Di luar sedang hujan deras, dan angin yang kencang sedang menghancurkan beberapa atap rumah, juga mematahkan batang pohon hingga rubuh menutupi jalan. Sementara itu, saya di dalam memilih untuk berdiam diri, merenung, memikirkan kenapa akhir-akhir ini mengalami banyak hal buruk, salah satunya gagal sidang yang seharusnya dilakukan pada tanggal 10 kemarin. Lantas saya memutuskan untuk menuliskan hasil renungannya. Saya tahu, menulis ini sama saja dengan memancing airmata saya keluar. Tapi tak apa, yang penting kamu membaca tulisan ini sampai tuntas.
1/
Bicara soal kegagalan, ini terkait tentang saya yang sedang berhenti –tidak-maju-dan-tidak-mundur- dalam menghadapi skripsi. Barangkali saya tidak akan pernah tahu proses pengerjaan skripsi yang sebenarnya. Saya pun tak berminat untuk tahu bagaimana kalian mendapat gelar sarjana dan mengatakan menikmati prosesnya. Sebab apa yang saya alami tidak seperti yang teman-teman ceritakan. Saya tidak menikmatinya dan begitu bingung.
2/
Suatu siang di ruang dosen, saya diminta menghadap dosen pembimbing jika saya sudah menyelesaikan bab satu sampai empat, dalam keadaan judul belum di acc, belum tahu teori mana yang mesti saya pakai, dan ragu untuk mengambil korpus sebagai bahan penelitiannya. Saya buta arah namun harus bisa berjalan. Sendirian. Saya benar-benar tidak tahu harus melakukan apa dan bertanya pun tidak dapat saya lakukan. Suatu waktu, hari selasa di bulan Oktober, saya menyempatkan diri bertemu Danis.
padanya saya ceritakan segala kegelisahan, seperti yang saya ceritakan di atas. Dia bertanya beberapa hal semacam sampel, responden, teori, pun materi, yang tidak bisa saya jawab dan membuat saya sempurna terlihat bodoh. Alih-alih memberikan sebuah solusi, dia balik cerita tentang hambatannya dalam membuat skripsi, yang ternyata jauh lebih rumit dari saya. Dia cerita bagaimana seharusnya membuat skripsi, dan saya jadi tahu, Tuhan sengaja mempertemukan kami untuk membuka mata saya bahwa masalah yang saya hadapi bukanlah beban berat. Saya pun ingat Alquran menyebutkan dalam surah Al-Insyirah “Sesunguhnya setelah kesulitan, ada kemudahan,” .
Sebelum pulang, dia merekomendasikan saya membaca sebuah antologi cerpen berjudul Fiksi Lotus, dan di sana saya menemukan cerpen O Henry berjudul The Gift of The Magi yang kemudian saya pakai sebagai materi penelitian. Saya mulai bersemangat mengerjakan dan kurang dari sebulan telah menyelesaikan semuanya dengan baik. Dibantu dengan arahan kakak saya, semuanya bisa rampung. Dan kabar untuk sidang pun datang. Saya katakan pada ibu saya akan sidang tanggal 10, lalu keluarga menyambut dengan kalimat "oke, kita wisuda pakai baju apa?" atau "setelah ini mau kerja apa?" yang akhirnya malah membuat saya semakin bersalah, sebab seminggu menjelang sidang, skripsi saya belum juga di acc. Dengan berbagai hal yang tidak mampu saya ceritakan, akhirnya saya tidak bisa sidang.
Sebentar, nangis dulu. :’(
3/
Untuk menutupi kesedihan tersebut, saya menguburnya dengan menjadi lebih ramai, lebih cerewet, dan lebih centil ke sana kemari, berusaha mengundang tawa agar lesap seluruh kekecewaan, dan di grup @bookaholicfund itulah, yang setiap detiknya menghadirkan tawa. Masih belum puas, saya meracau ke Rara. Menumpahkan apa saja entah dia mengerti atau tidak. Bukankah kita butuh teman perempuan untuk berbagi? dan Rara bisa membuat saya sedikit lebih lega melalui gosip-gosip yang ringan. Tapi memang saya nya yang gampang kepikiran dan mudah menyerah, rasa sedih ini masih bersemayam. Menyesakkan sekali saat kita melihat wajah keluarga yang akhirnya kecewa dan saling diam, memutuskan untuk tidak membahasnya. Kondisi ini membuat saya iri kepada teman-teman yang sudah sidang. Membuat saya memutuskan kontak dengan mereka karena saya tidak mau melihat mereka sukses dan saya gagal. Biarlah kami masing-masing untuk sementara ini.
Saya gagal.
Saya menyerah.
Dan putus asa.
4/
Tapi ada suatu kesempatan di mana saya bisa berbincang dengan Masya, dan dia bercerita. Bahwa dia pernah mengalami hal serupa dengan saya, tentang kesiapannya menuju sidang tetapi gagal ikut. Dia bercerita tentang alasan, sebab, akibat, dan segala pengalamannya saat itu, membuat saya semakin berpikir bahwa yang saya alami tidaklah seberapa. Membuat saya berkaca 'kalau dia saja akhirnya bisa, kenapa saya tidak?'
5/
Dan ada seorang kawan, yang padanya lah saya ceritakan semua tanpa ada yang terlewat, yang dengan kesabarannya, dengan seluruh kata-katanya yang tidak menggurui, mampu membuat saya tidak panik lagi, tidak bersedih lagi. Menjadikan saya berpikir bahwa gagal bukan karena saya tidak mampu, tapi karena memang belum waktunya. Dia membuat saya yakin bahwa saya tidak sebodoh yang saya pikirkan. Dia menyadarkan bahwa saya harus bisa menghargai diri sendiri di atas segalanya. Selang beberapa hari, saya secara tidak sengaja membaca tulisan lamanya di blog, tentang kenapa ia sampai saat ini belum juga menyelesaikan skripsinya. Kutipan tulisannya di bawah ini menyadarkan saya, hidup memang tidak selamanya berjalan sesuai rencana.
“Mungkin seperti itulah hidup ini, terkadang hujan terlalu deras, dan kita yang terlalu kecil untuk menadah tetesannya satu per satu. Mungkin sudah setengah jalan dan kemudian terjebak hujan lebat di tengah perjalanan. Kemudian kelelahan dan kedinginan. Mungkin seperti itulah hujan, sebanyak apapun manusia yang menemani di sekeliling, tak pernah mengurangi rasa dinginnnya, atau tetesannya untuk berkurang. Yang bisa kita lakukan hanya terus menerobos, atau kemudian hanyut dalam kuyup. Ah, begitulah kawan. Terlalu realistis membuat kita menjadi pesismis, dan terlalu banyak bermimpi hanya membuat kita menjadi orang gila.”
6/
Saya mulai mencoba bangkit. Kita tentu saja tidak boleh sedih berlarut-larut. Saya akan kembali memperbaiki skripsi saya biar lebih sempurna. Dan cara saya untuk melepas kekecewaan ini dengan memperbanyak aktivitas. Alhamdulillah, selama sedih ini ini saya mendapat kabar baik memenangkan lomba juara satu #PestaFF milik @nbc_ipb dan saya dapat kesempatan bekerja tiga hari di suatu acara. Jadi, kesedihan saya hilang begitu saja setelah mendapatkan uang dari dua kegiatan tersebut :D . Hari ini saya tahu, kelulusan bukan hanya soal gelar akademis.
Kelulusan juga bisa di-tes lewat ujian hidup yang kita alami. Saya sedang diuji, Tuhan sedang melihat bagaimana saya menyikapi ujian ini. Saya belajar banyak hal. Betapa saya terlalu sibuk mengejar suatu hal, tetapi lupa untuk menghargai kerja keras yang telah saya lakukan. Betapa saya terlalu sering memaki diri saya bodoh padahal saya tahu saya mampu. Saya gagal sidang, iya. Tapi saya tidak akan menyerah. Dalam kasus tersebut, saya anggap saya telah lulus menghadapi ujian hidup. Sekarang saya akan mempersiapkan diri untuk ujian akademis.
_____________________________________
Nb
2. 988 words, 6 page, tanpa judul dan catatan kaki.
3. Thanks a lot to my beloved friends : all kru @bookaholicfund , member of @lovaboration , and a person that I wouldn’t put his account twitter.
Katanya, kegagalan adalah sukses yang tertunda :)
BalasHapusTanpa merasa gagal, kita tak akan mau mencoba lagi dan lagi dan lagi hingga berhasil.
Semangaaat :)
Aku bis mengambil kesimpulan dari cerita uni di atas bahwa, kita mungkin gagal di satu hal tapi tidak di hal lain. Memang benar kegagalan itu adalah sukses yang tertunda, dan tanpa adanya kegagalan kita tidak akan bisa belajar. Seperti juga Einstein , beliau melakukan banyak sekali kegagalan, tapi belajar untuk tidak mengulangi penyebab kegagalan tersebut.
BalasHapusSukses uni untuk GA nya.
Inspiratif banget artikelnya.
BalasHapusGood luck di GA ini ya.
aku ga sanggup selesaiin bacaannya. baru baca sampe poin 2 dan kamu sudah menemukan orang seperti danis yang akhirnya membuka jalan pikiran kamu. lah aku, aku sama banget dengan kamu yang di poin pertama tapi aku sampe sekarang belum bisa ngelanjutinnya. aku nangis baca poin ke 2 kamu dan aku gabisa sanggupin baca sampe poin selanjutnya. selamat ya.
BalasHapus