Aku sempat tidak percaya dengan kehadiran Tuhan. Iya, tidak percaya kalau Tuhan itu ada. Kakakku bilang kalau kita sedang membutuhkan atau mengharapkan sesuatu, kita harus menengadahkan tangan dan banyak berdoa kepada yang diatas, pemilik segala semesta ini. Tapi doaku tak kunjung dikabulkan padahal aku sudah merapalkan doaku selama tiga bulan berturut-turut setiap malam, siang hari, saat senja, pagi buta, juga dini hari sambil menangis tiada henti. Jadi aku tidak percaya kalau doaku akan terabul. Aku berhenti berdoa, mogok beribadah, dan marah pada Tuhan karena doaku tak didengarnya. Tuhan pasti lebih suka mendengar doanya Oprah atau Celine Dion karena mereka terkenal.
Aku sedih Tuhan menolak doaku, padahal aku hanya memohon satu hal : Aku mau ayahku hidup lagi .
Saat itu usiaku masih kecil, delapan tahun. Sudah dipaksa untuk mengerti apa arti sebuah kehilangan, sudah dituntut untuk menjadi dewasa, sudah diharuskan menjadi pelindung bagi keluarga padahal aku perempuan, sudah diminta agar menjadi anak yang berpikir panjang. Hey, usia delapan tahun harusnya aku bersenang-senang dengan boneka barbie dan permainan lompat tali. Tapi ayahku pergi, membuat perekonomian keluarga tidak seimbang, dan membuatku bertanya-tanya : kenapa Tuhan hentikan jantung ayahku, kenapa bukan anjing tetangga yang mati? Kenapa bukan sopir angkutan dzolim yang mati? Kenapa bukan aku yang mati? Kenapa harus ayahku?
Jadi aku berdoa sepanjang malam. Sebab, aku tahu. Tokoh sinetron yang mati di episode hari ini, esok akan hidup di tayangan lain. Mungkin ayahku juga akan begitu. Hari minggu menutup mata di rumah sakit, hari senin pasti sudah terbangun untuk mengantarku ke sekolah dengan naik sepeda.
Dan doaku tidak dikabulkan, sampai tiga belas tahun kemudian...
Kehilangan itu memang menyakitkan. Butuh waktu yang sangat lama untukku menyesuaikan sesuatu yang ada menjadi tidak ada dalam hidup. Tapi baru sekarang aku sadar, aku tidak bisa berlarut-larut dalam kesedihan karena orang-orang disekitarku tak pernah berkurang. Mereka selalu bertambah, membuat hidupku tak pernah sepi. Dan selama tiga belas tahun setelah ditinggalkan ayahku, aku benar-benar baru sadar bahwa aku tak pernah merasa sendiri. Masih ada orang yang selalu mematikan lampu ketika aku lelap tertidur, masih ada orang yang selalu membangunkanku di pagi buta agar aku tak terlambat melakukan aktivitasku. Masih ada dia, yang menyiapkan makan pagi, dan membersihkan sepatuku jika bagian bawahnya kotor oleh tanah basah yang kupijak sepulang sekolah. Dia...
Dia ibuku.
Kemana saja aku selama ini? Setiap hari hanya merapalkan nama ayahku dan berharap kuburnya terang, petaknya luas, tanahnya wangi, dan berdoa agar ia tak kesepian di alam sana. Now i realized that life must go on. Aku terlambat untuk menyadari bahwa seharusnya aku bersyukur ayahku yang lebih dulu meninggal daripada ibuku. Karena aku yakin, seorang ayah manapun, tak akan sanggup menjadi single parents, terutama mengurus anak manja sepertiku.
Aku sekarang tak lagi menghabiskan sisa waktuku dengan menginap di rumah teman, atau bermain sepanjang hari di mall lantas pulang malam. Aku mau cepat pulang sesegera mungkin, karena masakan ibuku menanti. Aroma masakannya menungguku di teras depan rumah. Aku tak mau lagi menginap di rumah teman atau tinggal di kost-an sebab, aku mau sebelum aku pergi aku bisa mencium punggung tangannya terlebih dahulu. Dan aku tahu, Tuhan itu ada. Tuhan itu nyata. Dan memang tidak semua doa kita dikabulkan, tapi pasti Dia memberikan yang lebih baik untuk kita.
Doaku sekarang hanyalah semoga ibuku tetap diberi kesehatan, kebahagiaan, dan umurnya berkah. Aku juga berdoa agar aku masih bisa mencium punggung tangannya kelak saat aku berada di pelaminan, berdoa agar calon anak-anakku masih sempat mencium pipinya, walaupun aku tahu sepertinya doa itu tak mungkin bisa dikabulkan sebab usianya yang sudah menua.
Aku sungguh terlambat menyadarinya.
Semoga kamu, yang membaca ini, tidak terlambat untuk menyangi kedua orang tuamu yang kasih sayangnya tidak bisa dibayar dengan apapun.
"Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan." [Soe Hok-Gie]
•••
'Tulisan ini diikutsertakan dalam momtraveler’s first Giveaway “Blessing in Disguise" dan info lengkap bisa dikunjungi di :
http://momtravelerblog.wordpress.com/2013/07/16/my-first-giveaway/
Ps : semoga hadiahnya mukena biar bisa dikasih untuk ibu :D
Terima kasih sdh mengingat kan btpa berharganya cinta kedua orang tua
BalasHapusMakasih Mbah, sdh lgs terdaftar ya :-)
Terharuuuuu.....
BalasHapusAku masih belum merasa cukup bisa membahagiakan orang tuaku.
yap, selagi kita masih bisa membahagiakan mereka, jngan smpai menyesal...
BalasHapusjadi pengin cepet2 mudik :")
BalasHapus