Pernah aku membenci kamu, tapi aku sayang, percaya, dan aku menghormati kamu. Aku juga selalu berlaku sopan padamu. Segala hal tersebut, karena kita sesama umat manusia.
Untuk rasa benciku, karena dulu di suatu hari, saat kamu meminta tolong dengan tatapan mata yang sangat memelas, aku dengan suka rela menghabiskan jatah liburanku hanya untukmu. Matamu yang penuh harap, tutur katamu yang menuntut, dan semua tingkah anehmu, memaksaku akan melakukan segala hal. Bukan agar kau senang, hanya saja aku berharap kamu menghentikan rengekanmu dan mau mengakui kalau aku benar peduli padamu. Aku selalu ingat hari itu, hari di mana aku mengabaikan mimpiku, hari di mana aku membatalkan janji pentingku, hari ketika aku rela ditinggalkan oleh orang yang kucintai, hari di saat aku harus menghabiskan hari ulang tahunku untuk membantu kamu. Ya, pada hari itu kebencianku memuncak, karena kamu menuntut agar aku selalu ada buatmu, tapi kamu tak pernah memikirkan bagaimana aku. Lalu aku berdoa, berharap agar kau bisa menjadi lebih baik dari hari itu.
Ingat kejadian tersebut? Sudah lama sekali. Sudah lebih dari lima belas bulan. Tapi tiap aku mengingatnya, dadaku selalu sesak, napasku tersengal-sengal, tubuhku gontai, mataku memerah, perih. Seperti yang terjadi hari ini.
Ah, kawan. Andai kamu tahu seberapa sakitnya aku. Aku menolongmu dan selalu melakukannya dengan sukarela, tanpa pamrih, tanpa berharap dipuja. Aku juga tidak butuh pengakuan bahwa aku pernah menolongmu. Setidaknya, aku butuh kamu menghargai semua waktu dan keringat yang terkuras hanya untukmu. Sekali lagi, HANYA untuk kamu.
Andai saja kamu tahu berapa banyak bulir air mata yang kuteteskan karena tingkahmu. Andai saja kamu tahu seberapa letih kaki ini berlari demi bertemu kamu. Andai saja kamu tahu sesakit apa bibirku saat harus tersenyum padahal kamu sedang melumatkan kata-kata kasar kepadaku, Andai saja kamu tahu berapa banyak alasan yang kubuat-buat agar semua orang tahu bahwa kamu baik dan cerdas. Andai saja kamu tahu, aku pernah sayang padamu sebagai seorang saudara, karena kita pernah memiliki mimpi bersama. Andai saja kamu memikirkan aku, walau hanya sedikit.
Tapi kamu begitu. Sekali lagi, aku tidak butuh apa pun. Aku hanya butuh kamu menghargaiku. Atau lebih tepatnya, kamu berkata jujur tentang apa yang pernah kita lakukan bersama. Bukan malah mencemooh aku di hadapan banyak orang. Juga asik menggunjingkan aku dengan segala rekayasamu. Kini, setelah apa yang terjadi di belakangku, kamu membuat hatiku lebih dari sekadar retak. Sekarang hancur. Bukan berkeping-keping. Bukan seperti puing. Hatiku untukmu hancur menjadi serpihan-serpihan tipis yang tidak bisa disatukan lagi.
Malam ini seharusnya aku menyapamu. Kita sudah janji beberapa hari yang lalu untuk sesekali bercengkrama via media sosial. Tapi aku manusia biasa yang terlalu sakit menghadapi kamu. Setega itukah kamu pada orang yang dulu mati-matian ada di barisan terdepan dalam membela kamu?
Ah, cantik. Apa guna otak dan pemikiranmu yang luas dan berwawasan. Apa gunanya jika kamu miskin nilai dalam ilmu menghargai?
Kamu tak perlu menyaksikan tetesan-tetesan air mata yang meleleh saat aku menuliskan ini. Aku tak butuh simpatimu. Jujur, rasanya sakit sekali kamu begitu. Meskipun hanya lewat kata-kata, kamu telah menghancurkan seluruh rasa percayaku padamu.
Mulai sekarang, silakan hidup dalam ketidakpuasan kamu terhadap sikapku. Aku tahu aku banyak salah dan jauh dari sempurna. Semoga rasa sakitku ini terbayar oleh berita menyenangkan dari kesuksesan kamu di masa depan kelak. Walaupun sekarang, aku tidak mau lagi menganggapmu sebagai,
Sahabat.
Oh sebentar. Kita memang bukan sahabat. Kita hanya dipertemukan dalam satu dimensi waktu dan terjebak dalam satu situasi, kemudian akrab seolah kita teman. Pada akhirnya kita memang bukan siapa-siapa setelah berhasil lolos dari situasi sulit itu.
Bukan siapa-siapa.
Tapi dikhianati kamu, rasanya sungguh sakit. Seperti menabur garam di atas luka. Itu kalimat klasik, tapi seperti itulah rasanya.
Dan kepercayaanku padamu, pergi begitu saja. Ia enggan kembali.
P.s : selamat menikmati sakit hati untuk siapa pun kamu, yang pernah di fitnah oleh orang kepercayaanmu.
Untuk rasa benciku, karena dulu di suatu hari, saat kamu meminta tolong dengan tatapan mata yang sangat memelas, aku dengan suka rela menghabiskan jatah liburanku hanya untukmu. Matamu yang penuh harap, tutur katamu yang menuntut, dan semua tingkah anehmu, memaksaku akan melakukan segala hal. Bukan agar kau senang, hanya saja aku berharap kamu menghentikan rengekanmu dan mau mengakui kalau aku benar peduli padamu. Aku selalu ingat hari itu, hari di mana aku mengabaikan mimpiku, hari di mana aku membatalkan janji pentingku, hari ketika aku rela ditinggalkan oleh orang yang kucintai, hari di saat aku harus menghabiskan hari ulang tahunku untuk membantu kamu. Ya, pada hari itu kebencianku memuncak, karena kamu menuntut agar aku selalu ada buatmu, tapi kamu tak pernah memikirkan bagaimana aku. Lalu aku berdoa, berharap agar kau bisa menjadi lebih baik dari hari itu.
Ingat kejadian tersebut? Sudah lama sekali. Sudah lebih dari lima belas bulan. Tapi tiap aku mengingatnya, dadaku selalu sesak, napasku tersengal-sengal, tubuhku gontai, mataku memerah, perih. Seperti yang terjadi hari ini.
Ah, kawan. Andai kamu tahu seberapa sakitnya aku. Aku menolongmu dan selalu melakukannya dengan sukarela, tanpa pamrih, tanpa berharap dipuja. Aku juga tidak butuh pengakuan bahwa aku pernah menolongmu. Setidaknya, aku butuh kamu menghargai semua waktu dan keringat yang terkuras hanya untukmu. Sekali lagi, HANYA untuk kamu.
Andai saja kamu tahu berapa banyak bulir air mata yang kuteteskan karena tingkahmu. Andai saja kamu tahu seberapa letih kaki ini berlari demi bertemu kamu. Andai saja kamu tahu sesakit apa bibirku saat harus tersenyum padahal kamu sedang melumatkan kata-kata kasar kepadaku, Andai saja kamu tahu berapa banyak alasan yang kubuat-buat agar semua orang tahu bahwa kamu baik dan cerdas. Andai saja kamu tahu, aku pernah sayang padamu sebagai seorang saudara, karena kita pernah memiliki mimpi bersama. Andai saja kamu memikirkan aku, walau hanya sedikit.
Tapi kamu begitu. Sekali lagi, aku tidak butuh apa pun. Aku hanya butuh kamu menghargaiku. Atau lebih tepatnya, kamu berkata jujur tentang apa yang pernah kita lakukan bersama. Bukan malah mencemooh aku di hadapan banyak orang. Juga asik menggunjingkan aku dengan segala rekayasamu. Kini, setelah apa yang terjadi di belakangku, kamu membuat hatiku lebih dari sekadar retak. Sekarang hancur. Bukan berkeping-keping. Bukan seperti puing. Hatiku untukmu hancur menjadi serpihan-serpihan tipis yang tidak bisa disatukan lagi.
Malam ini seharusnya aku menyapamu. Kita sudah janji beberapa hari yang lalu untuk sesekali bercengkrama via media sosial. Tapi aku manusia biasa yang terlalu sakit menghadapi kamu. Setega itukah kamu pada orang yang dulu mati-matian ada di barisan terdepan dalam membela kamu?
Ah, cantik. Apa guna otak dan pemikiranmu yang luas dan berwawasan. Apa gunanya jika kamu miskin nilai dalam ilmu menghargai?
Kamu tak perlu menyaksikan tetesan-tetesan air mata yang meleleh saat aku menuliskan ini. Aku tak butuh simpatimu. Jujur, rasanya sakit sekali kamu begitu. Meskipun hanya lewat kata-kata, kamu telah menghancurkan seluruh rasa percayaku padamu.
Mulai sekarang, silakan hidup dalam ketidakpuasan kamu terhadap sikapku. Aku tahu aku banyak salah dan jauh dari sempurna. Semoga rasa sakitku ini terbayar oleh berita menyenangkan dari kesuksesan kamu di masa depan kelak. Walaupun sekarang, aku tidak mau lagi menganggapmu sebagai,
Sahabat.
Oh sebentar. Kita memang bukan sahabat. Kita hanya dipertemukan dalam satu dimensi waktu dan terjebak dalam satu situasi, kemudian akrab seolah kita teman. Pada akhirnya kita memang bukan siapa-siapa setelah berhasil lolos dari situasi sulit itu.
Bukan siapa-siapa.
Tapi dikhianati kamu, rasanya sungguh sakit. Seperti menabur garam di atas luka. Itu kalimat klasik, tapi seperti itulah rasanya.
Dan kepercayaanku padamu, pergi begitu saja. Ia enggan kembali.
P.s : selamat menikmati sakit hati untuk siapa pun kamu, yang pernah di fitnah oleh orang kepercayaanmu.
gua juga pernah tuh. digosipkan sama sahabat yang udah gua anggap saudara sendiri. perih banget deh.
BalasHapuskunjung balik ya mbak