"Mau kemana Non?"
"Eh Ibu, permisi. Biasa bu, saya mau beli jangkrik. Mari bu,"
"Iya silakan Non," ucap Ibuku seraya tersenyum. Yang disapa sebagai Nona itu kembali melanjutkan langkah perjalanannya. Ibu mengusap-
usap rambutku dengan handuk merah yang baru saja ia beli kemarin di pasar dadakan di kota kami. Aroma shampo di rambutku menyeruak, melebur menjadi satu dengan aroma kopi milik Ibu yang di taruh di meja teras.
"Dia nona paling cantik ya?" Ibu berbisik pelan padaku. Kami duduk di teras depan rumah kami. Pagi ini sejuk. Tetes-tetes embun masih melekat pada rerumputan di sebrang jalan. Beberapa orang lalu-lalang dengan pakaian olahraganya dan berlari-lari kecil bersama kerabat.
Minggu pagi memang meyegarkan.
"Itu Non Echa. Anaknya direktur perusahaan. Ituloh mas, yang
rumahnya dua blok di belakang rumah kita,"
Ibu kembali memberi tahu sambil terus menyapa setiap orang yang
melewati rumah kami. Kami baru datang ke kota ini sebulan yang lalu. Tujuh tahun kami tinggal di lingkungan yang sangat tidak bersahabat sehingga akhirnya kami memutuskan untuk pindah. Di kota ini, semuanya sungguh berbeda.
"Kamu tahu mas, dia beli jangkrik untuk apa?"
Sejak pindah kemari, aku belum sempat menanyakan nona itu kepada Ibu. Aku selalu melihat perempuan tadi melewati rumah kami setiap pagi, dan setiap sore. Tujuannya sama, membeli jangkrik di toko burung sebanyak 15 buah yang kakinya telah terpotong dalam keadaan hidup. Aku sampai hapal. Echa, adalah perempuan menarik menurutku. Ia tanpa poni dan selalu mengikat rambut sepunggungnya dengan kuncir kuda, kulitnya putih meski ia tak berwajah oriental. ia selalu
tersenyum pada Ibu ketika melewati rumah kami. Membiarkan Ibu bertanya dengan kalimat yang sama dan dia akan menjawab dengan kalimat yang sama pula, pertanyaan dan jawaban yang selalu kudengar
seperti tadi. Ia terlihat dewasa, dan sepertinya aku tertarik padanya.
"Mas Andi ! kenapa kok kamu senyum-senyum sendiri mas?!"
ibu membuyarkan lamunanku.
"Ih ibu ngagetin mas ya?! mas lagi mikirin apa sih?!"
canda ibu padaku. Ibu meneguk secangkir kopi lion miliknya.
"Jangan bilang kalau kamu suka sm non echa ya mas,"
Raut muka ibu segera berganti. lebih serius dan menatapku tajam. Lalu ibu mendekatiku dan berbisik dengan sangat pelan tapi aku bisa dengan jelas mendengarnya.
"Dia itu gila,"
•••
Minggu berikutnya aku kembali temani Ibu menyapa orang-orang yang lalu lalang di depan rumahku. Kemarin sore Ibu menitipkan pesan agar aku duduk menemani dirinya di depan teras dan meyapa semua orang, termasuk si nona jangkrik itu. Yah, aku sebut begitu sebab nona itu hanya keluar rumah untuk membeli jangkrik. Entah setan jenis apa yang ia pelihara.
"Nah, itu dia lewat," Ibu menyikut lenganku.
"Non Echa, ini mas Andi katanya mau ngobrol," sapa ibu ramah. Ibu
mencubit lembut lenganku. Aku setengah melotot kepada ibu, aku tak suka di perlakukan seperti anak sekolah dasar. Echa menatapku dan aku balik menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ibu
tersenyum sambil menyeruput kopi hitamnya. Sedangkan aku hanya menikmati uap secangkir teh dengan dua sendok madu yang telah larut. Rutinitas seperti ini -basa-basi murahan- harus dilakukan menurut Ibu. Echa menghentikan langkahnya. Dahinya berkerut.
"Kenapa menatapku seperti itu. Harusnya kamu bertanya, 'mau kenana Non', Apa ibumu tidak mengajarinya?!"
Echa angkat suara. memelototi tampangku yang penuh keingintahuan.
'Apa salahnya aku tidak bertanya?! Aku tak ingin berteman denganmu
yang selalu membeli jangkrik. Mana ada hewan yang memakan
jangkrik. kamu pembunuh, makanannya jangkrik hidup!'
aku berkoar dalam hati, masih enggan untuk berbicara. Benar kata Ibu, dia pasti gila. Nah, nah, lihat dia malah melangkah dan pergi meninggalkan rumahku, meneruskan perjalanannya. Aku
menyesap uap tehku yang masih mengepul, sambil memperhatikan
postur tubuhnya yang melenggang dari pandanganku. Tapi tak lama ia
berbalik, masih memelototiku dan berkata,
"Kamu mau tahu untuk apa aku beli jangkrik?" aku mengangguk.
"Kalau begitu akan aku jelaskan, tapi kamu harus temani aku membeli jangkrik dan bantu potong kakinya," aku mengangguk. Ibu juga setuju meskipun terlihat khawatir, lalu Echa menggandeng tanganku. Aku bisa merasakan ibu wanti-wanti melihat kami dari kejauhan.
•••
"Burung hantu bukan pembunuh. Yang aku punya jenisnya celepuk,
namanya Poqi. Dia cuma makan jangkrik di pagi dan malam hari. Itu
sebabnya aku selalu melewati rumahmu setiap hari, untuk membeli jangkrik. Oya namaku Echa,"
ia mengulurkan tangannya.
"Aku tahu, namamu Andi kan," aku diam memandangi echa. Dia
sungguh sangat menarik dan cantik. Juga bukan pembunuh. Dan itu alasan mengapa ia membeli jangkrik, ia pelihara burung hantu. Ibu benar. dia sedikit gila, dia gila karena mau pelihara burung keramat yang kata orang zaman dulu burung pembawa setan. Tapi tak apa-apa aku suka padanya. Ia ramah pada semua orang. Hanya saja untuk hari ini, saat ia sedang berjalan denganku menuju rumahnya semua orang sibuk memperhatikan kami. Mereka berteriak Echa gila. Menertawainya
dan mereka bilang Echa harus berhati-hati padaku. Aku tak mengerti kenapa. Tapi buatku Echa tidak gila.
•••
Ini sudah dua bulan aku dan ibu tinggal di pemukiman baru. Echa,
tentunya menjadi teman terbaikku dan hanya dia yang ramah pada ibu. Hari ini aku memberanikan diri untuk berkunjung kerumahnya, sudah janji akan bermain. Ibu mengantarku sampai ke depan rumah nona Echa, lalu meninggalkanku di depan gerbang setelah memencet bel agar
pagar di bukakan. Sebelum pintu terbuka, dari dalam rumah terdengar perbincangan Echa dengan seseorang. Ayahnya mungkin. Aku tak mau jadi anak yang tak sopan, mendengarkan obrolan orang tua dan anaknya... tapi aku penasaran. Aku beranikan diri untuk segera mendengarkan dengan saksama. Samar-samar kudengar suara ayahnya tapi aku bisa dengar suara Echa.
"Maaf ayah, dokter bilang sesuatu yang membuatnya senang dan
bahagia, hanyalah ilusi dan khayalannya. aku sadar, Andi, itu hanya khayalan belaka. semua orang tahu dan, Oh selama ini pun, kita tahu ibu Dina memang tak punya anak laki-laki kan. anaknya yang bernama Andi itu bahkan sudah meninggal sebelum lahir. tapi dengan bermain bersama boneka Ibu Dina yang dinamakan Andi itu, aku merasa sudah
menyenangkan hati ibu Dina,"
"Iya ayah mengerti. Tapi kamu harus tahu. Orang akan menganggapmu gila juga kalau kamu terus terusan berbicara pada boneka yang bahkan
tak bernyawa,"
Dheg! A... Apa yang barusan kudengar itu? Apa maksudnya?
"Iya ayah, aku paham. Aku cuma berusaha menyenangkan hati ibu Dina saja. Sebenarnya aku juga takut yah, takut orang akan bilang aku gila, tapi aku ingin membahahiakan orang lain, tak punya maksud buruk,"
"Kamu sungguh berani mengambil keputusan, nak. Kamu mirip seperti
ayah saat kecil. Sekarang, kalau kamu berani berbuat, kamu harus siap dan berani mengambil risiko atas perbuatanmu, ya. Walaupun kamu takut bertindak pada awalnya, tak apa. Orang yang punya rasa takut adalah orang yang bisa bertindak berani. Tanpa rasa takut itu, tidak ada apapun yang bisa disebut berani. Keberanian itu di ciptakan untuk
apapun yang dapat engkau lakukan atau impikan, lakukanlah itu! Karena sebuah keberanian itu punya kuasa, keajaiban serta kejeniusan di dalamnya,"
"Iya ayah, aku mengerti. Sama berani nya seperti aku yang mau
memelihara burung hantu kan?"
"Teruslah jadi anak yang baik dan berani mengambil keputusan,
apapun konsekuensinya,"
Lalu terdengar tawa dan canda dari dalam.
Tunggu, jadi aku ini hanya sebuah boneka? Jadi... Jadi yang gila itu
bukan Echa. tapi Ibuku.
A picture taken from Google.com
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)