dia cemburu. Maaf. Aku tidak tahu akan seperti ini."
Martin mulai berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka akan seperti ini. Memang, membagi cinta dengan adil tidak semudah membagi uang dengan sama rata.
"Maafkan aku. Kamu tahu Sa, tentang kamu.. dan kenangan kita... aku rin..."
"Ja...jangan di...sebut, Mar...tin. Kamu sen...diri yang pernah bilang sama a...ku, se...suatu yang tak berbalas akan terasa me...nya...kitkan. Kalau a...aku per...gi hari ini, ra...sa itu ti...dak akan berba...las. La...gi...pula, kata...mu aku bu...kan sia...pa-sia...pa. Sa...na Sa...yangi... Istri...mu."
Ketika detak jantungnya melemah dan kelopak matanya nyaris tertutup, Sarwendah menitikan air matanya. Terlalu pedih jika harus mengakuinya, tapi Sarwendah sungguh sayang Martin, kakak kandungnya. Martin yang sejak kecil selalu ada bersamanya, Martin yang selalu memberi kabar tentang mama, Martin yang selalu siap menjaga Sarwendah, Martin yang kemudian sibuk dengan pekerjaan, lalu menikah. Membuat Sarwendah lepas dari jangkauannya, membuat Sarwendah salah pergaulan. Sarwendah sungguh selalu ingin memeluk Martin, Kakak yang selama ini menjadi pelindungnya, yang ia cintai atas nama keluarga. Sarwendah ingin masa lalunya yang bahagia terulang lagi.
Lalu gelap.
Ajeng Sarwendah namanya. Perempuan keturunan Jawa yang mempunyai rambut lurus sebahu, mata cokelat, tubuh semampai, dan kulitnya yang kuning langsat menjadi daya tarik tersendiri. Sarwendah benci saat ia harus menerima kenyataan bahwa orangtuanya bercerai lima tahun silam. Bukan benci kepada Tuhan, ia hanya benci saat mengharap sebuah pelukan dari mamanya tapi tentu tak berbalas.
Lain lagi dengan papanya yang hanya sibuk memacari pekerjaan gila yang melumat seluruh waktu papanya dengan Sarwendah.
Sedangkan Martin, lelaki yang rela berbagi seluruh perhatiannya, seluruh harta bendanya, kepada Sarwendah. Pun rela melakukan apapun, dan berhasil membuat Sarwendah lebih bahagia. Sarwendah senang-bahagia-tiada-tara bisa dekat dengan Martin. Tapi itu pun sudah berlalu, sekarang Martin tidak lagi seperti dulu.
Kini Sarwendah termenung di dalam kamar. Jantungnya berdegub kencang menatap dus ukuran sedang berbalut sampul cokelat. Sebuah paket tanpa nama pengirim mendarat mulus di depan teras rumah, tadi siang. Ia khawatir paket tersebut sebuah bom atau virus mematikan ketika dibuka. Namun rasa takutnya kalah oleh rasa penasaran yang sedang mengusiknya. Perlahan diangakatnya dus tersebut, dipangkunya. Ia segera membuka paket tersebut dan sepucuk surat tertera didalamnya.
"Aku selalu punya bantal favorit. Jadi kalau capek, aku akan peluk bantal itu sampai tertidur pulas. Kalau pergi, bantal itu juga di bawa. Kamu gimana?"
"Nggak ada. Aku gapunya bantal favorit. Tidur ya tidur aja,"
"Masa sih? Perempuan gapunya bantal favorit itu aneh! Kalau boneka kesayangan untuk dipeluk pas tidur, ada kan?"
"Nggak punya boneka. Tidur ya tidur aja."
"Aneh. Kamu harus punya. Aku yang cowok aja punya. Papamu nggak membelikan? Apa harus aku yang..."
"Makanya belikan dong untukku."
"Kalau aku belikan, nanti kamu nggak mau pakai bantalnya, malah percuma,"
"Nggak kok. Kalau kamu belikan, akan dipakai. Yang ngasih kan orang spesial."
"..."
"Kok diem?"
"I-iya nanti aku belikan, aku janji. Tapi nanti ya. NANTI, setelah aku gajian. Jadi kamu harus terus doain supaya aku cepat dapat kerja."
---
Halo Sasa. Masih ingat percakapan kita di atas? Kutuliskan kembali, agar kamu mengingatnya. Hanya saja aku lupa kapan tanggal percakapan kita saat itu. Aku yakin sudah sangat lama, beberapa tahun silam. Tapi ini janjiku, aku sekarang sudah berpenghasilan, dan meskipun aku sudah tidak lagi istimewa, aku akan tetap menepati janji.
Sarwendah menatap bantal berwarna kuning, berbentuk emote icon senyuman. Ia sungguh masih ingat percakapan tersebut, tapi semua kenangan tentang pengirim bantal ini, sudah ia hapus sejak beberapa bulan yang lalu. Mereka hilang kontak. Dipeluknya erat bantal tersebut seraya memejamkan matanya. Ia menarik panjang napasnya lalu dihembuskannya perlahan dan semua masa lalu kembali datang tepat di pikirannya, semua saling menyusun seperti potongan puzzle yang membentuk satu gambar objek secara sempurna. Tiba-tiba perasaan aneh muncul. Degub jantung yang tak karuan membuat sesak di dada dan tubuhnya melemas. Di dalam kesunyian ini ada sesuatu yang menyeruak kembali ke dalam dekapannya. Lalu air matanya perlahan meleleh, membasahi bantal barunya. Sesuatu yang sangat menyakitkan ketika merasakan perasaan yang tak berbalas ini.
Dahulu Martin begitu mencintai dan menyayanginya, kecuali di malam saat Martin meminta restu, lalu Martin pergi memilih yang lain.
Dimasukannya kembali bantal tersebut. Ia jelas tak boleh memilikinya meskipun ia mau. Diketiknya satu pesan singkat untuk Martin.
"Maaf. Kamu salah kirim paket."
Tidak butuh waktu lama, pesan berikutnya masuk.
Martin : Memang buatmu.
Sarwendah : Aku tak pantas menerimanya. Kasih untuk dia saja, Martin.
Martin : Aku juga menyesal dulu pernah berjanji padamu. Jadi sebenarnya secara terpaksa aku memberikannya, hanya untuk memenuhi janjiku. Atau aku masuk neraka karena ingkar janji.
Sarwendah : Hanya karena janji itu? Lalu kenapa kamu kirim percakapan kita dulu? Membuatku kembali ingat semua tentang kita, membuatku merasa sangat bersalah, membuatku ingin bertemu kamu, memelukmu, menangis di bahumu, dan memintamu untuk meredakan rasa sesak karena ingin bertemu kamu.
Martin : Kamu siapa?
Sarwendah : Tolong, Martin. Aku termasuk potongan dari masa lalumu.
Martin : Maaf ya, bantal itu hanya untuk menepati janji. Bagiku kamu, dan papamu itu bukan masa laluku.
Sakit.
Tidak. Lebih dari sakit. Rasanya seperti mencoba bunuh diri berkali-kali tapi tak pernah mati : tersiksa, sengsara, putus asa, muak.
Sarwendah memencet beberapa digit kemudian suara dari sebrang terdengar.
"Tolong berhenti ganggu aku, Sa."
"Martin bisa kan kamu kasih aku waktu sehari saja, Tuhan saja berbaik hati memberi apapun."
"Maaf. Tidak bisa."
"Aku hamil."
Tak ada jawaban. Untuk beberapa saat telepon masih tersambung tapi terputus dari pihak sebrang. Sarwendah kembali menangis. Kalau saja Martin selalu ada untuknya, pasti dia akan lebih menjaga pergaulan. Bodohnya ia. Habislah sudah harga dirinya.
Martin namanya. Dua tahun lalu ia memutuskan menikah dengan perempuan yang sangat cantik. Ada rasa benci terhadap perempuan itu. Sarwendah yang sejak kecil bersama Martin, yang selalu bersama, selalu berbagi camilan, selalu hadir meskipun jarak telah memisahkan. Kini, saat Sarwendah beranjak dewasa, ia mulai mengerti bahwa dirinya butuh sosok Martin. Ada rasa seperti candu untuk terus bertemu. Mereka saling berbagi, saling mengasihi. Sampai akhirnya, Perasaan Martin utuh untuk calon isterinya yang sangat cantik itu.
Sarwendah kembali mendekap bantal yang masih bau baru.
•••
"Papa kamu tahu Sa?"
Sarwendah menggeleng.
"Mama kamu?"
Menggeleng lagi.
"Uhm.. Martin tahu kan, Sa?"
Mengangguk. Sarewndah lantas memeluk sahabatnya Dinar. Erat. Siang ini mereka duduk berdua di belakang halaman sekolah, seusai jam pelajaran. Persoalan tentang hamil memang sangat rumit untuk anak seusia mereka.
"Aku mau bunuh diri. Percuma. Papa mama terlalu sibuk dengan pekerjaan. Martin sibuk dengan kekuarga barunya. Aku butuh.... A-aku... Aku butuh keluarga yang utuh."
Dilepasnya pelukan kepada Dinar. Tidak. Sarwendah tidak menangis. Ia lupa bagaimana caranya mengeluarkan air mata. Hanya perasaan sesak yang selalu ada.
"Bodoh kamu! Bunuh diri tuh gak mudah. Semua orang bakal direpotkan ngurusin mayat kamu. Belum polisi. Belum tangisan papa kamu. Belum lagi nanti urusan sama Tuhan. Ih, mau-maunya bunuh diri."
Dinar asal berbicara. Tapi dalam hatinya getir. Tidak ada yang bisa dia perbuat selain selalu ada di samping sahabatnya.
"Nggak peduli. Kalau aku mati, nanti Martin, mama, papa... Kamu. Kalian semua akan ada di sekelilingku kan?"
Sebenarnya istri Martin baik. Beberapa kali Sarwendah main ke rumah mereka, istrinya selalu menghidangkan makanan, selalu mengajaknya berbagi cerita. Mereka akan duduk di depan ruang tamu sambil menikmati cahaya senja yang masuk ke dalam rumah. Tapi Sarwendah akan melihat Martin di sebelah istrinya, merangkulnya, lalu menatap datar Sarwendah yang duduk di sebarangnya. Dan istrinya akan tertawa, seakan tawanya mengandung arti aku-yang-memenangkan-hatinya-Martin. Membuat Sarwendah benci.
Keputusannya bulat sudah. Nanti malam. Harus.
•••
"Maafkan aku Sa..."
Suara Martin terdengar lirih. Entah mengakui kesalahannya atau lirih karena takut tertangkap polisi. Martin sungguh takut. Ia sungguh takut karena beberapa menit yang lalu ia menyaksikan orang yang pernah disayangnya mencoba bunuh diri di dapur rumahnya. Bukan. Persoalan ini rumit. Ia melihat istrinya memegang pisau dapur. Ia melihat perut Sarwendah bersimbah darah. Ia melihat pisau dapur yang di pegang istrinya penuh darah. Ia melihat mimik muka Sarwendah yang penuh ketakutan. Ia melihat istrinya terkejut melihat Martin datang. Hanya saja, ia tak melihat apa yang baru saja terjadi. Martin menyesal. Andai ia pulang dari kantor lebih cepat.
"Sa, bertahan ya! Ambulans sedang kesini. Tunggu sebentar!"
Martin setengah berteriak. Ia sudah menyandarkan kepala Sarwendah di atas pangkuannya. Kemana istrinya? Tiba-tiba berlari keluar rumah dan meninggalkan Martin dengan penuh kepanikan.
"A... A-ku baik-baik saja kan?"
Sarwendah meringis. Kesakitan.
"Akan baik-baik saja. Tunggu sebentar ya. Papamu, mama, dan ambulans akan segera datang."
Martin berusaha tenang, tapi Sarwendah tahu, urusan ini tidak mudah. Ia ingin menjelaskan kepada Martin tentang hal yang baru saja terjadi, tapi tenaganya terlalu lemah. Ia mau menjelaskan bahwa istrinya tidak bersalah. Bahwa istrinya terkejut melihat Sarwendah di dapur. Lalu karena kebodohannya, malah mencabut pisau yang tertancap di perut Sarwendah. Darah bercucuran. Martin datang.
"Maafkan istriku Sa. Aku tahu dia sebenarnya tidak suka kamu. Dia cemburu. Maaf. Aku tidak tahu akan seperti ini."
Martin mulai berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka akan seperti ini. Memang, membagi cinta dengan adil tidak semudah membagi uang dengan sama rata.
"Maafkan aku. Kamu tahu Sa, tentang kamu.. dan kenangan kita... aku rin..."
"Ja...jangan di...sebut, Mar...tin. Kamu sen...diri yang pernah bilang sama a...ku, se...suatu yang tak berbalas akan terasa me...nya...kitkan. Kalau a...aku per...gi hari ini, ra...sa itu ti...dak akan berba...las. La...gi...pula, kata...mu aku bu...kan sia...pa-sia...pa. Sa...na Sa...yangi... Istri...mu."
Ketika detak jantungnya melemah dan kelopak matanya nyaris tertutup, Sarwendah menitikan air matanya. Terlalu pedih jika harus mengakuinya, tapi Sarwendah sungguh sayang Martin, kakak kandungnya. Martin yang sejak kecil selalu ada bersamanya, Martin yang selalu memberi kabar tentang mama, Martin yang selalu siap menjaga Sarwendah, Martin yang kemudian sibuk dengan pekerjaan, lalu menikah. Membuat Sarwendah lepas dari jangkauannya, membuat Sarwendah salah pergaulan. Sarwendah sungguh selalu ingin memeluk Martin, Kakak yang selama ini menjadi pelindungnya, yang ia cintai atas nama keluarga. Sarwendah ingin masa lalunya yang bahagia terulang lagi.
Lalu gelap.
kaka aku ada di antrian yang mau minta ttd kalo novel kaka udah rilis :) amin.. hehe
BalasHapus