"Pah, apa ada tempat yang paling sunyi sekaligus paling ramai?" tanya saya pada Papa sepulang ia kerja, pukul sembilan belas di hari Selasa. Saat itu usia saya delapan, sedang banyak sekali kalimat tanya yang bermain-main di kepala, dan hanya Papa yang selalu sukacita menjawabnya. Saya masih mengingat senyuman Papa yang tertutup kumis sesudah ia meneguk air putih. Mungkin ia tersenyum atas kalimat saya yang terlalu baku, atau tersenyum karena pertanyaan aneh saya. Semuanya masih terekam dengan jelas walau kejadian itu sudah lama sekali, kemudian saya naik ke pangkuannya sebelum ia menjawab, "Ada. Selalu ada tempat seperti itu di dunia ini. Di sekitar kita, juga ada."
"Kayak gimana tempatnya?"
"Begitulah, nak, sunyi sekaligus ramai. Ketika di sana, kamu akan sangat kesepian, tetapi sebetulnya kamu tidak pernah sendirian."
"Bisa ajak aku ke sana?"
"Mau ngapain?"
"Katanya buku bacaan, kalau kita menemukan tempat yang sunyi sekaligus ramai, itu adalah tempat terbaik untuk bernostalgia," kata saya mantap. Saya pun sebetulnya belum mengerti benar apa itu nostalgia, dan sudah lupa buku apa yang saya baca saat itu, ditemukan di tumpukkan rak buku di ruang keluarga dan membacanya asal, tetapi jadi mengundang penasaran seperti ini.
"Kamu belum waktunya ke sana."
"Kenapa?"
"Karena pas kita datang ke tempat itu, kamu bisa menangis entah berapa lama, tetapi harus konsentrasi supaya pikiranmu nggak kosong. Dan nggak ada yang mau datang ke sana. Bernostalgia, atau mengenang, bisa kamu lakukan di mana saja, sayang."
"Papa tahu tempatnya? Please, kapan-kapan kita ke sana, ya!"
"Hm. Boleh juga sih biar kamu tahu. Dalam waktu dekat, ya, Insha Allah." Lalu kami menutup percakapan ketika ia menurunkan saya dari pangkuannya, dan segera saya naik ke lantai dua, ke kamar, tiba-tiba tertidur pulas.
~
Orangtua, sebagaimana yang selalu disaksikan oleh seluruh anak-anak di dunia, selalu sibuk bekerja dan sedikit sekali sisa waktu mereka untuk bermain dengan anak-anak. Ketika tiba hari Minggu, waktu yang seharusnya menjadi hari bermain, Papa jatuh sakit, dan itu terjadi belum genap seminggu setelah percakapan kami mengenai tempat yang ia janjikan akan mengajak saya ke sana. Doa saya saat itu agar ia lekas sembuh, biar kami bisa pergi ke mana saja setiap Minggu, seperti yang sudah-sudah.
Karena Ibu dan kedua kakak saya sibuk di rumah sakit dan saya masih terlalu kecil untuk ada di sana, saya dititipkan di rumah sepupu. Kami bermain The Sims sepanjang hari dan banyak sekali makan. Ini melanggar aturan karena saya seharusnya tidak boleh banyak mengonsumsi manisan gula-gula dan bermain komputer. Seharusnya saya main sepeda seperti minggu-minggu sebelumnya. Tetapi tante dan sepupu terus memanjakan saya dengan bayak permainan hingga saya tertidur. Dan saya masih ingat, tidur sore saya saat itu, ada Papa datang ke dalam mimpi.
Karena Ibu dan kedua kakak saya sibuk di rumah sakit dan saya masih terlalu kecil untuk ada di sana, saya dititipkan di rumah sepupu. Kami bermain The Sims sepanjang hari dan banyak sekali makan. Ini melanggar aturan karena saya seharusnya tidak boleh banyak mengonsumsi manisan gula-gula dan bermain komputer. Seharusnya saya main sepeda seperti minggu-minggu sebelumnya. Tetapi tante dan sepupu terus memanjakan saya dengan bayak permainan hingga saya tertidur. Dan saya masih ingat, tidur sore saya saat itu, ada Papa datang ke dalam mimpi.
"Besok, akan Papa ajak kamu ke tempat yang paling sunyi, sekaligus paling ramai. Asal janji satu hal."
"Apa?"
"Tidak boleh menangis. Tidak boleh merasa sepi."
"Papa ikut?"
Tetapi sebelum Papa menjawab, saya terbangun. Dan bukan lagi di kamar, sudah masuk di dalam mobil, entah siapa yang menggendong. Waktu saya tanya mau ke mana, ada banyak ekspresi tidak mengenakkan di wajah semua orang dalam mobil.
"Mau ketemu papamu," jawab paman saya. Ah, Papa sudah sembuh dan akan menunaikan janjinya, pikir saya saat itu. Atas perasaan senang itu, saya memilih tidur lagi sepanjang perjalanan, meski dada saya rasanya sesak dan darah dalam badan saya seperti berdesir dengan cepat ke bawah, membuat lemas. Intuisi saya berkata, pasti ada sesuatu, tetapi saya tidak bisa menerjemahkannya.
Hari sudah gelap waktu mobil berhenti. Ketika dibangunkan, saya ingat kalau kaki saya menginjakkan kaki di rumah nenek, bukan di rumah sakit. Dan penuh mobil-mobil berjejer sepanjang jalan, berhiaskan bendera kuning yang saya lupa berapa jumlahnya. Di rumah nenek ramai sekali, sampai saya menggengam erat tangan tante, takut pada orang-orang yang tak saya kenal. Namun, ketika saya melewatinya, mereka satu-persatu menciumi saya sebelum masuk ke dalam rumah, dan sesampainya di ruang tengah saya lihat Papa tertidur berbalut kain yang kain lapisan paling atasnya bergerak-gerak karena kipas angin di langit-langit.
Di sebelahnya saya lihat kedua kakak saya sedang duduk, menunduk, sambil terus menatap wajah Papa.
Di sebelahnya saya lihat kedua kakak saya sedang duduk, menunduk, sambil terus menatap wajah Papa.
Katanya tante, Papa sudah meninggal.
Ibu pun entah ada di mana.
Saya menangis sepanjang malam meski tidak mengerti apa itu meninggal. Saya buka kamus dan tetap tak mengerti maksudnya berpulang. Tetapi saya tetap menangis dan tak mau tidur sedetik pun. Sampai esok harinya, ketika ada mobil putih dengan sirene yang terdengar memuakkan itu membawa Papa, kami sampai di satu tempat. Ibu bilang, namanya permakaman –sebuah tempat untuk mengubur orang-orang yang telah berpulang. Kepala saya menjadi sangat pusing entah karena tidak tidur semalaman, atau karena menangis telalu dalam, atau karena otak saya mengingat kata-kata Papa, 'tidak boleh menangis, tidak boleh merasa sepi.'
Hari itu juga saya tahu, adalah permakaman, tempat yang paling sunyi sekaligus paling ramai. Dan papa benar. Saya saat itu belum cukup usia untuk datang ke sana. Sebab ketakutan mulai menjalari urat nadi saya, membuat sekujur tubuh gemetar. Pun perasaan sunyi seperti ribuan semut rang-rang yang menggigit isi kepala saya. Saya takut sekali, dan tiba-tiba menjadi orang yang merasa paling kesepian di dunia ini. Saya benci permakaman karena ketika datang, seluruh bahagia saya terhisap habis.
~
Lima belas tahun kemudian, saya beranikan diri untuk datang lagi. Saya tidak pernah berjanji pada Papa untuk tak menangis ketika datang, sebab saya selalu menangis berada di tempat itu meskipun usia saya sudah kepala dua. Dan ya, tempat itu menjadi salah satu tempat terbaik untuk bernostalgia tentang kenangan-kenangan serta harapan yang belum dilakukan.
Saya merasa sepi saat itu, tapi saya tahu di permakaman, saya tak sendiri. Ada ribuan mayat di dalam kubur, yang meminta doa-doa kami ; doa anak shaleh dan shalihah. Sekarang pun saya akan mulai membiasakan diri datang untuk bernostalgia. Dan saya akan melanggar pesan Papa bahwa, “Ketika datang ke tempat yang paling sunyi, sekaligus paling ramai, kamu tidak boleh menangis, tidak boleh merasa sepi.”
Saya akan selalu menangis, di pusaramu, Pah.
_____
Ps.
1/ 941 words including tittle, without footnote.
1/ 941 words including tittle, without footnote.
2/ diikutsertakan dalam #CoupleGiveaway
3/ *update* Tulisan ini terpilih sebagai pemenangnya, alhamdulillah.
jadi ikutan nangis
ReplyDeletekenangan terindah tak selamanya berisikan canda tawa. Ada kalanya tangis itu meluap tak terkira.
ReplyDeleteuntuk ayah yang sudah di tenang disana, aku selalu merindukan mu di setiap malam ku. Aku selalu menyebutmu dalam doa indah ku.
ijinkan aku mengenangmu dalam suka dan duka. Ijinkan aku mencari pengganti mu di kehidupan ku yang akan datang.
untuk ayah tercinta, cintaku padamu takkan pernah usai sekalipun kita tak menghirup udara di tempat yang sama.
Ayah.
Buat ka uni.
Jadi sedih....
ReplyDeleteUniiii, baru sempat baca posting ini. Aku meleleh.
ReplyDeleteAir mataku ingin menetes. Dadaku sesak. :(
ReplyDeleteKenapa gue baca beginian malem-malem? Di kamar suasana sunyi dan sendiri. Tiba-tiba keinget adik gue. :(
:')
ReplyDeleteAwesome, dza !!! ������
ReplyDelete:') sambil denger muteside - afterain
ReplyDeletepas bener nada awalnya