Bunga-bunga kertas bermekaran. Oranye, merah, putih, tiga warna yang tersedia dalam satu akar. Hasil persilangan membuat pohon ini terlihat cantik. Ini menandakan, sudah saatnya musim semi.
Dulu, entah tahun keberapa, pada musim seperti ini, kita saling melempar senyum, memberi tanda bahwa ketertarikan antara kita itu nyata. Kemudian kita menghabiskan malam-malam bersama dengan berdiskusi, di salah satu tempat favorit. Berupa pembatas jalan (atau hiasan?) yang tersedia di tengah-tengan pertigaan jalan. Pembatas kecil yang di tengahnya ada rerumputan, disertai dengan tulisan nama kota dan dipagari dengan tembok semen. Pada tembok semen setinggi paha itulah, kita duduk.
Berlama-lama di sana adalah ilegal, tapi kita tetap melakukannya, seraya menatap bangunan di sebrang jalan yang sudah hangus karena kebakaran yang menyisakan dinding-dinding dengan cat berkelupas. Polisi yang berpatroli di beberapa malam memergoki kita, memarahi untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Sopir-sopir melotot tajam, memaksa untuk menaiki angkutan mereka, orang gila yang lewat mencemooh adanya kita di sana, Tapi kita bergeming, memutuskan untuk tetap duduk meskipun sirene polisi berbunyi bising. Toh, kita tidak melakukan hal asusila dan sejenisnya, hanya duduk lama, menatap bangunan rapuh yang tidak bisa kita kunjungi. Bangunan itu serupa hubungan kita beberapa tahun kemudian. Hangus, rapuh, dan terabaikan.
Aku duduk kembali di pembatas pertigaan jalan ini, sekarang. Melihat bunga-bunga kertas yang tanpa malu merekah, di atas kelopaknya menempel bulir hujan yang masih rintik. Membuat titik-titik kecil di pakaianku. Dulu, kalau hujan begini, kamu akan membuka tas dan mengeluarkan jaket, memasangkan asal di badanku. "Yang penting baju kamu nggak kebasahan," katamu dulu.
"Kenapa malah memikirkan bajuku?"
"Karena aku tahu tubuhmu sehat. Tidak akan sakit kalau hujan-hujanan."
"Lalu kenapa memasangkan jaket?"
"Karena nanti bajumu bisa kebasahan. Kamu suka kebersihan, kan. Nggak mau basah-basahan. Air hujan kotor."
Itu alasanmu. Bukan alasan yang jujur. Aku tahu kamu khawatir -mungkin takut. Aku pernah berminggu-minggu demam tinggi karena kehujanan, saat menunggumu di pembatas jalan yang tak beratap ini.
Itu dulu sekali. Setelah beberapa bulan berselang, setelah kita berpisah, aku tahu kamu tidak pernah kemari lagi. Bahkan kamu tidak akan tahu kalau cat tembok pembatas semennya sudah berganti menjadi hijau terang. Dan kamu tak akan pernah tahu percakapanku dengan polisi patroli malam beberapa waktu lalu. Dia menanyakan mengapa aku sendiri, tanpamu. Kukatakan padanya, aku pun sedang bertanya-tanya, ada di mana kamu. Dia bilang, melihatku sendiri seperti ini membuatnya teringat sang istri di rumah. Aku bilang, duduk berduaan dengannya di pembatas semen ini membuatku teringat padamu. Hening. Kami berdua duduk tanpa bercakap lagi, aku memainkan jemari. Polisi itu menatap sepatunya. Kami bersedih untuk alasan yang berbeda.
Sepulang aku dari sana, kudapati ponselku kedapatan sebuah pesan baru, dan foto kita berdua terlihat di layar. Aku belum sempat mengganti foto kontakmu, aku belum punya waktu -atau sebenarnya aku enggan menggantinya. Kau menuliskan pesan seolah-olah kita teman curhat yang tidak ada apa-apanya. Seakan-akan pacar barumu tidak tahu siapa wanita yang pernah ada di hatimu sebelum dia. Tak apa. Aku senang melihat (atau mendengar) kamu baik-baik saja, terlihat lebih bahagia dengannya. Tapi, aku lebih senang lagi karena, ternyata (untuk sementara waktu) aku bisa baik-baik saja melihat kabarmu di pesan itu.
Aku senang mengetahui kamu tidak pernah merasa menyesal meninggalkanku, dan senang kamu bisa menemukan yang lebih baik dariku. Namun, jika boleh aku memberi kabar padamu, kukatakan bahwa aku tidak bisa melakukan hal yang sama sepertimu. Aku masih sendiri, dan menutup rapat-rapat hati ini.
"Carilah yang lebih baik dariku,"
Katamu pada suatu hari. "Begitu pun kamu, semoga dapat yang sempurna seperti maumu," balasku.
Berikutnya selang beberapa minggu, kita kembali bertemu tanpa disengaja. Bukankah dunia terlalu sempit hingga kita harus bertemu terus-menerus? Kamu tak lagi melempar senyuman penuh arti, hanya sekadar menundukkan kepala pertanda salam. Hebatnya hatiku ini, dia tak lagi bergetar, tak mau lompat, dan tidak juga pedih. Dia sepertinya mengeras.
"Lupakan aku. Kamu akan baik baik saja tanpaku,"
Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutmu. Aku tersenyum singkat dan dengan (berusaha) setenang mungkin, kukatakan padamu :
"Aku tidak akan bisa baik-baik saja, aku sudah hancur. Seperti gedung yang sering kita lihat dulu. Aku sudah hangus. Tapi kalau kamu bahagia bersamanya, aku ikut senang."
Kemudian kamu berlalu. Begitu saja.
Aku ingin sekali berdoa agar dikuatkan tapi aku malu pada Tuhan. Aku tak ingin Tuhan menertawaiku karena aku menyesali perbuatan bodohku yang ; sesal betapa aku salah mencintaimu terlalu dalam.
Lantas, aku ingin menghina, memaki, dan mengutuk semuanya, tapi aku masih malu. Aku takut Iblis terkekeh-kekeh melihatku yang begitu dungu menyayangimu.
Dan kuputuskan untuk menuliskannya. Ah, persoalan ini begitu sepele. Tapi mengapa selalu memenuhi ruang pemikiranku?
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)