Aku masih menaburkan spons bedak ke pipiku saat ayah melongok ke dalam kamar.
"Buka puasa diluar lagi?"
Aku mengangguk. Sudah hampir empat minggu kurang dan terus-menerus aku berbuka diluar rumah. Bisa kudengar desahan napas ayah yang sedikit kecewa.
"Sekarang buka sama siapa, di mana, pulang jam berapa?"
Ayah bertanya lagi. Kali ini aku sedang memoles pelembab bibir berwarna pink pale nomor 41. Kupastikan tidak ada cacat dalam riasanku.
"Buka di foodcourt mall kok, sama teman-teman kampus. Pulangnya nggak tahu kapan. Ayah mau nitip beliin makan?"
Kataku sambil menatap wajahku di depan cermin. Ayah mendesah lagi.
"Perasaan sama teman kampus terus. Sama ayah kapan?"
"..."
"Yasudah hati-hati. Ayah nggak minta apapun, cuma berharap kamu sehari saja buka bersama ayah di rumah,"
"Susah yah, temanku banyak. Aku diundang terus sama mereka, sayang kalau nggak datang, kan kebersamaannya cuma ada di momen pas ramadan,"
"Iya ayah ngerti. Tapi ingat, esensi bulan ramadan itu bukan terletak pada hura-hura dan buka puasa bersama. Ramadan itu gunanya untuk muhasabah nak, untuk instropeksi diri kita,"
"Iyaaaaaaa ngerti kok. Nggak usah ceramah aku juga udah tau yah,"
Aku selesai berdandan. Kuraih tas selempang berwarna cokelat dan menghampiri ayah di ambang pintu kamar, menyalaminya. Sudah pukul empat sore, aku harus bergegas agar tidak telat.
•••
"Hari ini menunya apa bunda?"
"Ayam goreng sama tempe. Adek ngambil sambalnya jangan kebanyakan ya nanti sakit perut, kakak kalau mau sambal juga jangan kebanyakan,"
Bunda mengingatkan Lily, adik bungsuku dan menunjuk kearahku. Ayah datang dari dapur dan membawa empat gelas berisi sirup merah. Bisa kupastikan didalamnya terdapat timun suri dan blewah serta agar-agar. Aku tahu karena yang memotongnya. Ayah duduk disampingku, bunda dan Lily duduk dihadapanku. Kami memanjatkan doa bersama sebelum menyantap hidangan berbuka puasa.
"Kalau kamu sudah besar nanti, budaya makan bersama saat ramadan harus diterapkan terus loh. Nanti kamu sibuk sama pacarmu,"
Bunda menggodaku. Aku menggelengkan kepalaku sambil mengunyah ayam goreng terlezat yang pernah kunikmati. Ayah hanya tertawa dan aku bisa merasakan kehangatan di ruang makan ini. Bukan karena lilin yang ada diatas meja, tapi karena kebersamaan kami yang begitu harmonis. Doaku sejak ramadan pertama ditahun ini hanya satu; aku bisa merasakan kebersamaan bersama keluargaku selama-lamanya.
Tapi Tuhan punya rencana lain. Terjadi suatu bencana yang tidak diharapkan keluargaku pada hari yang seharusnya menjadi milikku. Kado ulang tahunku berupa pernyataan bahwa bunda dan ayah resmi berpisah. Aku juga tak mengerti kenapa harus dipisahkan oleh Lily. Saat itu usiaku sepuluh dan pada ramadan berikutnya aku tak lagi merasa hangat di ruang makan.
•••
Suasana pusat perbelanjaan di kota Jakarta sangat ramai oleh muda-mudi yang hendak berbuka bersama. Ramadan memang menjadi momen paling tepat untuk berkumpul bersama teman lama. Aku segera menghampiri teman-temanku. Sudah tersaji beberapa gelas es teh.
"Mau pesan apa?"
Seorang teman bertanya padaku. Aku mencatat beef black paper dan kentang goreng. Makanan mahal yang sebenarnya dapat menguras uang saku. Ini rutinitas baruku setiap ramadan datang. Berbuka di luar rumah dengan banyak orang agar aku bisa merasakan kehangatan yang diciptakan oleh kebersamaan. Aku mendapatkan apa yang kumau, tawa dan keceriaan yang hadir, tapi aku selalu merasa ada yang kurang.
"Besok hari terakhir mau buka bareng lagi nggak Han?"
Aku terlalu menikmati ramadan ini sampai aku lupa bahwa besok hari terakhir. Mungkin ada baiknya aku berbuka di rumah bersama ayah. Ramadan tahun ini belum pernah sekalipun berbuka di rumah. Pernah berbuka sekali, tapi ayah sedang tak di rumah. Aku menatap temanku lalu menggeleng ringan. Sepertinya aku tahu keekosongan ini karena aku belum berbuka bersama ayah.
"Besok di rumah aja deh. Aku mau hemat uang dulu,"
Sergahku cepat. Teman-teman yang lainnya mengiyakan jawabanku.
•••
Ini hari terakhir berpuasa. Nanti suara takbiran akan terdengar sepanjang malam dan bedug tidak akan berhenti sampai pagi tiba. Lalu semua orang yang suci sementara atau merasa suci akan berbondong-bondong melaksanakan solat idul fitri. Solat berjamaah yang jemaahnya membeludak sampai ke jalan. Solat yang hanya ada setahun sekali. Semua orang akan berpakaian rapi, bersih, dan baru. Ah, aku bahkan sampai lupa beli baju baru untukku dan ayah. Aku hanya ingat dengan janjiku pada ayah untuk berbuka puasa bersamanya di tahun ini, meskipun selama tiga minggu lebih aku berbuka di luar rumah. Kujinjing dua buah kolak dan air mineral serta enam buah kurma yang kubeli di warung depan gang. Senja telah mengubah warna langit menjadi oranye dan jalan setapak menjadi sedikit gelap. Wajah anak-anak di sepanjang gang yang sedang bermain terlihat menguning terkena tampias cahaya matahari. Sebentar lagi magrib, dan syukurlah aku tepat waktu sampai di depan rumah.
"Assalamualaikum, ayah! Hany buka puasa di rumah nih,"
Sepi. Lampu ruang tamu belum dinyalakan. Tapi aku mencium aroma daging dari dapur. Apa mungkin ayah di dapur?
"Ayah?! Hany pulang nih. Aku sudah bawakan kolak,"
Sepi. Hanya terdengar suara semrawut di acara stasiun televisi yang menyala di ruang tengah. Kemana ayah?
Kuputuskan ke dapur untuk menyiapkan hidangan berbuka. Kompor masih menyala. Segera kumatikan dan aku melihat sop ayam yang sepertinya baru saja dibuat ayah. Ah senangnya, pada hari terakhir ramadan aku diberi kesempatan berbuka di rumah bersama ayah. Segera kutuang kolak kedalam mangkuk dan menyiapkan dua gelas sirup rasa jeruk.
Aku membawanya ke meja makan dan ayah belum juga tampak.
"Ayaaaaaaah?! Hany sudah pulang. Ayo siap-siap berbuka yah sebentar lagi adzan nih,"
Sepi. Hanya terdengar teriakan kecil anak-anak yang sedang bermain di luar rumah. Aku menuju ruang tamu untuk menutup pintu depan, dan angin dari luar rumah masuk, menyentuh kulitku. Seketika aku merinding. Semoga tidak terjadi apapun pada ayah. Kususuri selruh sudut ruangan sambil memanggil ayah. Lelucon bodoh kalau ayah sedang menjahiliku.
"Ayah, Aku bukan lagi anak kecil yang senang bermain petak umpat. Ayaaaah?!"
Sepi. Ayah tidak ada dimanapun. Semua ruangan sudah kucari kecuali...
Kecuali kamarku.
Aku segera berlari menuju kamarku karena aku belum memeriksanya. Dan ayah ada di sana. Di ranjangku. Tertidur dengan pulasnya. Aku menghela napasku lega. Ternyata ayah ada di sini. Ayah pasti merindukan ramadan yang penuh kehangatan seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku sungguh menyesal selama ini sibuk berbuka dengan teman-temanku.
Aku kembali ke ruang makan membawa kolak dan gelas sirup ke kamarku. Kuhampiri tubuh ayah, hendak membangunkannya.
"Ayah, Hany pulang. Ayo kita berbuka bersama di ramadan terakhir. Kukecup keningnya dan jantungku berdebar kencang. Tubuhnya dingin sedingin es yang ada di dalam gelas sirup. Kuguncangkan tubuhnya berkali-kali, kudekapkan teligaku pada dadanya, jantungnya berhenti memopa darah. Kurasakan tak ada helaan napas dari hidungnya. Tubuhnya terbujur kaku di ranjang kamarku dan aku sadar, ayah tertidur untuk selamanya.
Adzan berkumandang dan aku berbuka dengan air mata yang tak henti mengalir.
"Ayah, selamat berbuka puasa. Aku sudah penuhi janjiku untuk berbuka bersamamu, hari ini. Besok kita lebaran. Ayah harus bangunkan aku untuk solat idul fitri,"
Kataku sambil terisak.
•••
Penyesalan itu selalu di akhir ya. semoga nggak terjadi sama kita :'( mana ini hari terakhir ramadan
BalasHapus