• Nginap Bareng
  • Contact
  • Portofolio
Responsive image

Indonesian Beauty & Fashion Blogger.
Your personal stylist

Beauty Fashion Talks Lifestyle Event
#30HariMenulisSuratCinta

[04] Tentang Kebahagiaan yang Lenyap

Written by Uni Dzalika
Malam waktu UK, Ambu.

Tenang saja, kau bukan satu-satunya yang kukirimi surat kali ini. Aku baru saja menulis untuk dua orang. Yang satunya surat pengunduran diri Zi untuk sebuah perusahaan (kukirimkan agar jelas urusan pekerjaannya), satunya lagi untuk orang KBRI yang bertugas di wilayah Brighouse, UK, dan namanya Lusi. Dia sempat bertanya, aku tahu dari mana alamat tinggalnya, setelah kujawab secara detail, kami pun memutuskan untuk berkomunikasi lewat surel dan memulai sedikit obrolan, lalu di akhir perbincangan dia bilang, tak bisa melacak keberadaan kau. Lihat Ambu, betapa aku begitu posesif mencari keberadaanmu yang masih saja abu-abu. Maka ini adalah surat keempat yang kutulis untukmu, dan berharap semoga kau membacanya ketika surat ini tergeletak di ambang pintu rumahmu.
Ambu, tahu rasanya tertekan?
Aku bisa memberitahumu, lewat kisah Zi. Meski luka yang diderita tiap orang berbeda, meski seluruh duka yang didapat oleh orang penuh durjana, rasanya kisah Zi adalah yang paling cocok untuk kau jadikan referensi tentang bagaimana tersiksanya memunyai perasaan tertekan.
Kau tahu? Cerita dongeng 1001 malam bagian lampu Aladin yang berkata, bahwa orang beruntung selalu punya tiga kesempatan untuk meminta sesuatu. Lain lagi dengan dongeng lokal Timun Emas yang di dalam cerita mendapat empat kesempatan untuk lolos dari marabahaya. Sementara orang sukses di abad milenium bilang, kita cuma punya satu kesempatan untuk bertindak. Tetapi Zi pernah berkata, dia punya lima kesempatan untuk melakukan sesuatu. Sungguh liar biasa dan beruntung sekali, ya. Sayang, kesempatan yang ditawarkan serasa fana dan maya. Zi tidak pernah merasakan ada kesempatan baik yang datang padanya, dan ia tak pernah mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu yang teramat ia inginkan. Zi sungguhlah perempuan malang yang kerap dirundung duka. Dia selalu ingin memaki, meraung dan menangis dengan sedu-sedan, tetapi selalu ia batalkan dan menukarnya dengan senyuman serta kecerewetan yang ia lahirkan dari bibirnya sendiri. Ia merasa tak pantas bersedih. Ia merasa rugi mengeluarkan air matanya.
Kau tahu, Ambu? Delapan September 2014 lalu, Zi pernah mencoba untuk bunuh diri saking tertekannya dengan beban hidup yang ia hadapi. Apa saja deritanya, tak mau kejelaskan. Biar saja cerita-cerita gelapnya kusimpan sendiri. Aku takut menangis ketika menuliskannya untukmu, lalu surat ini akan penuh dengan noda air mata, aku tak mau jika itu terjadi. Yah, pada September itu, ia menuliskan sebuah surat, dan menyelipkannya di antara buku bacaan. Karena buku-bukunya ada padaku, jadi dengan mudah kutemukan dalam novel salah satu karya Sidney Sheldon. Dari surat itu kutebak, mungkin saja Zi benar-benar bunuh diri dan sudah mati, karenanya kita tak pernah lagi melihat batang hidungnya.
Di surat itu ia menuliskan, bahwa ia ingin sekali mengakhiri hidupnya lebih cepat dari takdir, memutuskan nadinya agar tak lagi memunyai napas kehidupan, menghilangkan kepedihan dengan cara melompat, karena kematian seperti itu menyenangkan, serasa terbang tanpa perlu memakai sayap atau baling-baling.
Setelah membacanya, gegas aku mencari segala info tentang kematian itu. Ah, jika benar, maka surat ini akan jadi surat terakhir karena urusan kita tentang Zi telah selesai, Ambu. Tapi aku berharap semoga saja Zi masih hidup. Jadi pagi ini, kudatangi lokasi yang pernah ramai karena ada berita bunuh diri, delapan September 2014. Napasku sedikit tersengal ketika sepanjang jalan sibuk memikirkan berbagai kemungkinan. Kasus bunuh diri itu berlokasi di gedung perhotelan persis dekat rumah sakit Azra, jalan Padjajaran Bogor. Dan benar adanya, seseorang telah loncat dari gedung setinggi tiga puluh meter. Aku bertanya ke sana kemari tapi warga setempat serempak membisu soal ini. Hanya ada satu yang berkata, “Dia loncat di lantai sepuluh dan kepalnya jatuh duluan.” Rupanya ia mati seketika. Waktu kutanya apa korban itu perempuan atau laki-laki, seorang lelaki berseragam polisi lewat di depan kami dan narasumberku lari terbirit-birit.
Benar saja, Ambu, seseorang telah mati saat itu.
Tempo jantungku mulai lebih cepat dan gendang telinga seperti mendengar tabuh dari dalam kepalaku, betapa pusing mendengarnya ribuan kali. Aku khawatir jika yang bunuh diri itu benar Zi.
Aku sibuk berkeliling mencari tahu, namun lagi-lagi nihil. Mereka seperti sudah mengadakan kesepakatan untuk bungkam karena alasan yang tak bisa kumengerti. Barangkali pihak hotel meminta warga agar tak menceritakannya, atau warga tak mau dihantui, entahlah. Setelah aku menemui sedikitnya dua puluh orang, aku beristirahat sejenak di dekat Jembatan Situ Duit, Jambu Dua. Kau tidak lupa, kan? Di jembatan ini, kau pernah melempar uang lima ratus sebanyak tiga biji. Memang, Jembatan Situ Duit ini terkenal sebagai jembatan yang mengabulkan permohonan segala doa asal kita melemparkan koin lima ratus. Aku tahu, berdoa hendaknya pada Tuhan, tapi apa salahnya melempar uang? Kuikuti jejak terdahulu untuk melempar receh agar doaku terkabul. Selepas aku melempar lima koin, kulanjutkan pencarianku dan akhirnya ada yang mau menjawab, bahwa yang mati itu seorang lelaki berusia empat puluh enam tahun.
Syukurlah, orang itu bukan Zi.
Hm, lalu di mana Zi berada? Ambu, tidakkah kau penasaran ke mana Zi? Semua kerabat mencarinya dan aku lelah ditanyai terus-menerus di mana ia berada.
Oh ya Ambu, aku harus menutup surat ini, kalau kau penasaran, esok akan kukirimkan lagi cerita tentang Zi. Sekarang aku harus pergi ke rumah sakit, anakmu sedang diopname dan aku perlu datang untuk membesuknya, agar keadaan terbaru tentangnya dapat kukabari melalui surat berikutnya. Ambu, jika kau masih sibuk berkelana di Inggris, segeralah pulang dan berhenti mengejar mimpimu jika belum juga tercapai. Kadang kita harus realistis untuk menerima kenyataan bahwa semua yang kita mau tidak selamanya dapat terwujud.

Your faithfully,
Uni

________________
Ps. Berita tentang kematian itu bisa kau baca di sini.

5 komentar:

  1. Yoga Akbar S.2 Februari 2015 pukul 11.15

    Kok, gue bacanya sedih ya. :(
    Diksinya mantep. Jago nih! Ajarin dong. :D
    Di ending, gue nggak setuju sama realistis. Tau, sih, impian nggak semua bisa terwujud. Apalagi jadi penulis. Di usia segini, mau kerja yang sesuai minat susah. Dan nggak bisa untuk makan. :') Tapi, seenggaknya setiap orang punya tujuan hidup. Ada mimpi yang harus dikejar. Jadi, jangan nyerah sampai akhir hayat. Wakakak, ini ngapa malah panjang. :/

    BalasHapus
    Balasan
      Balas
  2. Embun Bening2 Februari 2015 pukul 13.47

    liar biasa? LIAR BIASA? EMANG SENGAJA ATAU TYPO, JODOHKU? digetok*

    BalasHapus
    Balasan
      Balas
  3. Anonim2 Februari 2015 pukul 18.20

    Menarik, Uni!

    Aku menunggu kelanjutan kisah tentang Zi.

    BalasHapus
    Balasan
      Balas
  4. Jefferson L2 Februari 2015 pukul 21.08

    emang kampret ya, kalau lagi pingin tau sesuatu tapi orang2 di sekitar sepakat bungkam buat nggak ngasih tau. true story..

    BalasHapus
    Balasan
      Balas
  5. Fanny Saufina2 Februari 2015 pukul 21.34

    Aku penasaran sama kisah Zi. Semoga kamu bisa bertemu dengan Zi lagi dan semoga Ambu membaca suratmu ini.

    BalasHapus
    Balasan
      Balas
Tambahkan komentar
Muat yang lain...

Yuk Berlangganan!

Nggak mau ketinggalan informasi dari blog ini? Let's keep in touch! Tinggalkan alamat e-mail kamu dan dapatkan review artikel, tutorial, serta tips menarik secara gratis! :)

  • About Dza
  • About
  • Shop
  • FAQ
  • Explore
  • Lifestyle
  • Tips
  • Salero Uni
  • E-commerce
    Connect

Copyright Forever Young Lady All rights reserved. Design by Jung - Good Ideas. Great Stories.