Hujan dengan petir sore ini. Airnya yang tumpah ruah dari langit seakan menjebak kita untuk tetap duduk bersama, di sini. Di tempat pertama kali kita bertemu. Di tempat pertama kali kamu memandangku seperti itu. Lama sekali kita berpisah, nyaris setengah tahun. Sejak kejadian di mana kamu merasa sangat menyesal atas perbuatanmu, sejak itu kita menutup diri.
Hujan melumat kesombongan kita sore ini. Menjadi iringan tawa yang pecah saat kamu memulai percakapan. Aku lupa, bahwa kita sempat bermusuhan. Kita tertawa lepas dan mengupas tuntas semua hal. Menyisakan ampas kopi yang baru saja kau teguk bersama masa lalu. Lalu kita terdiam, menatap langit yang kelabu namun tak bisa menutupi cahaya matahari senja ini. Kita berdoa, semoga hujan tak pernah berhenti, agar kita selalu di sini, yang perlahan, kembali merangkai janji.
"Sudah lama ya, berapa lama kita berpisah?"
Kamu bertanya padaNya. Sebenarnya, kamu bertanya padaku tapi kepalamu menengadah pada langit. Aku tidak. Aku malah memanfaatkan kesempatan untuk menatap wajahmu lamat-lamat. Memperhatikan betapa aura mukamu lebih sendu dibanding terakhir kita bertemu. Masalah apakah yang sedang kamu hadapi?
"Lupa. Sudah lama kita nggak begini. Kangen. Banyak banget nih yang harus kita bicarakan."
Kataku yang kemudian ikut menatap langit. Kamu menoleh. Aku tahu itu. Aku membiarkan kamu mengambil kesempatan agar bisa melihatku, lebih lama. Tak lama kamu terkekeh, mengejek.
Aku suka menghabiskan sisa waktuku yang senggang bersamamu. Kamu bisa membungkus bahagiaku dengan cara yang berbeda. Kamu mampu membuatku tertawa tebahak-bahak, dan selalu bisa membuatku tersenyum dari hati. Kamu selalu ada saat aku butuh kapan pun. Beberapa bulan lalu, entah kenapa kita terpisah. Membuat jarak dengan sistematis dan membunuh semua kenyamanan yang kita dirikan bersama.
"Kamu tahu, dulu pas hujan kayak gini, kita pernah nekat hujan-hujanan naik motor."
"Kapan? 'Hujan kayak gini' tuh yang kayak apa?"
Kataku. Mata kita bersitatap. Aku kembali menemukan kamu yang dulu menghilang dariku.
"Iya, dulu. Kayak gini. Hujan yang awet, deras."
"Masa? Memangnya kamu tahu jumlah volume hujan dulu dengan hujan sekarang? Memangnya kamu bisa menghitung jumlah tetes airnya? Hujan dulu dan hujan sekarang itu beda. Sama seperti kita, semua sudah beda. Berubah."
Kataku pelan. Kamu diam, kehabisan alasan. Kenapa? Kenapa kamu menjadi seseorang yang kusambut dengan penuh suka cita ketika aku bersedih? Siapa sebenarnya kamu? Untuk siapa sebenarnya hatimu itu? Hati yang begitu dingin, beku, keras, haus pengetahuan, namun begitu lembut padaku. Aku semakin tidak tahu siapa kamu di mataku. Aku tidak cinta kamu, tidak berharap kamu menjadi pendamping hidup, tidak menginginkan kamu masuk lebih jauh ke dalam hidupku. Tapi aku begitu kehilangan kamu ketika aku tahu satu hal.
"Bagaimana kabar pacarmu, sehat?"
Aku kembali berujar. Ugh, kenapa aku sakit saat menanyakannya? Ya, aku kehilangan kamu sejak itu. Bukankah sebagai seorang sahabat seharusnya aku bahagia, melihatmu bahagia? Jelas, aku bertanya bukan dari hati, hanya kesadaran diri untuk sekadar basa-basi menanyakan pacarmu yang terlihat begitu suci.
"Baik. Dia lagi sakit. Doakan cepat sembuh ya. Sekarang dia lagi sibuk. Doakan dia sehat."
"Samaan ya, kamu juga sakit."
"Iyanih, sama-sama sakit."
"Lagian kamu kurang minum vitamin c, sih"
"..."
"Dia cantik. Sangat cantik..."
Kamu mengangguk, setuju dengan pengakuanku. Lalu kita kembali menatap langit, menyaksikan hujan yang jatuh menyentuh permukaan bumi. Kamu menatap langit penuh dengan tatapan seperti itu. Seperti dulu, saat menjadi saksi ketika air mataku jatuh menghujam tanah. Dan aku selalu bertanya pada semesta, mengapa aku tak pernah tertutup dihadapanmu? Mengapa aku membiarkan kamu mendengarkan tangisku yang pecah sampai sulit berhenti. Pasti aku jelek sekali saat itu. Apa pacarmu sering menangis di depanku seperti aku dulu, yang tak tahu malu cengeng setiap saat ketika bersama kamu?
Dan, ya, tatapanmu dulu dan sekarang tak berubah. Perasaanku juga tak berubah. Entah dengan dirimu. Aku dan kamu sama-sama mencintai orang lain tapi sekali lagi, bisakah kamu bercerita, bagaimana perasaan hatimu terhadapku? Karena setelah ini aku akan bercerita tentang hatiku.
Hujan dengan petir yang saling sahut menyahut, sore ini. Kita berhenti beraktivitas karena masih terjebak oleh hujan, dan perasaan kita semakin terjebak dalam hubungan pertemanan yang aneh. Kenapa kamu mesti kembali lagi dihadapanku? Aku ingat kata-kata penyemangatmu, kalimat-kalimat yang membuatku tersenyum simpul, semua tingkah bodohmu, tingkah anehmu, tingkah laku lain yang bisa kubaca dengan jelas. Kenapa kamu bertingkah seperti itu dihadapanku? Kamu mungkin lupa. Atau tidak sadar. Atau tidak mau mengakuinya.
Aku selalu berharap hujan tak pernah berhenti agar kamu tertahan di sini, juga di hati ini. Tapi kamu berdiri, kemudian permisi karena pacarmu menanti. Sketika wajahku pucat pasi. Tak siap melihatmu pergi.
Hujan memang belum berhenti untuk sekarang, tapi bahagiaku seketika usang.
Aku benci situasi ini. Benci mengingat setiap jengkal yang dilakukan bersamamu. Benci mengakui bahwa kamu punya posisi tersendiri dalam ingatan. Aku tidak menyukaimu dalam takaran yang berlebihan, tapi sosokmu yang tak pernah lesu kadang membuatku merindu.
Hujan semakin deras, dan cemburu mulai menyambar di hati ini.
Hujan melumat kesombongan kita sore ini. Menjadi iringan tawa yang pecah saat kamu memulai percakapan. Aku lupa, bahwa kita sempat bermusuhan. Kita tertawa lepas dan mengupas tuntas semua hal. Menyisakan ampas kopi yang baru saja kau teguk bersama masa lalu. Lalu kita terdiam, menatap langit yang kelabu namun tak bisa menutupi cahaya matahari senja ini. Kita berdoa, semoga hujan tak pernah berhenti, agar kita selalu di sini, yang perlahan, kembali merangkai janji.
"Sudah lama ya, berapa lama kita berpisah?"
Kamu bertanya padaNya. Sebenarnya, kamu bertanya padaku tapi kepalamu menengadah pada langit. Aku tidak. Aku malah memanfaatkan kesempatan untuk menatap wajahmu lamat-lamat. Memperhatikan betapa aura mukamu lebih sendu dibanding terakhir kita bertemu. Masalah apakah yang sedang kamu hadapi?
"Lupa. Sudah lama kita nggak begini. Kangen. Banyak banget nih yang harus kita bicarakan."
Kataku yang kemudian ikut menatap langit. Kamu menoleh. Aku tahu itu. Aku membiarkan kamu mengambil kesempatan agar bisa melihatku, lebih lama. Tak lama kamu terkekeh, mengejek.
Aku suka menghabiskan sisa waktuku yang senggang bersamamu. Kamu bisa membungkus bahagiaku dengan cara yang berbeda. Kamu mampu membuatku tertawa tebahak-bahak, dan selalu bisa membuatku tersenyum dari hati. Kamu selalu ada saat aku butuh kapan pun. Beberapa bulan lalu, entah kenapa kita terpisah. Membuat jarak dengan sistematis dan membunuh semua kenyamanan yang kita dirikan bersama.
"Kamu tahu, dulu pas hujan kayak gini, kita pernah nekat hujan-hujanan naik motor."
"Kapan? 'Hujan kayak gini' tuh yang kayak apa?"
Kataku. Mata kita bersitatap. Aku kembali menemukan kamu yang dulu menghilang dariku.
"Iya, dulu. Kayak gini. Hujan yang awet, deras."
"Masa? Memangnya kamu tahu jumlah volume hujan dulu dengan hujan sekarang? Memangnya kamu bisa menghitung jumlah tetes airnya? Hujan dulu dan hujan sekarang itu beda. Sama seperti kita, semua sudah beda. Berubah."
Kataku pelan. Kamu diam, kehabisan alasan. Kenapa? Kenapa kamu menjadi seseorang yang kusambut dengan penuh suka cita ketika aku bersedih? Siapa sebenarnya kamu? Untuk siapa sebenarnya hatimu itu? Hati yang begitu dingin, beku, keras, haus pengetahuan, namun begitu lembut padaku. Aku semakin tidak tahu siapa kamu di mataku. Aku tidak cinta kamu, tidak berharap kamu menjadi pendamping hidup, tidak menginginkan kamu masuk lebih jauh ke dalam hidupku. Tapi aku begitu kehilangan kamu ketika aku tahu satu hal.
"Bagaimana kabar pacarmu, sehat?"
Aku kembali berujar. Ugh, kenapa aku sakit saat menanyakannya? Ya, aku kehilangan kamu sejak itu. Bukankah sebagai seorang sahabat seharusnya aku bahagia, melihatmu bahagia? Jelas, aku bertanya bukan dari hati, hanya kesadaran diri untuk sekadar basa-basi menanyakan pacarmu yang terlihat begitu suci.
"Baik. Dia lagi sakit. Doakan cepat sembuh ya. Sekarang dia lagi sibuk. Doakan dia sehat."
"Samaan ya, kamu juga sakit."
"Iyanih, sama-sama sakit."
"Lagian kamu kurang minum vitamin c, sih"
"..."
"Dia cantik. Sangat cantik..."
Kamu mengangguk, setuju dengan pengakuanku. Lalu kita kembali menatap langit, menyaksikan hujan yang jatuh menyentuh permukaan bumi. Kamu menatap langit penuh dengan tatapan seperti itu. Seperti dulu, saat menjadi saksi ketika air mataku jatuh menghujam tanah. Dan aku selalu bertanya pada semesta, mengapa aku tak pernah tertutup dihadapanmu? Mengapa aku membiarkan kamu mendengarkan tangisku yang pecah sampai sulit berhenti. Pasti aku jelek sekali saat itu. Apa pacarmu sering menangis di depanku seperti aku dulu, yang tak tahu malu cengeng setiap saat ketika bersama kamu?
Dan, ya, tatapanmu dulu dan sekarang tak berubah. Perasaanku juga tak berubah. Entah dengan dirimu. Aku dan kamu sama-sama mencintai orang lain tapi sekali lagi, bisakah kamu bercerita, bagaimana perasaan hatimu terhadapku? Karena setelah ini aku akan bercerita tentang hatiku.
Hujan dengan petir yang saling sahut menyahut, sore ini. Kita berhenti beraktivitas karena masih terjebak oleh hujan, dan perasaan kita semakin terjebak dalam hubungan pertemanan yang aneh. Kenapa kamu mesti kembali lagi dihadapanku? Aku ingat kata-kata penyemangatmu, kalimat-kalimat yang membuatku tersenyum simpul, semua tingkah bodohmu, tingkah anehmu, tingkah laku lain yang bisa kubaca dengan jelas. Kenapa kamu bertingkah seperti itu dihadapanku? Kamu mungkin lupa. Atau tidak sadar. Atau tidak mau mengakuinya.
Aku selalu berharap hujan tak pernah berhenti agar kamu tertahan di sini, juga di hati ini. Tapi kamu berdiri, kemudian permisi karena pacarmu menanti. Sketika wajahku pucat pasi. Tak siap melihatmu pergi.
Hujan memang belum berhenti untuk sekarang, tapi bahagiaku seketika usang.
Aku benci situasi ini. Benci mengingat setiap jengkal yang dilakukan bersamamu. Benci mengakui bahwa kamu punya posisi tersendiri dalam ingatan. Aku tidak menyukaimu dalam takaran yang berlebihan, tapi sosokmu yang tak pernah lesu kadang membuatku merindu.
Hujan semakin deras, dan cemburu mulai menyambar di hati ini.
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)