Kalau aku melihat langit luas pada malam hari, aku bisa menemukan jutaan bintang bertaburan, dan kerlipnya mengindahkan pemandanganku. Dari situ aku sadar, bahwa manusia adalah makhluk kecil dan dunia begitu luasnya. Ada langit membentang, tanah untuk berpijak serta udara yang mengisi ruang di antara keduanya. Aku biasanya mengisi hari-hariku dengan hobi yang tak biasa: mendaki gunung. Beberapa tahun kebelakang, mendaki gunung bukan hal yang biasa di lakukan sebagian anak muda, tidak seperti sekarang. Aku suka mendaki, bertamu ke gunung Pangrango, berkenalan dengan gunung Salak, mampir ke gunung Loji, pernah juga datang ke gunung di kediri Jawa Timur dan besoknya gunung tersebut meletus, tahu kan gunung apa? Dan selama mendaki itu, aku bisa melihat bintang yang bertaburan di langit luas. Tapi itu hobiku dulu, sekarang tidak lagi. karena banyak yang suka mendaki dan tidak membuang sampah pada tempatnya, membuatku malas dan mengalihkan hobi baruku pada dunia tulis-menulis. Dan ketika aku mulai menggeluti dunia ini, kamu datang. Membawa banyak cerita yang menginspirasi, berbagi pengalaman bersamaku, dan kamu mendukung penuh semua yang kulakukan untuk menulis. Kamu rela diduakan dan tak sedikitpun mengeluh karenanya. Terakhir kamu mengeluh hanya karena aku lupa makan dan tidur di atas jam dua malam.
Menulis adalah hobiku sejak kecil, hanya saja dulu aku terlalu takut untuk menuliskan semua yang ada di kepalaku karena daya khayal milikku ini membuatku di kucilkan oleh lingkungan. Mereka menganggapku gila karena terlalu mengandai-andai, sering berkhayal terlalu tinggi. Tapi sejak bertemu kamu, kepercayaan diri ini semakin naik dan aku mulai berani menuliskan apapun yang berjejejalan dalam otak. Hobi baru ini jadi membuatku jarang melihat bintang. Aku lebih sering melihat fotomu di layar laptop sepanjang hari. Dan, ya! itu juga menjadi salah satu hobi baruku; memandangi fotomu. Dan tak terasa ini sudah tahun kelima kita menjalin hubungan, tapi kamu seolah masih saja menggantungkan masa depan kita. Kamu enggan menikahiku karena suatu alasan yang selalu bisa kuterima.
Kulirik jam di layar laptop, pukul sepuluh pagi. Lima menit lagi pasti kamu datang ke rumahku dan membawa bubur ayam untuk sarapan. Makanan yang tak pernah kusukai tapi selalu aku makan, karena kamu yang membawanya.
"Sayaaaang, selamaat pagi!"
Nah, benar kan. Teriakanmu di depan pintu membuatku beranjak dari kasur. Aku segera membukakan pintu dan kamu segera menyodorkan sebungkus bubur ayam.
"Selamat datang pangeran bubur, silakan masuk,"
Kataku sambil menerima bungkusan darimu. Setelah aku menutup pintu pagar, kita berdua masuk dan aku segera menuju dapur, menyiapkan secangkir kopi luwak kesukaanmu.
"Aku boleh tanya sesuatu?"
Katamu setelah aku duduk di ruang tamu dengan membawa kopi yang masih mengepul. Aku mengangguk dan tanganku sibuk membuka bungkusan bubur ayam darimu. Kamu menyesap kopi luwak dan kulihat kamu mulai menyiapkan kalimat untuk bertanya.
"Setelah lima tahun kita bersama... Aku lupa bertanya. Apa alasanmu menyukai dunia tulis menulis?"
Aku menatap matamu, hendak mencari tahu apa arti dari pertanyaan itu.
"Daniel, kenapa bertanya seperti itu? Menulis adalah hobiku, dengan menulis aku bisa menjadi siapa saja. Aku bisa memiliki seribu karakter dan kehidupan yang berbeda, aku bisa punya dunia yang tak dimilikki orang lain, aku bisa melakukan sesuatu yang bahkan tak bisa kulakukan di dunia nyata. Aku suka menulis,"
Aku mulai menyendokkan bubur ke mulutku sambil menunggu respon darimu. Aku khawatir, kamu mulai membenci hobiku ini.
"Iya, baiklah sayang, aku mengerti. Kak Stela hanya takut, kamu nantinya tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana yang halusinasimu. Dia berpikir bisa jadi kamu menganggapku ini hanya sebuah khayalanmu yang tak nyata hahahhaha,"
Dheg! Kata-katanya barusan membuat jantungku sakit. Bisa-bisanya kakakmu yang selama ini baik dan merestui hubungan kita, berkata seperti itu.
"Candaan kak Stela nggak lucu. Aku jelas bisa bedakan, dan kamu, harusnya tadi tidak perlu tertawa!"
Aku sedikit menaikkan intonasi suaraku, aku benar-benar sakit hati. Bukankah setiap orang bebas memilikki hobi? Kulihat kamu menekan dagumu ke bawah, menundukkan pandanganmu dariku. Aku tahu kamu merasa bersalah tapi terlalu gengsi untuk meminta maaf.
"Sudah lupakan saja. Sekarang aku yang mau bertanya,"
Kamu kembali mengangkat wajahmu, memadangku dengan tulus. Di matamu, bisa kurasakan masih tersimpan banyak limpahan kasih sayang untukku. Aku tahu kamu adalah orang yang tepat untuk melengkapi separuh hidupku.
"Kapan kamu menikahiku? Usia kita sudah tidak muda lagi, dan lima tahun berpacaran membuatku tersiksa karena aku tak bisa memilikkimu seutuhnya,"
Kamu kembali menunduk, dan sebenarnya... Aku tahu jawabannya. Sekarang pertanyaan untuk menikah menjadi salah satu hobiku juga, sepertinya.
"Kamu selalu bertanya itu. Aku tidak akan menikah sebelum kak Stela menikah, sayang. Dia kakak satu-satunya dan aku tak berani melangkahinya. Aku begitu menghormati dirinya dan aku tak sanggup untuk..."
"Iya tapi mau sampai kapan menunggu? Aku tak bisa hidup dengan hanya menunggu. Hidup kita tak selamanya lampu merah. Ada saatnya kita harus berjalan, Daniel,"
"Kalau... Kalau kamu mau berjalan... Kamu tinggalkan saja aku. Aku tak akan menikah sebelum dia menikah,"
Aku mendesah. Melemparkan sendok makan ke atas meja. Selalu, itu jawabannya.
"Amina sayang, kamu itu anak tunggal. Kamu nggak akan tahu gimana rasanya melangkahi seorang kakak. Apalagi kakakku perempuan. Selain ibu dan ayah, cuma dia teman bermainku semasa kecil, kamu harusnya mengerti,"
Aku menekan jari telunjuk kiri dengan ibu jariku. Kuat-kuat kutekan untuk meredam emosi yang nyaris meledak.
"Ya... Aku memang anak tunggal, jadi aku tak bisa mengerti kondisi ini. Kenapa sih, kamu begitu hormat padanya, tapi kamu tak menghormati permintaan orang tuaku untuk segera menikahiku,"
"Bukankah kamu penulis? Harusnya kamu tahu, melangkahi seorang kakak sangat tidak etis. Aku begitu sayang dan hormat padanya. Dia segalanya buatku, Amina. Dia mengajarkanku banyak hal sebelum aku sekolah, dia menjadi teman curhatku, dia juga yang menjadikanku sesukses ini,"
Aku diam, tak mampu menatapmu. Kugigit bibir bawahku untuk menahan keluarnya air mata, dan kurasakan cairan asin yang mulai masuk menyentuh lidah, bibirku berdarah.
"Kalau gitu, jelaskan padaku, arti sebuah penghormatan, Daniel. Kalau masuk akal, aku akan terima alasanmu untuk tak melangkahi kak Stela,"
Kataku akhirnya. Aku masih tak berani menatapmu, tapi aku bisa merasakan kamu mulai gelisah dengan keadaan ini.
"Aku seolah diberi tugas oleh Tuhan untuk menghormati kakakku. Kamu tahu kenapa presiden Soekarno begitu di hormati, sementara presiden SBY banyak yang mencaci maki? Sayang, penghormatan itu, bukan kepada siapa, tapi kepada apa yang telah di perbuat oleh orang tersebut. Dan demi menghormati orang yang kita hormati, siapapun pasti akan rela melakukan apa saja, seperti aku yang rela tak menikah sebelum dia menikah,"
Aku mulai menitikan air mataku, tak tahan mendengar penjelasannya. Daniel memang benar. Aku juga sebenarnya tak bisa melihat kak Stela sedih kaau melihat kami menikah. Stela yang cantik, cerdas, baik hati, sabar, jujur, tapi karena ia tuna netra, membuatnya sulit menemukan pasangan hidup. Dan aku? Aku ini memang egois tapi di usiaku ini, mana mungkin aku menunggu terus. Kupejamkan mataku, dan berharap semoga keputusan ini tepat.
"Baiklah Daniel, kamu boleh pergi dari rumahku. Dan... Sekalian kamu boleh pergi dari hatiku. Sebab aku tak sanggup lagi menunggu. Anggap saja hubungan kita berakhir karena aku menghormati alasanmu. Silakan pergi,"
Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku. Hanya itu yang terucap. Hanya sebuah kalimat sendu yang sebenarnya palsu. Kuhitung jeda keheningan ini, satu... Dua... Tiga... Empat... Aku masih tak mau menatapmu, dan kulihat kakimu mulai melangkah keluar rumah, meninggalkanku. Di hitungan berikutnya aku menyaksikan punggungmu semakin jauh dari penglihatanku. Lima... Enam... Tujuh.. delapan... Kamu sempurna pergi dari rumahku. Lalu aku menangis sejadi-jadinya. Menangis atas semua kebodohan yang kuperbuat. Dan mungkin, menangis akan menjadi salah satu hobi baruku sejak hari ini sampai selamanya, karena aku telah melepaskan orang yang telah menjadi sebagian jiwaku.
Ceritanya.. simpel tapi sarat makna. apalagi pas Daniel menjelaskan tantang siapa dan apa soal penghormatan. (y)
BalasHapus