Pa, mari kita berbagi rahasia. Jangan semuanya, sedikit saja rahasia yang perlu kita bagi kali ini, salah satunya tentang… Cinta. Kurasa aku sudah cukup umur untuk membahas ini, kan?
.
1/
Dulu semasa kau seusiaku, ada berapa banyak wanita yang kaucintai sebelum bertemu istrimu yang kupanggil ibu itu, Pa? Perempuan mana saja yang beruntung pernah mendapat perhatian dan kasih sayangmu? Ayolah, jujur saja, tak apa. Seperti yang sudah kubilang, ini rahasia. Tak akan kuceritakan pada siapa pun.
Kalau kau enggan bercerita, biar aku menduganya sendirian. Mungkin, ini baru kemungkinanku saja ya, melihat tampangmu yang penuh karisma dan wibawa seperti itu, mungkinkah ada sesosok perempuan cantik jelita yang tertambat hatinya padamu? Atau... Ada seorang wanita yang sangat berpengaruh dalam pekerjaannya, pernah mencintaimu? Oh! Mungkin, kawan lama semasa sekolah ada salah satunya yang diam-diam mengagumimu?
Dulu, Pa, aku selalu bertanya-tanya mengapa dari sekian banyak wanita yang kautemui, mengapa harus wanita sederhana ini yang menjadi istrimu? Dan, ya Tuhan, aku menemukan jawabannya dua puluh tahun kemudian setelah pertanyaan itu terbesit dalam benakku. Namun, tetap saja sampai kini aku penasaran, ada berapa banyak wanita yang pernah kaucintai sebelum ibu?
.
2/
Sekarang, kuberitahu sedikit rahasiaku. Aku tahu, hampir semua ayah di dunia ini mau tahu banyak hal mengenai anak gadisnya. Dan meski kautidak pernah bertanya, aku tetap ingin memberitahu. Aku sulit sekali jatuh cinta.
Tenang, Pa.
Aku tumbuh sebagai anak yang senang sekali bergaul dan menjadi kuat jika berada dalam sebuah kelpompok, menjadi lebih berkuasa ketika dikerumuni banyak orang, dan aku tidak akan pernah merasa kehilangan kepercayaan diri. Tetapi, aku terlalu apatis untuk jatuh cinta. Aku hanya mencintai segelintir orang yang sebenar-benarnya mencintaiku –istrimu, anak-anakmu yang lain, anak dari anak-anakmu, dan tentu saja dirimu, Pa. Sementara dengan yang lain? Hm. Mari kita persempit obrolan rahasia ini.
.
3/
Ini rahasia soal lelaki –yang pernah aku cintai. Kali pertama aku tahu apa itu pacaran dan urusan percintaan, saat kelas dua SD di tahun 1990-an. Aku tahu kata "cinta" dari tayangan telenovela Paula & Paulina yang gemar kutonton setiap sore. Lalu, seorang kawan lelaki berdarah campuran Belanda-Indo konon mengaku menyukaiku dan mengatakan cinta, walaupun kami tidak tahu apa itu cinta.
Tapi tenang, kami tidak pacaran. Aku seusia itu hanya memikirkan obsesiku untuk membeli apa saja yang kuinginkan. Hanya saja, itu merupakan asalmuasal aku tahu kata cinta.
Aku masih berteman baik dengan lelaki berdarah campuran ini, dia pernah beberapa kali memacari sahabatku dan sekarang ia berkerja di salah satu swalayan di kawasan Ibukota. Kami bertemu sesekali untuk bertukar pengalaman, tapi tidak untuk berbagi kenangan.
.
4/
Ketika SMA, ada seorang lelaki baik hati, kaya raya, cerdas, satu suku, agamis, tampan, dengan fisik yang baik, dan orang yang sesempurna itu hanya kukenal dua hari saja. Ben, namanya. Kami bertemu dalam sebuah acara.
Waktu itu semua peserta asyik bermain di dalam aula dan aku memilih duduk di tangga sebelum masuk ke aula, karena, aku suka sekali menyendiri tanpa alasan. Kau harus tahu, termenung adalah salah satu kegemaranku, Pa. Kemudian, lelaki itu datang dengan senyumanya yang ramah dan tak sedikitpun mengurangi kadar senyumannya –dia lantas ikut duduk di tangga, kami berkenalan, berbincang sebentar soal sekolah masing-masing, kegiatan, kegemaran, kesukaan, kebencian, dan tiba-tiba saja, perasaan.
Eh, aku masih tidak tahu apa itu cinta, tetapi sejak pertemuan itu –sampai lima tahun lamanya, hanya dia saja yang bermain-main di kepalaku meskipun kami telah kehilangan kontak sejak pertemuan itu. Terakhir yang kutahu, ia telah menjadi seorang dokter.
.
5/
Kalau kau tanyakan padaku, tahun mana yang paling kunikmati sepanjang hidupku, aku akan menjawab, yang pertama adalah tahun ketika kau masih ada, tahun ketika nantinya aku menikah, dan tahun 2012. Di tahun itu… Ah, mari ceritakan saja bagian pecintaannya.
Tahun inilah, aku tahu apa itu cinta. Aku pernah meyukai seorang kakak senior yang akhirnya berpacaran dengan sahabatku. Dia baik sekali dan beberapa kali kami berbagi cerita. Pertama, aku menyukainya karena perawakannya yang cakep sekali, dia benar-benar mirip salah seorang artis berinisial V bahkan dia lebih beraura cerah. Dan oh, otaknya yang cerdas, juga kebaikannya. Mungkin satu fakultas tahu bahwa aku menyukainya. Aku memang terang-terangan menyukainya meskipun tidak meminta lebih.
Entah apa kabar lelaki itu, tetapi kabarku, saat sedang suka-sukanya dengan orang itu, aku menemukan seseorang yang membawa cinta. Seseorang ini kemudian jadi lelaki pertama yang keberadaannya selalu kuceritakan pada anak keduamu, selalu kubahas dengan istrimu, selalu kuprioritaskan melebihi diriku sendiri. Namun, cinta yang dia bawakan rasanya aneh, Pa.
Darinya, cinta kadang terlihat melalui tetes-tetes air yang keluar dari mataku dan sesekali kukecap airnya.
Cinta darinya asin.
Cinta terasa ketika jantungku seperti dipukul berkali-kali dan aku jadi sulit bernapas karenanya.
Cinta darinya menyesakkan.
Cinta juga kuterjemahkan sebagai perjuangan. Harus berlari-lari mengejar sampai kakiku rasanya lumpuh, harus setiap kali menggapai hingga seolah tanganku berdarah-darah. Harus menyingkirkan paku, duri, jarum, dan segala yang tajam ; tetapi semakin disingkirkan, malah datang semakin banyak.
Cinta itu, menyakitkan.
Mencintainya membuat aku hancur. Tapi membuang cinta yang pernah dia berikan, justru membuatku ingin sekali menyusulmu, Pa.
Belakangan aku tahu, cinta ada banyak jenisnya, ada banyak rasanya, ada banyak bumbunya. Yang kurasakan darinya, hanya satu dari sekian juta rasa cinta.
Kami pun sepakat membunuh cinta dan bersikap seolah-olah cinta tidak pernah lahir di antara kami.
Walaupun begitu, aku tetap berteman baik setidaknya sampai saat ini. Kau mengajarkanku untk memaafkan dan tetap ramah pada siapa saja, kan, Pa? Begitulah yang kulakukan padanya -tetap ramah. Dia sedang bahagia dengan kesuksesan dan bahagianya yang baru, Pa. Sementara aku, masih tenggelam dalam rasa sakit.
.
6/
Kemudian aku bertemu lagi dengan cinta, melalui seorang lelaki yang kutahu ia baik sekali prilakunya. Ini terjadi di tahun 2014. Seperti yang kuceritakan di awal, betapa aku senang sekali bergaul,
Belakangan ini,
Aku jadi semakin senang menyendiri, membatasi pergaulan, dan berusaha memutuskan hubungan dengan siapa saja.
Bukan apa-apa, jangan khawatir. Aku hanya sedang menjaga perkataan dan perbuatanku.
Ketika aku menikmati duniaku yang sekarang, pelan-pelan aku jatuh cinta dengan lelaki yang porsi bicaranya lebih banyak dariku, Pa.
Berbeda dari aku yang dulu, yang lebih mau didengar, lebih menuntut banyak hal, aku yang sekarang jadinya suka sekali mendengar seseorang lebih banyak berbicara ketimbang aku, mau membagi kisahnya, bercerita dan mempercayakan ceritanya padaku, lalu aku mengomentari seadanya. Aku belajar dari cinta yang kutemui dulu, bahwa menjadi perempuan yang terlau mendominasi tidak banyak mendapat cinta yang rasanya enak. Kecintaanku yang sekarang ini, tidak ada yang tahu selain kau dan tentunya yang sedang bersamamu, Tuhan.
Dia tinggi, berkacamata, putih, sedikit kurus, kami senang sekali berdiskusi, dia juga perokok, dia pintar menggambar, dia baik, tapi dia tidak seperti Papa yang segala-galanya sempurna di mataku, tetapi, kautahu…
Ah, aku lupa berbagi satu rahasia lagi. Tapi biarlah, kusimpan saja sendiri rahasia itu.
.
7/
Pa, aku memang tidak mudah jatuh cinta kecuali ketika hatiku memilih untuk mencintainya.
.
8/
Setelah bercerita sejauh ini, aku yakin kau mau menertawakanku karena aku telihat sebagai perempuan yang sangat bodoh sekali.
Silakan tertawa, Pa.
Aku tidak akan menyalahkanmu yang pergi terlalu dini sehingga luput mengajariku tentang bagaimana menghadapi cinta. Aku tidak akan menyalahkanmu yang belum pernah memberikan contoh atau memberitahu apa-apa yang harus dipersiapkan untuk berdamai dengan cinta. Tidak akan kusalahkan apa pun padamu. Sebab, tanpamu, aku tetap tahu apa itu setia, apa itu pengorbanan, apa itu kasih sayang, dan apa pun yang berkaitan dengan cinta, aku sudah memelajarinya –melalui istrimu.
Itu sebabnya di awal kukatakan padamu, bahwa aku menemukan jawaban mengapa kau memilih menikah dengan wanita yang menjadi ibuku ini. Istrimu wanita sempurna –sungguhan sempurna dalam segala hal. Kita akan bicarakan soal ibu lain waktu.
Percakapan kita sejauh ini bukan rahasia yang ingin kubagi. Rahasia sebenarnya adalah, aku sampai sekarang masih apatis mengenai cinta dan sebangsanya, tetapi aku ingin sekali jadi seperti ibuku –dia yang terbaik dalam segala hal. Waktu kukatakan ini padanya, Pa, istrimu bilang, dia sudah mempersiapkan masa depanku jauh lebih sempurna dari dirinya, dia juga bilang jangan pernah (aku) mencoba untuk menjadi dirinya. Aku harus sempurna saat menjadi diri sendiri.
Perkataannya, kubalas dengan pelukan saja. Tidak membantah, tidak menyanggah.
Tapi,
Aku tetap ingin seperti istrimu. Dia hebat. Dia panutan. Dia segalanya buatku.
~
Kiaracondong – Bandung, 2015.
Duh, maaf. Rahasianya malah gue baca. :)))
BalasHapusSebuah surat yang begitu pribadi. Lagi-lagi ngomongin cinta. Ah. :')
Ini belum diedit lagi ya, Un? :D
Oiya, itu kata 'memelajari', bukannya mempelajari, ya? :/
CMIIW.
Nggak ada yang namanya rahasia lagi kalo udah dipublish di internet, hihi, ada typo "kelpompok" di bagian 2 juga, Uni. Aku juga lagi bikin postingan tentang ayah, gara-gara inget novelnya Andrea Hirata, masih draft tapi :D
HapusIya ini tulis-publish belum diedit. Terima kasih udah jeli lihat yang typo. Nanti kuperbaiki ulang esok hari. Dan, oh, jangan bilang-bilang ke 'si aku' kalau aku nulis cerita ini. Jadi rahasia umum :))
HapusUn.... rahasianya bagus banget.
BalasHapusAku terharu :')
*pelukUni*
Semoga cepat mendapatkan lelaki hebat seperti papah mu :)
Muahahahahahah. Makasih udah bacaaaaa :))
Hapusrahasiamu sungguh membuat aku senyum2 sendiri. semoga allah segera mempertemukan dengan seseorang sebaik papa mu ya..
BalasHapusWah makasih udah baca :))Amiin untuk doanya !! :)
HapusAku tau rahasiamu, Uni.. :p
BalasHapusDon't tell each other! :)))
HapusAku berjalan tersaruk-saruk, berdarah, demi melewati poin lima. Dan membaca hal yang serupa dengan apa yang sedang dirasa, membawa sesak yang luar biasa. Kamu benar di poin enam, jadi perempuan yang mendominasi nyatanya tidak membawa pada cinta yang rasanya enak. Sama sekali tidak :')))
BalasHapus:)) Enak atau tidak, disyukuri saja.
Hapusnice post
BalasHapus