Seseorang mengetuk pintu, perlahan langkah kakinya masuk menuju tempatku duduk di ujung ruangan. Ia seorang jurnalis muda dan berbakat sekaligus tetanggaku, dan ia datang sendirian.
"Bu? sehat? bisa ingat aku?"
Ia menaruh sebuah bungkusan ke atas meja yang terletak di sebelah tempat tidur, bibirnya melengkung, memberikan senyuman yang paling baik menurutnya. Aku mengangguk, tentu saja aku mengingatnya, dia Ruspita. Anak tetangga yang kasar, pemalas, egois, suka membangkang pada orang tua dan kekasihnya, tapi parasnya cantik bukan main dan ia selalu bisa bersikap manis jika di luar rumah, bahkan mendapat gelar sebagai jurnalis berbakat di salah satu media.
"Aku kesini mau wawancara Ibu, jadi aku datang bukan sebagai tetanggamu. Bisa kita mulai?"
Aku mengangguk lagi. Dua jam yang lalu anakku Kiki mengabarkan akan ada seorang jurnalis yang ingin mewawancaraiku atas apa yang telah terjadi. Tak kusangka, orangnya adalah Ruspita, anak yang tak tahu bagaimana caranya menghormati orang tua.
"Jadi bu, bisa di ceritakan, bagaimana kejadiannya Ibu bisa terkena air keras di wajah ibu? Suami ibu benar-benar tak tahu diri ya,"
Ruspita kembali berujar. kali ini ia sudah mengeluarkan catatan andalannya, beserta seperangkat media perekam. Aku tersenyum lemah, sungguh anak itu harus banyak belajar tentang hidup.
"Aku akan ceritakan semuanya, Ita. Semuanya, tanpa ada yang dikurangi, bahkan hal yang seharusnya tidak boleh di ketahui oleh media manapun, aku akan ceritakan padamu. Tapi berjanjilah satu hal,"
Aku menatapnya. kuperbaiki posisi dudukku agar aku bisa bercerita dengan baik. Ita menurunkan alat tulisnya, balas memandangku.
"Apa?"
"Berjanjilah untuk selalu bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian."
Ita diam sebentar, lalu mengangguk pelan, tak begitu yakin.
"Memang, apa yang terjadi sampai Suami ibu begitu?"
"Ya... terjadi saja. Ia pulang telat, kecapaian dan ia meminta kopi tapi rumah kami dalam keadaan berantakan, ia jenuh dan marah, lalu menyiramkannya pada wajahku,"
"Kenapa bisa ada air keras di sekitar kalian, bu?"
"Yaa... itu aku juga tidak tahu..."
"Apakah Ibu akan mengugat cerai?"
Aku kembali tersenyum mendengar pertanyaannya, sedikit meraba-raba wajahku yang masih hancur oleh air keras. Aku memang seorang Ibu, tapi usiaku masih
28 tahun, dan semuanya terjadi begitu saja tanpa aku bisa mencegahnya. Kupejamkan mataku, kembali mengingat peristiwa itu dan aku mulai membeberkan semua urusan pada jurnalis terhebat yang ada di hadapanku.
•••
"Ehh, ayo pada mandi sore. Ayah sebentar lagi mau pulang. Kalau Kiki sama Yuna belum mandi, nanti Ayah nggak mau cium kalian,"
Aku bergurau. Dua anakku tertawa cekikikkan. Kiki adalah lelaki hebat setelah ayahnya, ia mampu menjaga adiknya saat bermain. Ia juga selalu membantuku dalam mengurus pekerjaan rumah.
"Ah ibu selalu bilang begitu. Ayah juga nggak akan pulang kok,"
Kiki berdalih. Bukan, ia mengucapkan itu bukan semata-mata karena malas mandi sore. Itu kenyataan. sejak usia Yuna menginjak tiga tahun dan kiki tujuh tahun, ada yang berbeda dari suamiku. Ia pulang larut malam, ditemani dengan aroma parfum milik soerang wanita yang menempel di kemejanya. Parfum yang sangat familiar di hidungku. Lalu ia berangkat pagi buta tanpa sempat berpamitan pada dua anaknya. Ia lebih suka tidur di ruang tengah, atau di ruang kantor di sudut rumah kami, enggan tidur bersamaku. Semakin hari, Adit semakin aneh. Hampir tak pernah pulang, dan jika ia pulang, hanya sekadar untuk mengganti baju, lantas tanpa permisi ia meninggalkan rumah. Aku masih cukup sabar dengan sikapnya, masih bisa berbohong kepada dua anakku kalau Ayah mereka lembur, masih kuat tersenyum saat tetangga mulai ramai membicarakan suamiku, masih bisa berkata 'tidak' saat mertua dan orang tua menyuruhku untuk menceraikannya. Sejauh ini aku masih bisa bertahan. Perasaanku terhadap Adit belum pernah berkurang sejak pertama kali bertemu, hingga saat ini. Ia tetap Adit yang kucinta.
"Iya, kan siapa tahu Ayah pulang hari ini. sana cepat mandi. Nanti Ibu buatkan susu ya kalau sudah mandi." Aku mendorong lembut mereka berdua ke dalam kamar mandi. Membiarkan mereka berdua mandi sendiri sementara aku membereskan kuas dan tinta yang baru saja mereka gunakan untuk mengecat dinding kamar mereka. Lalu tak lama pintu berderit. Adit pulang.
"Bau cat."
Ucap Adit berang. Ia segera duduk di ruang tengah dan mengangkat kakinya di atas meja. Aku menghampirinya. Melepaskan kaus kakinya dan segera berlari ke dapur, mengambil kopi dengan dua sendok gula yang sudah bercampur di dalam gelas yang selalu kusiapkan setiap sore. Adit segera meminumnya. Kubantu melepaskan dasi dan kemeja yang lagi-lagi berbau parfum wanita.
"Tumben Ayah, pulang sore. Anak-anak menunggu tuh," ucapku riang, meski ada air mata yang tertahan di pelupuk mataku. Jelas-jelas dia telah melakukan sesuatu dengan wanita di luar sana. Kiki keluar kamar mandi, semerbak sabun beraroma chrysanthemum tercium sampai ke ruang tengah.
"Ayah!" Kiki antusias memanggil, Yuna menyusul di belakang.
"Kenapa kalian bau cat hah?! Aku mual dekat dengan kalian!" Adit membentakku. Ia berjalan cepat menuju kamar kami yang letaknya di sebelah kamar mandi, juga menghardik Kiki dan Yuna yang berusaha
untuk memeluknya. Sialnya, Adit terpeleset karena busa sabun mandi Kiki dan Yuna yang belum sempat kubersihkan. Yuna terpelanting, kepalanya membentur lantai dengan keras, darah berceceran.
Aku berusaha tenang, menggendong Yuna sambil menghentikan pendarahan di kepalanya, dan aku menghampiri Adit. Aku ingin membantunya berdiri. Kubungkukkan sedikit badanku, tapi tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, dan melemparkannya ke wajahku. Air keras.
"Kamu Wanita paling bodoh! Tak bisa mengurus Aku!"
Terjadi begitu saja, wajahku memanas, terasa membakar, perihnya menjalar hingga ke tulang rusuk, kepalaku pusing. Samar kulihat ia mengambil Yuna dari pelukanku dan menyeret Kiki ke dalam kamar. Terdegar beberapa pecahan barang dan pekikan Yuna yang semakin keras. Lalu semuanya menjadi hening.
•••
"Sakit Bu?"
Ruspita kembali bertanya. Ia menggigit bibirnya saat mendengar ceritaku.
"Yang sakit itu adalah.. saat kita tahu anak kita meninggal karena orang tuanya sendiri." Aku mengusap air mataku. Ini sudah tiga tahun sejak kejadian itu. Saat aku tahu Yuna tak tertolong, saat aku tahu Yuna kala itu tidak dilarikan ke rumah sakit, saat aku tahu buah hati kami tak lagi bernyawa, saat itu pula rasa sakitku mati.
"Emm Bu, kalau menurut Ibu itu sakit, mengapa Ibu masih mau di sini? maksudku... bersama dia,"
Ita menunjuk lelaki yang ada di tempat tidur. Aku hanya mengangkat bahu, bingung. Mungkin karena aku ingin terus mengabdi pada lelaki yang sudah kupilih.
"Kamu tahu Ruspita... Seharusnya Aku juga menjadi jurnalis hebat sepertimu, aku dapat kesempatan mengambil beasiswa kuliah jurusan jurnalistik tapi suamiku tak mengizinkan. Aku begini sebagai bukti pengabdiaku terhadapnya. Aku juga tahu siapa wanita yang selalu ada bersamanya, aku hapal bau parfumnya, dan aku tak pernah berani menengurnya. Aku hanya ingin berusaha menjadi wanita yang pengertian baginya. Aku sengaja berhenti bekerja agar bisa mengabdi padannya. Aku selalu memasak meskipun ia tak pernah menyentuh masakanku. Bagiku, cinta tak pernah salah alamat, aku tak pernah menyesal dan benci dengan semua perlakuannya, asalkan dia suka, dia boleh berlaku apa aja padaku, asalkan dia bahagia."
Ita hampir menangis. Sesenggukan.
"Aku tak pernah menyesal. Bukan berarti kita pasrah dengan keadaan. Terkadang, untuk membuat seseorang bahagia harus ada yang menderita. Dan aku siap menderita untuk membahagiakannya. Kamu tahu kan? Dia sudah koma sangat lama. Sakitnya tak kunjung sembuh. Semoga dengan pengabdianku ini, dia akan segera sembuh dan kembali menjalani hidupnya. Aku akan transplantasi jantung esok dini hari, untuknya."
Kali ini Ita benar-benar menangis, ia tanggalkan buku catatannya, ia matikan alat perekam miliknya, memelukku erat. Aku dan Ita sama-sama tahu, bau parfum yang selalu menempel di kemeja Adit, suamiku, adalah milik Ibu Ita, tetanggaku yang selalu punya cerita bohong tentang diriku yang menurutnya selingkuh, untuk di ceritakan pada suamiku. Biarlah, biarkan saja. Hingga pada akhirnya Adit akan tahu kalau aku utuh mengabdi pada dirinya, tak pernah bermain hati.
"I...Ibu.. ajari aku aku untuk menjadi wanita yang bisa setia pada lelaki yang kita cintai. Dan ibu.. Sungguh maafkan keluargaku,"
"Tenang saja Ita, aku tak menaruh dendam pada ibumu. Aku sudah memaafkan kejadian buruk itu karena aku yakin, Tuhan punya rencana Indah. Bukankah Tuhan saja maha murah hati?"
Aku menepuk pelan bahu Ita. semua sudah terjadi. Aku sudah memaafkan tanpa harus diminta.
Sejak kejadian itu, satu bulan setelah aku berada di rumah sakit, Adit terkena stroke dan jantungnya mengalami kelainan, entah jenis penyakit apa namanya dan tak sadarkan diri selama hampir tiga tahun, koma. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk transplantasi jantung, agar ia bisa melanjutkan hidupnya.
"Kamu tahu Ita.. mencintai seseorang itu lebih banyak menyakitkannya daripada yang menyenangkan. Carilah orang yang mencintai kamu dengan tulus. Dan kamu harus bisa memafkaan kesalahannya kalau ia berbuat salah, Memaafkan kesalahannya bukan berarti menghapus kenangan bersama orang tersebut. Cukup ampuni dosa yang pernah ia perbuat,"
Ruspita melepaskan pelukannya, mengusap air matanya.
"Ibu adalah wanita yang paling luar biasa yang mau mengabdikan diri pada suami yang jelas-jelas telah membuat ibu lebih banyak mengalami kekecewaan. Seharusnya... Ibu bisa dapat yang lebih baik dari Pak Adit."
Aku, lagi-lagi tersenyum membelai rambut jurnalis muda yang tak lagi mencatat omonganku, tapi meresapinya.
"Aku bisa dapat yang lebih baik, tapi tak ada yang seperti Adit, yang telah mengajarkanku tentang kebijaksanaan, dan arti memafkan dalam hidup,"
“Lalu… apa untungnya bagi Ibu jika melakukan transplantasi jantung untuk pak Adit?”
Ita kembali bertanya, lebih tenang dari sebelumnya. Aku menatap lekat-lekat suamiku yang berbaring lemah. Kembali terngiang-ngiang semua kenangan manis kami berdua, juga pahitnya. Teringat saat-saat Adit datang dengan seikat bunga mawar dan keluarganya datang untuk melamarku. Teringat saat kami bercengkrama membicarakan masa depan Kiki dan Yuna nantinya. Teringat semua saat susah senang yang kami lalui bersama. Aku sudi, berkorban untuk orang yang amat kucintai.
“Aku pernah baca di suatu buku, kalau kita mengabdi dan berkorban seutuhnya pada sang suami, maka surga balasannya,”
Ucapku lirih, penuh keyakinan. Kami kembali berpelukkan dan bau melepakannya saat Kiki masuk membawa minuman. Kiki mendekat padaku dan kurangkul tubuhnya.
“Ibu… aku mungkin tak akan bisa seperti Ibu, tapi terima kasih untuk ceritanya, aku sangat mempelajarinya.”
Sekali lagi, kamu berpelukan, untuk yang terakhir kali.
•••
Ada beberapa bulir air mata yang menetes, membasahi pipi yang memerah oleh amarah, kesal pada dirinya sendiri, menyesali semua perbutannya.
“Sayang, kalau saja kamu tahu apa yang membuatku koma saat itu…”
Adit berujar, ia mengelus-elus kepala Kiki. Keduanya baru saja selesai membaca untaian doa di sebuah pembaringan, yang seluas mata memandang hanyalah tanah penuh gundukkan yang ditaburi bunga-bunga kamboja dan bunga melati.
“Memangnya apa Yah? Apa yang membuat Ayah tidur begitu lama?” Kiki bertanya.
“Saat Ayah tahu kalau ibumu tidak pernah mencintai siapapun selain ayah, sebelum atau sesudah ia mengenal ayah, saat itulah ayah terkena kelumpuhan dan serangan jantung. Ayah betul betul kecewa pada diri ini. Aku sungguh menyesal, kamu pasti tak akan memaafkanku, sayang.”
Adit menunduk, tumpah air matanya. Tiap tetesnya jatuh di atas tanah pemakaman istrinya.
"Ayah, kata ibu jangan menyesal. Dan ibu pernah bilang, ibu mau ayah memaafkan ibu karena belum bisa jadi ibu yang baik untuk Kiki dan Yuna,"
Tangisnya semakin tumpah ruah.
•••
Memaafkan itu sejatinya bukan sekadar mengucapkan kata maaf melalui lisan. Tapi ketika kita bisa menghilangkan rasa dendam dan dengki yang ada di hati ini, saat kita bisa berlapang dada meskipun jutaan kali telah di kecewakan, saat itulah maaf berlaku.
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)