Wilujeng Enjing, Ambu.
Maaf kalau kemarin aku tak mengirimu surat yang seharusnya sudah menjadi rutinitasku. Aku kemarin menulis untuk temanku, dan urusan melapor polisi, sudah kubatalkan. Sepertinya lebih baik mencari sendiri. Berdua denganmu. Bertiga dengan Tuhan. Kau pasti mengerti, sebab polisi tidak dapat dipercaya. Polisi pun sering tak percaya pada malam ; ia berpatroli mencari apa saja yang mencurigakan. Mereka juga tak percaya pada siang ; lalu-lalang di setiap lalu-lintas. Mereka tak percaya pagi ; memilih untuk apel pagi dan membiarkan pagi pergi begitu saja. Kadang mereka takut marahabaya ; makanya mereka membawa pistol untuk antisipasi. Dan karenanya aku jadi malas meminta tolong pada mereka. Nah, setelah membtalkan niatku ke kantor polisi, aku memutuskan untuk duduk sebentar di jembatan Sukasari sambil menuliskan surat ini.
Oh ya Ambu, aku sempat bertemu teman Zi, sebut saja D. Dia bercerita seadanya dan tidak ada yang spesial, kecuali satu hal, saat dia bilang kalau aku harus segera menemukan Zi sebelum terlambat.
Kami yakin Zi masih hidup.
Ambu, hari itu aku tahu, adalah retak, yang lebih menyakitkan dari hati yang patah. Kau tahu betapa menyedihkannya ketika diambang kehancuran sekaligus berusaha bertahan untuk tetap utuh? Sungguh itu tidak mudah. Dan putus asa, adalah yang lebih menyeramkan dari amukan amarah yang meluap-luap. Sebab marah adalah salah satu emosi yang masih memiliki semangat, sementara putus asa artinya menyerah. Benar adanya, bahwa setiap orang punya masalahnya sendiri, macam-macam, dan hanya bisa diselesaikan oleh orang yang bersangkutan. Tetapi Zi, perempuan yang masih saja hilang kabarnya, dia takut sekali berhadapan dengan masalah, takut hati retaknya hancur berkeping-keping, takut berserakan, dan dia tak bisa lagi membuat hatinya utuh, sungguh takut. Dan karenanya, ia putus asa.
Ini bukan soal urusan cinta atau masalah sepele. Beban hidupnya semakin berat dan karena ia diam, tidak berani maju, tak bisa mundur, malah menjadikan msalah yang datang kepadanya semakin bertumpuk. D bilang, Zi bukan seperti ini. Dia selalu bisa menyelesaikan masalah dengan baik, dia selalu pandai mencari sebuah solusi, dia begitu ahli mencari jalan keluar, kecuali masalah satu ini, yang tidak dapat kuceritakan.
Ambu, jemariku ingin sekali mengetik semua permasalahan Zi yang menyedihkan ini, tetapi sungguh aku tak mampu menuliskannya. Ia dikecewakan berkali-kali, diberi harapan, kemudian dicampakkan, dan begitu saja seterusnya, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menjauh.
Ambu, bolehkah aku menggugat Tuhan, mengapa masalah yang datang pda Zi harus seberat ini, bolehkah?
Setidaknya Tuhan mampu mendengar :)
BalasHapus