Dear, (kak) Vanda.
Aku seorang buronan.
Sebelum aku menjadi tersangka kemudian dibekuk untuk dijebloskan ke dalam sel, aku ingin menyempatkan diri bercerita padamu.
Aku senang sekali bersahabat dengan hewan. Di rumahku, ada seekor ikan bawal. Kuberitahu padamu, jangan sekali-kali memelihara ikan bawal. Dia semacam ikan piranha yang mempunyai taring dan suka menggigit. Aku menaruhnya di dalam bak mandi. (Konon, menurut kepercayaan zaman dulu, kita akan terlindungi dari bencana kalau menaruh ikan dalam bak). Sejak kecil bak mandi rumahku selalu ada ikan. Dulu gurame, mas, dan sekarang bawal. Setiap keluarga besar datang ke rumah, mereka memilih memakai shower karena takut serangan si bawal. Ih, ukurannya lebih besar dari telapak tanganku.
Setiap ibuku masuk kamar mandi untuk memberi makan, si bawal akan mengepakkan ekornya di permukaan air, pertanda kenal. Tapi giliran aku yang masuk kamar mandi, dia begitu ekspresif, bahkan pernah meloncat keluar bak. Kata ibu, karena aku tidak pernah memberi makan, dia jadi galak padaku. Pernah suatu kali pasta gigi tercebur ke dalam bak, ketika tanganku masuk ke dalam untuk mengambilnya, dia langsung menyerang kelingkingku, sakit. Berdarah.
Aku cinta semua hewan (hewan yang bola matanya dapat dilihat kasat mata), tapi aku benci sekali dengan bawal. Galak.
Tapi, suatu subuh, ikan bawal rewel sekali, dia ciprak-cipruk dan membuat kerusuhan. Membuatku terbangun dan segera melihat apa yang terjadi. Ternyata, yang kulihat adalah ibuku yang pingsan di depan kamar mandi. Untuk kali ini, aku berterima kasih pada ikan bawal. Dia (ikan bawal) sepertinya sayang sekali pada ibuku.
Jadi, setelah bercerita di atas, aku punya kesimpulan. Hewan itu peka sekali terhadap tuan-nya. Aku jadi berencana untuk memelihara lebih banyak bawal di sini.
Kak, mengenai perkataanku di awal surat, itu bukan sebuah wacana. Aku buronan.
Wakil dekan, dosen mata kuliah, teman-teman, tetangga, orang kantor, banyak lagi yang lainnya, menghubungiku. Menanyakan aku di mana, sedang apa, memintaku untuk ini itu, dan inilah alasan kenapa aku menyebut diriku buronan. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan, tapi tidak untuk minggu ini. Seakan aku (terlihat) lepas tanggung jawab. Padahal bukan begitu mauku. Duh, kak...
Aku pun enggan menjelaskan ke banyak orang, tentang kondisiku yang sebenarnya sedang "sibuk" apa. Kalau kau peka dengan cerita bawalku, tentu kakak paham sistuasinya.
Di surat ini, aku ingin meminta tolong padamu. Doa sebanyak-banyaknya dengan tulus, dengan kasih sayang, mintakan pada Tuhan agar Dia menukar kondisi ini. Biar saja aku yang sakit, jangan ibuku.
Semoga kakak tidak khawatir dengan keadaanku. Tidak perlu mencemaskanku karena aku baik baik saja. Yang penting, kita saling berkabar dan saling mengerti satu sama lain.
Kak, ada cerita apa di sana kak? Apa kotamu masih berselimut debu? Bagaimana rasanya? Ah, andai saja mampu, aku ingin menemuimu di sana. Sedikit saja aku boleh mengeluh, aku ingin katakan bahwa aku jenuh dengan cuaca yang sebentar hujan sebentar panas. Tapi aku akan terus bersyukur, pasti ada semua hikmah di balik kejadian.
Kak, semoga lain waktu aku bisa bercerita lagi padamu. Aku harus cepat-cepat bersembunyi sebelum mereka menemukanku.
Salam sayang,
Uni
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)