"Asyila?!"
Plak! Lagi, tamparan keras mendarat di pipi kanan Asyila. Wajahnya memerah bukan karena mehanan malu atau kerasnya tamparan, tapi karena emosinya yang nyaris meledak. Kalau saja yang di hadapannya ini bukan asisten dosennya, pasti ia sudah menampar balik.
"Punya etika nggak? Jadi mahasiswa kerjaannya jangan cuma kritik atau komentar, tapi kamu harus hormati saya sebagai asisten dosen!"
"Tapi ibu sebagai asisten dosen juga tidak punya etika, menampar seorang mahasiswa di hadapan teman-temannya,"
Balas Asyila tajam. Terlihat sorot kebencian dari matanya dan ia tak akan pernah memaafkan kejadian hari ini, dan hari sebelumnya. Ruangan kelas menjadi hening, tak ada yang mau berkomentar atau membela Asyila. Bisa-bisa remote pendingin ruangan yang ada di meja ibu Ine melayang ke kepala mereka. Asyila masih berdiri di depan kelas. Masih memegang artikel majalah kampus yang memberitakan tentang seorang wanita yang ketahuan melakukan tindak asusila dengan seseorang. Artikel, beserta barang bukti berupa rekaman video yang menjijikkan. Entah siapa yang menyebarkan berita tersebut hinhga menyebar ke seluruh kampus. Bukan soal wanita itu, tapi masalahnya adalah dengan siapa wanita itu di beritakan. Jantung Asyila naik turun, napasnya memburu dan kepalanya nyaris meledak. Matanya masih tajam menatap asisten dosen yang baru saja menamparnya.
"Dia pacar saya bu,"
Itu kalimat terakhir yang dikatakan Asyila sebelum ia melangkahkan kaki keluar kelas. Tangannya meremas majalah tersebut kuat-kuat. Benci. Teringat ucapan Asyila kepada orang tua nya untuk melakukan pertunangan dengan pacarnya. Ah andai saja pacarnya tak melakukan perbuatan itu...
•••
"Asyila?!"
Nama itu di sebut-sebut di ruangan dosen pagi ini. Ramai. Sedang ada rapat dosen fakultas secara tertutup dan nama mahasiswa tersebut menjadi topik hangat yang tak habis diperbincangkan. Di ujung ruangan berdiri seorang asisten dosen yang mengajar Asyila. Dia sibuk menceritakan betapa buruk sikap dan perilaku Asyila.
"Maaf interupsi. Tapi setahu saya, Asyila adalah anak cerdas bu. Sudah dua tahun indeks prestasinya mencapai nilai sempurna,"
Pak Mahmud sebagai ketua jurusan akhirnya angkat bicara. Ruangan kembali ramai menimbulkan pro kontra terhadap anak bernama Asyila. Nama tersebut memang sedang santer, meski bukan karena suatu hal penting. Asyila ditakuti karena mulutnya yang kritis dan pengaruhnya terhadap mahasiswa lain.
"Kalau saya boleh menambahkan, anak tersebut sangat sopan dan ramah,"
Salah satu dosen ikut berujar. Dosen lain menambahkan, beberapa mengiyakan dan sisanya hanya mendengarkan. Ine semakin kesal. Ia sungguh tak menyangka pengaruh Asyila di lingkungan fakultas sangat berpengaruh. Dalam hati dia berpikir untuk melakukan sesuatu yang dapat mencemarkan nama baik Asyila. 'Memberikan sedikit pelajaran,' batin Ine. Maka seusai rapat Ine bergegas menuju gedung pusat di mana kantor redaksi majalah kampus menetap. Sepi. Ine bernapas lega karena rencananya nyaris lolos. Rencana untuk membuat nama Asyila buruk melalui pemberitaan di artikel yang sudah dibuatnya. Ia memasukki ruangan tanpa permisi dan menemukan editor majalah sedang duduk sambil memandangi sesuatu di layar komputer. Editor yang berkulit putih dengan potongan rambut cepak, berhidung kecil dengan bibir tipis dan sedikit kumis tipis membuatnya semakin terlihat... Tampan.
"Eh? Anda ibu Ine kan? Ada perlu apa bu?"
Editor tersebut bukan mahasiswanya, tapi editor itu pasti tahu siapa Ine, sebab dia di kampus ini sudah terkenal bahwa jaringan pertemanannya luas.
"Tak disangka, kamu setampan ini ya, sayang sekali kamu harus diam di sini sebagai editor, nerkutat dengan ratusan kertas tak penting,"
Ine mengusap rambutnya dan menyilangkannya ke belakang telinga kiri. Ada keberanian untuk terus maju dan mendekati Hendri, editor tersebut. Bukan lagi cara untuk menjatuhkan Asyila yang ada di pikirannya sekarang, yang terbayang adalah bagaimana caranya untuk berdekatan dengan Hendri, bahkan melakukan hal lebih jika bisa.
"Maaf bu, kalau tidak ada kepentingan lebih baik keluar,"
Tapi ucapan Hendri tak digubrisnya. Secepat kilat Hendri bertindak, menyalakan webcam komputer dan menyetelnya, merekam semua kejadian yang di lakukan Ine terhadap Hendri di ruangan tersebut.
•••
"Asyila?!"
Seorang wanita dengan konde dan pakaian adat Jawa memanggil namanya. Asyila mengangguk tersenyum riang. Ini adalah hari istimewa buatnya. Salah satu hal yang membuatnya senang adalah saat-saat ia di kenalkan kepada keluarga pacarnya, Hendri. Wanita berkonde tersebut mempersilakan Asyila dan keluarganya masuk, dan Hendri menyusul di belakangnya.
"Sudah semester berapa?"
Ibu berkonde tersebut bertanya lagi. Acara ramah tamah ini sepertinya akan berhasil. Terlihat ayah Hendri dan Papa Asyila yang sudah akrab berbincang sambil mengepulkan asap rokok di sela-sela obrolan mereka.
"Semester lima ibu, doakan cepat lulus,"
Ibu berkonde mengambil cangkir teh dan meninumnya sedikit. Lalu mama Asyila membuka percakapan soal tugas rumah tangga dan obrolan yang hanya bisa di mengerti oleh ibu-ibu. Asyila dan Hendri saling tatap, tersenyum bersamaan.
"Sepertinya akan jadi pertmuan keluarga rutin setiap akhir bulan, nih,"
Asyila menyenggol lengan Hendri, tertawa.
"Iya, seru kan? Karena acara ramah tamah ini hakekatnya adalah menjalin silaturahim. Di mana ada canda tawa saat berkumpul, di situlah kebersamaan tercipta,"
"Iya aku mengerti. Biar saja kalau kita suka bertengkar atau selisih pendapat, tapi dua keluarga kita harus tetap menyatu dan berbaur seperti ini. Itulah gunanya acara ramah tamah ini,"
"Dan kita bisa menjadi keluarga. Karena keluarga itu bukan hanya terikat hubungan darah tapi karena terciptanya kebersamaan seperti ini. Besok-besok harus terus di lanjutkan acara ini ya, jangan ramah tamah saat lebaran saja hahahah,"
Ayahnya Hendri ikut bicara dan papa Asyila masuk ke ruangan, segera mengambil cangkir kopi yang sudah tersedia. Mereka sudah selesai menghisap cerutunya.
"Segera saja di resmikan, bisa di mulai dengan pertunangan kan,"
Papa berujar dan Asyila hanya menatap Hendri yang tertawa seolah pernyataan tersebut hanya angin lalu.
"Iya papa, kalau dia nggak berbuat macam-macam sama perempuan lain, aku sih, mau aja bertunangan dan menikah dengannya,"
"Tentu saja Asyila, mana mungkin aku melakukan perbuatan bodoh dengan orang lain. Aloha au ia 'oe Asyila,"
Hendri menjawab dengan candaan bahasa Hawai yang ia kuasai, dan semua orang di ruangan tertawa bersama. Sungguh riang hati Asyila, setidaknya untuk hari ini.
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)