Sepi. Aku sengaja menutup gorden ruang tamu agar tak ada satupun orang yang datang ke rumah. Terakhir tamu yang datang adalah sebulan yang lalu, ketika suamiku meninggal. Ratusan pelayat datang membawa karangan bunga tapi mereka menginjak bunga-bunga di pekarangan rumahku, meninggalkan puluhan puntung rokok di meja ruang tamu, menghabiskan camilan anak-anak, dan membuat kotor sofa beludru kesayanganku yang berwarna cokelat muda. Sejak itu, aku tak mau lagi ada tamu yang datang entah untuk berbelasungkawa atau sekadar menghiburku. Aku selalu menutup gorden agar orang lain merasa bahwa rumah ini kosong, tapi mereka tetap mengetuk pintu tiga kali. Aku gagal menolak tamu, mereka masuk dan dengan lugasnya mencibir suasana rumahku yang terlihat suram dan lembab. Rasanya aku ingin menyobek mulut mereka dan mengusir kehadirannya, tapi aku justru memasang senyum manis sambil menyuguhkan teh hangat dan camilan ringan.
Aku akhirnya mengambil keputusan untuk menjual sofa kesayanganku berikut dengan meja dan karpet hangat yang biasa digunakan untuk lesehan di ruang tamu. Sengaja. Agar tamu yang datang tak betah duduk tanpa alas dan segera pulang sebab mereka masuk angin karena duduk di lantai.
Lalu ada tamu datang, mengetuk pintu tiga kali.
Padahal aku sudah menutup gorden, menyembunyikan sepatu, dan mematikan lampu seolah rumah sedang kosong.
"Sarinah! Ini aku! Buka pintunya!"
Suara seseorang yang sangat akrab ditelinga memanggil namaku dibalik pintu. Aku menghela napasku. Kubuka pintu dan dua orang berpakaian parlente menyeringai kejam. Mereka Todi dan Parto --penagih hutang. Aku mempersilakan mereka masuk dan dengan suka rela mereka duduk di lantai yang dingin dan bau lembab. Kali ini aku yang menyeringai. Mereka pasti tidak akan lama.
Tapi dugaanku salah. Mereka malah asyik berlama-lama meskipun aku tidak menyediakan minuman untuk mereka. Jelas saja, mereka tidak akan pulang sebelum aku membayar hutang suamiku. Hutangnya milyaran rupiah. Bahkan aku sudah menyerahkan Rina anak perempuanku untuk dinikahkan dengan anak Parto --sebagai ganti uang untuk pembayaran hutang, namun tetap saja belum lunas. Kunikahkan juga Cekita anak keduaku, dengan anak Todi dan hutang belum juga berkurang setengahnya.
"Kemana sofa mahal kesayanganmu?" Parto menatapku.
"Sudah kujual,"
"Kau jual kemana?"
Mungkin dia bukan menayakan dijual kemana sofa berlabel mahal tersebut, dia pasti menanyakan kemana uang dari penjualan sofaku. Aku tak menyahut. Todi tiba-tiba berdiri sambil menggaruk-garuk badannya, gatal.
"Kita pulang saja. Dia tak bisa bayar dengan apapun,"
Todi menarik lengan Parto. Aku tahu, dia gatal karena lantai yang ia duduki sudah tak pernah kubersihkan sejak kematian suamiku. Aku tak mau membersihkannya karena jejak suamiku akan hilang jika kusapu lantai ini.
Mereka keluar dari rumah dan aku segera mengunci pintu rapat-rapat.
•••
"Mamah suka?"
Aku mengangguk manja. Suami memang paling pandai merayu. Ia belikan aku rumah baru meskipun minimalis. Rina dan Cekita malah sudah berlarian kesana kemari. Ia belikan kami rumah baru yang dia bilang uangnya dari hasil kerjanya selama ini. Meskipun bukan menjadi direktur utama sebuah perusahaan, suamiku selalu berusaha menyenangkan keluarga. Dia hanya bekerja sebagai OB yang memiliki gaji tipis setiap bulan.
"Bagian mana yang kau sukai?"
Suamiku bertanya lagi. Kami sedang ada di ruang tengah dan dua tanganku menunjuk ke arah yang berbeda. Dapur di sebelah kanan. Dan ruang tamu di bagian depan. Ruang tamunya...
"Bagus kalau kamu suka, sayang. Ruang tamu di sana memang di desain khusus untukmu,"
"..."
"Aku harus pergi kerja lagi. Semoga kamu suka dengan rumah baru kita,"
Dia mengecup keningku lalu meninggalkan anak-anak yang masih senang bermain di rumah baru ini. Aku mengantar suamiku sampai depan, lalu menutup pintu. Kupandangi ruang tamu berukuran kecil dengan sofa beludru yang seakan memanggil untuk disentuh. Di sudut ruangan terdapat bufet kaca yang didalamnya berisi cangkir dan teko sebagai pajangan. Ada jam dinding berwarna cokelat muda dan dibawahnya terpampang foto kami berempat yang diambil pada lebaran dua tahun lalu. Di depan sofa terdapat meja marmer berwarna putih tulang dan lantainya beralaskan karpet hangat berwarna cokelat tua. Lampu di atas langit-langit terbuat dari kristal imitasi yang menjuntai indah dan jika dinyalakan berwarna kuning keemasan dengan kilau kristal yang dipantulkan oleh cahaya lampunya. Ruang tamu ini terlalu mewah untuk rumah yang minimalis. Tapi suamiku tahu, ruang tamu adalah surga kedua setelah dapur bagiku. Sebab aku akan selalu kedatangan ibu-ibu arisan sebulan sekali, kedatangan orang penting seperti lurah dan pak RT, kedatangan teman-teman suamiku, juga kedatangan orang tua temannya anak-anakku suatu saat nanti.
Sejujurnya aku benci bergaul, benci menerima tamu karena aku tahu mereka hanya menumpang duduk, melihat-lihat rumah, basa-basi, kemudian pulang setelahnya karena bosan bertamu padaku yang pelit berbicara.
Lalu seminggu setelah kepindahan ini suamiku meninggal, jatuh dari gedung saat membersihkan jendela berlantai tinggi di perusahaannya. Aku mendapat asuransi, tapi semua kandas oleh pembayaran hutang-piutang suamiku. Dia banyak berhutang untuk membuat ruang tamu yang istimewa ini.
•••
Kupandangi lampu kristal imitasi di langit-langit ruang tamuku. Tak lagi mewah seperti saat pertama aku memandangnya.
Ruang tamuku sekarang sepi. Sudah setahun tak ada satupun tamu pengunjung. Hanya laba-laba yang berani datang dan tanpa permisi membuat sarang di pojok ruangan. Hanya cicak-cicak yang berani lalu-lalang disekitar ruang tamuku. Hanya tikus hitam yang menumpang lewat sambil membawa apapun yang bisa dimakan olehnya. Dan lantai putihnya berubah menjadi hijau lumut sebab sinar matahari juga tak kuizinkan masuk. Beberapa kali ada yang mengetuk pintu tiga kali, tapi tak jua kubukakan. Aku terlalu malas untuk menerima tamu yang kerjanya hanya bisa mencibirku. Biarlah mereka menganggap rumah ini kosong.
Kau tahu, terkadang kta lebih baik sendirian daripada harus hidup ditengah lingkungan yang bisanya hanya menggunjingkan orang lain serta menyinggung persaan tanpa berpikir apakah ucapannya menyakitkan atau tidak. Aku tidak akan mencibir atau menyindir seseorang karena aku tidak suka, dan untuk menghidarinya aku harus menjauhi lingkunganku.
Aku tahu kalau mereka tahu aku ada di rumah, tapi aku tak akan membiarkan siapapun masuk dan menginjak ruang tamu kesayanganku. Tapi suatu hari ada yang mengetuk pintu rumahku tiga kali, dan saat kutanya dia hanya menjawab dengan suara parau,
"Aku datang menjemputmu. Aku punya ruang tamu yang lebih bagus dari yang kau jaga di balik pintu ini. Ayo ikut aku, sayang."
Suara suamiku! Dan hanya dia yang memanggilku dengan sebutan sayang.
"Tidak pakai hutang?"
Kataku dari dalam ruangan. Aku bisa mendengar suara terkekeh di balik pintu.
"Tidak pakai hutang. Rumahnya ada di surga, semua serba gratis di sana,"
"Bagaimana caranya aku kesana?"
"Buka pintu ini dan tutup matamu, sayang. Aku akan menggandeng tanganmu dan mengajakmu ke ruang tamu yang lebih nyaman dari ini,"
Aku memandang ruang tamuku yang suram, lembab, dan tak layak pakai lagi. Perlahan kubuka pintu rumahku. Sinar matahari menyeruak masuk. Laba-laba dan cicak segera menyingkir dari cahaya yang menyapa. Udara segar bebas masuk dan aku silau melihat suamiku yang berdiri diambang pintu. Kututup mataku dan membiarkan ia memegang tanganku, membawaku pada ruang tamu yang lebih nyaman; tanpa tamu.
Aku akhirnya mengambil keputusan untuk menjual sofa kesayanganku berikut dengan meja dan karpet hangat yang biasa digunakan untuk lesehan di ruang tamu. Sengaja. Agar tamu yang datang tak betah duduk tanpa alas dan segera pulang sebab mereka masuk angin karena duduk di lantai.
Lalu ada tamu datang, mengetuk pintu tiga kali.
Padahal aku sudah menutup gorden, menyembunyikan sepatu, dan mematikan lampu seolah rumah sedang kosong.
"Sarinah! Ini aku! Buka pintunya!"
Suara seseorang yang sangat akrab ditelinga memanggil namaku dibalik pintu. Aku menghela napasku. Kubuka pintu dan dua orang berpakaian parlente menyeringai kejam. Mereka Todi dan Parto --penagih hutang. Aku mempersilakan mereka masuk dan dengan suka rela mereka duduk di lantai yang dingin dan bau lembab. Kali ini aku yang menyeringai. Mereka pasti tidak akan lama.
Tapi dugaanku salah. Mereka malah asyik berlama-lama meskipun aku tidak menyediakan minuman untuk mereka. Jelas saja, mereka tidak akan pulang sebelum aku membayar hutang suamiku. Hutangnya milyaran rupiah. Bahkan aku sudah menyerahkan Rina anak perempuanku untuk dinikahkan dengan anak Parto --sebagai ganti uang untuk pembayaran hutang, namun tetap saja belum lunas. Kunikahkan juga Cekita anak keduaku, dengan anak Todi dan hutang belum juga berkurang setengahnya.
"Kemana sofa mahal kesayanganmu?" Parto menatapku.
"Sudah kujual,"
"Kau jual kemana?"
Mungkin dia bukan menayakan dijual kemana sofa berlabel mahal tersebut, dia pasti menanyakan kemana uang dari penjualan sofaku. Aku tak menyahut. Todi tiba-tiba berdiri sambil menggaruk-garuk badannya, gatal.
"Kita pulang saja. Dia tak bisa bayar dengan apapun,"
Todi menarik lengan Parto. Aku tahu, dia gatal karena lantai yang ia duduki sudah tak pernah kubersihkan sejak kematian suamiku. Aku tak mau membersihkannya karena jejak suamiku akan hilang jika kusapu lantai ini.
Mereka keluar dari rumah dan aku segera mengunci pintu rapat-rapat.
•••
"Mamah suka?"
Aku mengangguk manja. Suami memang paling pandai merayu. Ia belikan aku rumah baru meskipun minimalis. Rina dan Cekita malah sudah berlarian kesana kemari. Ia belikan kami rumah baru yang dia bilang uangnya dari hasil kerjanya selama ini. Meskipun bukan menjadi direktur utama sebuah perusahaan, suamiku selalu berusaha menyenangkan keluarga. Dia hanya bekerja sebagai OB yang memiliki gaji tipis setiap bulan.
"Bagian mana yang kau sukai?"
Suamiku bertanya lagi. Kami sedang ada di ruang tengah dan dua tanganku menunjuk ke arah yang berbeda. Dapur di sebelah kanan. Dan ruang tamu di bagian depan. Ruang tamunya...
"Bagus kalau kamu suka, sayang. Ruang tamu di sana memang di desain khusus untukmu,"
"..."
"Aku harus pergi kerja lagi. Semoga kamu suka dengan rumah baru kita,"
Dia mengecup keningku lalu meninggalkan anak-anak yang masih senang bermain di rumah baru ini. Aku mengantar suamiku sampai depan, lalu menutup pintu. Kupandangi ruang tamu berukuran kecil dengan sofa beludru yang seakan memanggil untuk disentuh. Di sudut ruangan terdapat bufet kaca yang didalamnya berisi cangkir dan teko sebagai pajangan. Ada jam dinding berwarna cokelat muda dan dibawahnya terpampang foto kami berempat yang diambil pada lebaran dua tahun lalu. Di depan sofa terdapat meja marmer berwarna putih tulang dan lantainya beralaskan karpet hangat berwarna cokelat tua. Lampu di atas langit-langit terbuat dari kristal imitasi yang menjuntai indah dan jika dinyalakan berwarna kuning keemasan dengan kilau kristal yang dipantulkan oleh cahaya lampunya. Ruang tamu ini terlalu mewah untuk rumah yang minimalis. Tapi suamiku tahu, ruang tamu adalah surga kedua setelah dapur bagiku. Sebab aku akan selalu kedatangan ibu-ibu arisan sebulan sekali, kedatangan orang penting seperti lurah dan pak RT, kedatangan teman-teman suamiku, juga kedatangan orang tua temannya anak-anakku suatu saat nanti.
Sejujurnya aku benci bergaul, benci menerima tamu karena aku tahu mereka hanya menumpang duduk, melihat-lihat rumah, basa-basi, kemudian pulang setelahnya karena bosan bertamu padaku yang pelit berbicara.
Lalu seminggu setelah kepindahan ini suamiku meninggal, jatuh dari gedung saat membersihkan jendela berlantai tinggi di perusahaannya. Aku mendapat asuransi, tapi semua kandas oleh pembayaran hutang-piutang suamiku. Dia banyak berhutang untuk membuat ruang tamu yang istimewa ini.
•••
Kupandangi lampu kristal imitasi di langit-langit ruang tamuku. Tak lagi mewah seperti saat pertama aku memandangnya.
Ruang tamuku sekarang sepi. Sudah setahun tak ada satupun tamu pengunjung. Hanya laba-laba yang berani datang dan tanpa permisi membuat sarang di pojok ruangan. Hanya cicak-cicak yang berani lalu-lalang disekitar ruang tamuku. Hanya tikus hitam yang menumpang lewat sambil membawa apapun yang bisa dimakan olehnya. Dan lantai putihnya berubah menjadi hijau lumut sebab sinar matahari juga tak kuizinkan masuk. Beberapa kali ada yang mengetuk pintu tiga kali, tapi tak jua kubukakan. Aku terlalu malas untuk menerima tamu yang kerjanya hanya bisa mencibirku. Biarlah mereka menganggap rumah ini kosong.
Kau tahu, terkadang kta lebih baik sendirian daripada harus hidup ditengah lingkungan yang bisanya hanya menggunjingkan orang lain serta menyinggung persaan tanpa berpikir apakah ucapannya menyakitkan atau tidak. Aku tidak akan mencibir atau menyindir seseorang karena aku tidak suka, dan untuk menghidarinya aku harus menjauhi lingkunganku.
Aku tahu kalau mereka tahu aku ada di rumah, tapi aku tak akan membiarkan siapapun masuk dan menginjak ruang tamu kesayanganku. Tapi suatu hari ada yang mengetuk pintu rumahku tiga kali, dan saat kutanya dia hanya menjawab dengan suara parau,
"Aku datang menjemputmu. Aku punya ruang tamu yang lebih bagus dari yang kau jaga di balik pintu ini. Ayo ikut aku, sayang."
Suara suamiku! Dan hanya dia yang memanggilku dengan sebutan sayang.
"Tidak pakai hutang?"
Kataku dari dalam ruangan. Aku bisa mendengar suara terkekeh di balik pintu.
"Tidak pakai hutang. Rumahnya ada di surga, semua serba gratis di sana,"
"Bagaimana caranya aku kesana?"
"Buka pintu ini dan tutup matamu, sayang. Aku akan menggandeng tanganmu dan mengajakmu ke ruang tamu yang lebih nyaman dari ini,"
Aku memandang ruang tamuku yang suram, lembab, dan tak layak pakai lagi. Perlahan kubuka pintu rumahku. Sinar matahari menyeruak masuk. Laba-laba dan cicak segera menyingkir dari cahaya yang menyapa. Udara segar bebas masuk dan aku silau melihat suamiku yang berdiri diambang pintu. Kututup mataku dan membiarkan ia memegang tanganku, membawaku pada ruang tamu yang lebih nyaman; tanpa tamu.
mantap mbak.... i like it, kehidupan yang sering terjadi di kota-kota besar, tamu-tamu semu
BalasHapusNice... Plotnya oke :D
BalasHapus