1/
Kita telah belajar untuk dewasa, dan mulai tumbuh keriput-keriput di titik di mana dulu selalu kita lihat di wajah nenek, atau di wajah tante yang tertutup polesan foundation. Kita menertawakan betapa lucunya muka seseorang yang penuh keriput ; matanya menyipit ketika tertawa, dan banjir guratan di dahi serta di sudut mata. Tanpa sadar, sekarang itu telah terjadi pada kita. Tapi kita tak bisa menyalahkan siapa-siapa karena memang tak pernah ada yang merampas waktu yang kita miliki, kecuali perasaan egois yang akhirnya berhasil kita bebat.
2/
Kita mulai beranjak tua, dan sesekali menghabiskan waktu bersama di depan teras rumahmu, menikmati es jeruk seraya bernostalgia tentang masa kanak-kanak yang terlalu berharga untuk dibuang dalam ingatan. Dan tiap-tiap kita bercerita, kita sadar, telah banyak waktu yang terisi dengan rasa-rasa yang teramat menyakitkan. Kita pernah tumbuh dalam perasaan ketakutan akan hal-hal yang tidak pasti; tentang bagamaina kehidupan kita setelah ini, tentang bagaimana masa depan kita kelak, tentang mengapa Tuhan kadang berlaku seperti ini pada kita, dan tiap-tiap dipikirkan, semakin tumbuh perasaan cemas, emosi, penuh sesal. Alih-alih menerima kenyataan, kita akhirnya tumbuh menjadi dewasa dalam diam. Saling menutup perasaan dan bersikap seolah tidak ada beban dalam pikiran. Kita mulai menyibukkan diri pada aktivitas masing-masing, sesibuk mungkin bahkan tak sempat istirahat, agar lupa masa-masa sedih berkepanjangan yang pernah mampir di kehidupan kita. Kita tahu ada sesuatu yang salah karena kita terus hidup dengan membiarkan gengsi tumbuh di hati. Ketika sadar, waktu telah berputar cepat, mempertemukan kamu dalam keadaan telah berbeda dari yang kukenal sebelumnya. Waktu tak mau melambat, seakan menertawakan kebodohan kita karena telah menyia-nyiakan waktu.
3/
Kita telah menua dan segalanya telah berubah. Seperti yang dikatakan seorang saudara bahwa roda berputar, ya, roda berputar. Kamu tentu tak akan lupa betapa aku yang begitu galak, manja, egois, dan ceroboh di rumah, bisa menjadi begitu berbeda di hadapan orang lain. Aku diselimuti perasaan ketakutan sepanjang tahun. Takut orang lain benci, takut dijauhi, takut tidak diterima lingkungan, takut atas kekurangan yang kumiliki, takut akan segala hal. Dan parahnya aku hidup di bawah bayang-bayang kamu. Bayang-bayang di mana orang lain tidak pernah sadar keberadaanku kecuali kalau ada kamu. Bayang-bayang di mana selalu ada kamu setiap aku butuh, sampai detik ini, sampai di titik di mana aku harus menyelesaikan skripsi demi kelulusanku. Dan masih kamu, yang ada di belakangku. Mestinya kamu tahu pengasinganku ini karena aku ingin mencoba berjuang sendiri, membuktikan pada semua orang tentang kemampuanku, tapi nihil. Aku masih menjadi 'aku' yang manja dan tak bisa melakukan apa-apa sendiri. Atau lebih tepatnya, aku tak percaya dengan kemampuanku, dan orang lain pun tak percaya aku memunyai kemampuan. Sehingga masih ada kamu, yang dengan sabar memberi arah agar aku tak salah langkah.
4/
Kita ingin mati muda. Pernah suatu malam kita berbincang tanpa ragu. Seperti yang sudah-sudah, rasa takut menggerogoti kita begitu lama, dan perasaan takut akan kesendirian menjadi salah satu alasan untuk mati muda. "Agar ada yang mendoakanku," begitu katamu. "Aku lebih dulu, aku tak mau sendiri," balasku cepat. Perihal kematian sudah kita bicarakan belasan tahun lalu, tapi sekarang kita bersyukur masih bisa saling menatap dan bertegur sapa setiap malam sebelum tidur.
5/
Kita sudah menjadi 'orang tua' di masa ini, tapi masih belum bisa mengerti kemauan 'orangtua' yang begitu rumit inginnya. Kadang aku kalut, betapa beliau tak bisa membaca kelebihanku, dan selalu menuntumu untuk melakukan hal yang lebih dari yang sekarang ini. Mengapa orangtua menjadi penuntut dan melupakan apa yang sedang anaknya capai dengan susah payah? Apakah kelak nantinya kita akan menjadi orangtua yang seperti itu?
6/
Kita akan renta, dan sedang menikmati roda kehidupan yang kita alami. (Hanya kamu yang) Telah berhasil membunuh perasaan takut dan cemas, kita pun memutuskan untuk bersyukur dan besyukur tiap saat. Tetapi, kamu dan aku tetap dua orang yang berbeda dalam nasib serta pilihan jalan yang ditempuh. Kamu terlihat begitu bahagia dengan apa yang ada dalam hidupmu, sukses atau belum entah. Aku tak berani mengukur kesuksesan. Sementara aku, baru saja akan memulai perjalananku, detik ini. Kita akan berbeda arah, pisah langkah, dan biarkan doa yang terus mengikat kita.
Mari menjadi tua bersama-sama, dan saling menguatkan satu sama lain dengan bersedekap dalam doa. Terima kasih selama ini selalu ada untukku.
___________________________________
Stasiun Pasar Minggu,
Dalam hiruk pikuk yang begitu menyesakkan. Barangkali di antara kerumunan ini bisa kutemukan sebuah alat untuk membunuh rasa takut.
kalimat terakhirnya langsung nancap gitu yaa
BalasHapusHehe, kata terakhir itu universal kok, bisa untuk keluarga atau teman
Hapuswaduh kata2 motivasi nya menyentuh sekali mbak
BalasHapusHihi thanks :)
Hapus