Ambu, aku sudah
tak lagi peduli apa seluruh suratku sampai padamu atau tidak. Barangkali esok
aku akan menulis surat untuk Peter di Slovakia lengkap dengan kartu pos, atau
menulis surat pada Mrs.Dorrothea di USA sekadar berbasa-basi bertanya apakah ia
pernah bertemu denganmu selama ini, dan kuyakin mereka akan membalasnya, tidak
sepertimu yang masih saja bungkam. Sebetulnya Ambu, aku tak punya banyak waktu
untuk menulis surat hari ini, tapi kupaksakan agar kau selalu tahu kabar
terbaru tentang kolegamu di Indonesia. Anakmu mulai membaik dan berat badannya
bertambah satu kilo, kau tak perlu khawatir akan dia. Tetapi tentang Zi –semoga
kau tidak mengumpat karena aku terus saja membahas Zi– ini lebih mencemaskan.
Ah, maaf aku lupa mengucap salam dalam surat ini. Keadaannya begitu genting dan
kepalaku menjadi pening, ketika mendapat kabar yang membuatku merinding.
Ketika kemarin
aku mengakhiri pencarianku atas Zi, siang tadi aku kembali datangi lokasi
kemarin dan seudahnya jalan sedikit ke jembatan Jalan Baru, aku ingin
mengistirahatkan kakiku sejenak dan kuputskan mampir ke gerobak tukang jajan di
pinggir jalan, karena tegiur akan pajangan yang mereka sajikan di etalase
gerobak.
Sambil memakan
pempek, aku memandang seorang pedagang asongan yang berjualan rujak sedang
berbincang dengan pedagang lain yang menjual es kelapa. Aku mencuri dengar
obrolan mereka, tentang seorang wanita dengan tinggi 150 cm yang mati
mengenaskan dan sampai sekarang belum ditemukan penjahatnya. Eh… Bukannya Zi
setinggi itu juga, ya? Malas sekali aku mencampuri urusan orang lain, tapi demi
mencari tahu Zi, akhirnya aku ikut nimbrung dengan para pedagang itu selepas
membayar pempek yang telah masuk dalam perut. Kuhampiri mereka dan sedikit
berbincang, kurang lebih begini redaksinya, Ambu. Maaf aku agak pelupa.
“Di mana itu
kejadiannya, mang?” kataku tanpa tedeng aling. Para pedagang itu menoleh, lalu
saling menjawab bergantian.
“Di Wates Jaya,
Cigombong, neng. Bogor Kabupaten.”
“Awewe?”
tanyaku, yang bermakna ‘perempuan?’
“Iya neng,
perempuan, sebaya sama eneng kayaknya.”
“Kapan mang?”
“baru-baru ini
neng, tahun lalu sih, Juni 2014 kemarin,” kata pedagang es kelapa.
“Ih neng,
serem, itu mayit tergeletak di semak-semak sambil diikat tangannya,” pedagang
rujak menimpali.
“Eta awewe make
kaos lengan panjang abu-abu, ceunah,” pedagang es kelapa kembali memberi
informasi, katanya perempuan itu memakai kaus abu-abu.
Abu-abu,
sebagaimana yang telah kuketahui sebelumnya, adalah warna kesukaan Zi.
Mungkinkah itu dia? Ah, Ambu. Aku benci sekali harus menerka segala
kemungkinan. Jika itu benar dia, maka duka akan merayap pada hati kita dan
menggerogoti seluruh rasa rindu yang kita pintal untuk Zi. Semoga itu bukan
dia, karena aku ingin sekali bertemu dengannya. Lagian, siapa pula yang tega
melakukan itu pada Zi?
Apa sebaiknya
aku lapor polisi saja, ya? Ambu balas suratku, dong. Kau tahu aku ini sulit
sekali mengmbil keputusan sendirian.
Ttd:
Uni
Uni
_____________
Ps. Berita tentang kematian itu bisa kau lihat di sini.
uni, aku penasaran.
BalasHapussebenernya uni ini beneran gak sih? terus zi itu beneran gak sih? apa cuma tokoh fiksi? ._.