"Serius bukan kamu yang kasih tahu ke mereka? Pasti kamu mengatakan sesuatu sampai mereka tahu,"
Aku melihat raut wajah Meli yang terkesan menutupi sesuatu. Ia kikuk, gelagapan, dan matanya mendelik ke kanan dan kiri, gelisah. Aku benci Meli. Hanya dia seorang yang tahu kalau aku suka Aldi. Hanya Meli.
Tapi pagi tadi satu sekolah bersiul meledek setiap aku lewat di hadapan mereka. Teman-teman, senior, bahkan guru di kelas juga iseng menjadikanku bahan tertawaan. Aldi hanya tersenyum riang. Mungkin ia senang di jadikan bahan ejekan satu sekolah. Dalam sekejap, aku dan Aldi sudah menjadi artis dadakan. Sepulang sekolah aku langsung menarik Meli ke halaman belakang sekolah, menanyakan langsung padanya, dan benar kan, gelagatnya saja sudah begini.
"Mel... Ngomong dong... Kamu kan yang kasih tahu ke mereka? Kamu kok gitu sih padahal aku percaya sama kamu Mel, Aku benci kamu tahu!"
"Andien tunggu, aku..."
Tak lagi kudengar perkataannya. Aku sudah berlari meninggalkan Meli sendirian di sana. Aku tak habis pikir, Meli adalah sahabat baikku sejak pertama kali kami berseragam putih-biru dongker. Kami berdua seperti Bulan dan Bintang yang selalu bersama tapi hanya satu yang bersinar lebih terang, aku. Meli selalu jadi bahan gunjingan orang lain, selalu di kucilkan, di ejek, di hina, dan hanya sedikit yang mau beteman dengannya. Mungkin karena dia terlalu cantik sampai-sampai semua orang iri dan tak suka dengan kehadirannya, tapi aku tak peduli. Dia anak baik (sebelum kejadian ini) dan aku tak pernah meninggalkannya seorang diri. Dia sahabatku yang paling kupercaya, dulu.
Kuhentikan langkahku karena hujan turun tiba-tiba. Hujan Zenital, rintiknya besar-besar dan sakit menghujam tubuh. Aku membuka tasku dan segera memakai payung kesayanganku. Kulihat dari jauh Meli basah kuyup, kehujanan di halaman belakang sekolah. Ah biarkan saja. Orang yang tak bisa di percaya tak pantas di payungi. Kulangkahkan kaki menuju rumah sesegera mungkin.
•••
"Ndien, sekarang kayaknya kamu jauh sama Meli nih. Kenapa?"
"Pasti karena risih kan, soalnya dia terlalu cantik,"
"Iya, jauhin aja! anak kayak gitu bisa merampas cowok ganteng yang kita suka,"
Semua pertanyaan dan pernyataan di lontarkan di hadapanku. Aku menjauhi Meli bukan karena tersaingi. Dia cantik, memang. Tapi aku tak merasa dia perebut kebahagiaan. Aku hanya benci pada orang yang telah membocorkan rahasiaku, aku tak suka berteman dengan orang yang tak bisa menjaga rahasia. Kupikir Meli satu-satunya teman yang paling bisa kupercaya di sekolah ini, tapi ternyata dia sama saja seperti yang lainnya. Kudengar dia sedang tepojok di kantin, di rayu senior lelaki dan di ejek teman-teman dari kelas sebelah. Mereka tak pernah begitu pada Meli jika aku ada bersamanya, tapi.. ah sudah biarkan saja. Kubuka kotak makan siangku di dalam kelas. Mulai menyendokkan beberapa suap dan Yogi datang.
"Kok, nggak makan bareng Meli?"
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengehempaskannya kuat-kuat. Meli lagi, Meli terus.
"Kenapa yang di tanya Meli sih? Kamu suka bukan sama dia? Kenapa bukan Jessy atau Via atau Liona yang kamu tanya? Ooh jadi sekarang mulai suka kan sama kecantikan Meli? Dan kenapa tanya sama aku hah?! Memang aku ibunya?"
Kupalingkan wajahku darinya, kututup kotak makan siangku dan meneguk segelas air mineral. Sudah tak nafsu makan lagi.
"Loh kok kamu jadi sensi begitu sih, Ndien? Aku nanya karena kamu kan teman dekatnya. Ya wajarlah aku tanya ke kamu. Selama tiga tahun terakhir ini kan, kamu yang selalu bersama dia,"
Aku terdiam. Sampai tidak sadar kalau pertemanan kami hampir tiga tahun. Teringat canda tawa dan rutinitas yang kulakukan bersamanya setiap tahun. Aku yang selalu jadi pelindungnya dan dia yang selalu membantuku mengerjakan pe-er, rasanya aku tak percaya dia membocorkan rahasiaku. Sungguh keterlaluan.
"Biarkan saja. Aku bosan sama dia,"
Kataku ketus. Yogi mendelik melihatku, seperti tak percaya.
"Cuma karena Aldi, terus persahabatan kalian hancur, gitu? Dewasa sedikit sih, Ndien. Kmu sudah kelas sembilan masa' masih begitu sikapnya,"
Yogi berdiri, berlalu meninggalkanku bersamaan dengan bel yang berbunyi. Sebentar lagi Meli pasti masuk kelas. Aduh aku jijik kalau harus duduk sebelahan sama dia.
Siswa lain mulai masuk kelas satu persatu dan hampir semua bangku terisi, tapi Meli tak kunjung datang. Kemana dia?
Ah biarkan saja. Apa pula peduliku. Dia kan pengkhianat.
Bu Murni masuk dan pelajaran dimulai. Biasanya kalau ada Meli, dia akan membantuku menyelesaikan soal matematika dari bu Murni tapi pelajaran kali ini terasa membosankan dan dua jam berasa seperti dua ratus tahun. Meli... Kamu di mana sih?
•••
Sudah seminggu Meli tidak ke sekolah. Guru-guru malah bertanya padaku tapi aku juga tidak tahu. Teman-temanku apalagi, mana peduli dengan si gadis cantik itu. Aku bersiap untuk membuka kotak makan siangku dan sebuah pesan sms masuk ke ponselku. Dari mamanya Meli.
Ku urungkan niatku untuk makan siang, segera bergegas menuju rumah sakit yang alamatnya sudah di kirimkan melaui pesan barusan.
Aku menangis sepanjang jalan. Katanya Meli sakit parah? Mematikan? Bukankah semua penyakit bisa di sembuhkan? Leukimia itu apa sih? Bukannya leukimia itu sel darah putih? Terus kenapa dengan sel darah putih Meli? Tunggu... Aku datang menjenguk sebagai teman, bukan sahabat. Aku mana mau mengakui sahabat kepada orang yang telah menghianatiku. Cih.
Tapi bagaimana keadaannya ya, dia masih boleh makan eskrim durian di pinggir jalan atau tidak? Boleh makan ciki tidak? Terus nanti rambutnya akan rontok lalu botak seperti di film-film bukan? Aduuuh aku kok bodoh sekali sampai tidak tahu jenis penyakit apa itu. Semakin aku berpikir aku semakin pusing dan tak kusangka aku sudah sampai di rumah sakit. Segera aku berlari menuju kamarnya. Iya aku sempat benci dia. Tapi sekaligus khawatir.
Kubuka pintu kamar dan kulihat wajahnya yang pucat pasi.
"Andien?! Kenapa kamu tahu aku di sini? Kenapa mau datang ke rumah sakit? Tak ada seorangpun yang mau menjengukku, tapi kamu..."
"Udah, jangan banyak ngomong. Istirahat yang cukup. Aku disini terus, kalau kamu butuh batuan bilang aku,"
"Soal Aldi.."
"Ya ampuuun Meli.. udah nggak perlu di bahas lagi. Aku nggak ngerti kenapa itu bisa terjadi tapi lupakan saja. Maaf ya aku pernah buat kamu sakit hati. Kita bisa tetap berteman tapi aku nggak bisa percaya lagi sama kamu,"
"Cuma teman? Buatku kamu adalah sahabatku yang paling tulus. Andien, lain kali coba kamu klarifikasi dulu pada setiap masalah. Bisa jadi kamu salah dugaan,"
"Tapi Mel, waktu hari itu aku sendiri yang tanya sama Aldi. Dia bilang kamu yang kasih tahu ke teman-teman dan ke Aldi. Dia bilang kamu yang cerita kalau aku suka padanya,"
Ah kesaaaal kenapa pula harus membahas ini lagi. Tapi kulihat Meli menahan senyumannya.
"Andien... Kamu lebih percaya pada Aldi, si anak yang baru setahun di sekolah kita? Kamu lebih percaya dia daripada aku yang sudah tiga tahun bersamamu? Harusnya kamu percaya kalau aku selalu menjaga rahasiamu,"
"Ih bukan gitu mel, tapi.. kata Aldi.."
"Kata Aldi aku, aku tapi tidak bilang kata Aldi. Aku tak akan menyalahkan dia. Asal kamu tahu, aku sekalipun belum pernah ngobrol sama Aldi. Kan kamu sendiri yang bilang, aku nggak boleh ngomong sama sembarangan lelaki,"
Aku terdiam sejenak. Meli benar. Aku salah. Kami ini memang dua sahabat yang tidak sama watak dan sifatnya. Aku duduk lesu di atas ranjangnya. Kok aku bodoh sekali ya, ceroboh dengan sikapku.
"Andien... Tahu nggak, ada peribahasa 'Mulut tempayan boleh ditutup, mulut mausia tidak' yang artinya, rahasia jangan terlalu dipercayakan kepada orang karena mulut manusia tidak bisa ditutup. Tapi kalau menurutku, kamu harus bisa percaya sama orang yang memiliki hubungan dekat sama kamu. Pacar, keluarga, atau sahabat, misalnya. Karena sebuah hubungan tanpa kepercayaan itu sama aja kayak menegakkan benang basah. Jangan pedulikan apa kata orang yang mau merusak hubunganmu, yang penting kamu harus percaya. Dan rasa percaya itu datangnya dari hati, bukan lewat logika,"
Aku menangis sesenggukan di hadapannya. Meli sungguh sahabat yang baik. Bodohnya aku yang sempat tidak mempercayainya. Meli benar. Harusnya aku percaya sama dia, dan kata-katanya barusan...
"Mel maafkan aku ya. Aku tahu kepercayaan itu mahal harganya, lebih mahal dari sebuah maaf. Kamu masih mau terima aku kan sebagai sahabatmu? Aku selalu percaya sama kamu Mel,"
Meli mengangguk senang. Wajahnya semakin terlihat cantik meskipun semakin tirus. Lalu kami melingkarkan jari kelingking kami, tertawa bersama, dan aku kembali curhat kepada Meli; rahasiaku tentang Yogi.
Dan rasa percaya itu datangnya dari hati, bukan lewat logika. :')
BalasHapuskisah anak remaja yang terjadi di kehupan sehari-hari. persahabatan yang sangat manis.