"Bagaimana Bapak, Ibu... Lamarannya diterima?"
Perempuan di sebelah ayahnya tersenyum malu-malu, tapi menangis di dalam hatinya.
"Terimakasih telah melamar anak kami, anda sungguhlah orang terbaik pilihan keluarga. Maka dengan ini, lamaran kami terima,"
Ayahnya bersalaman dengan ayah lelaki tersebut. Ibunya menangis bahagia.
"Alhamdulillah,"
•••
'Hari ini kosong? Temani aku ke Jatinegara yuk, mau beli souvernir. Kalau perhitungannya tepat, tamu yang datang sekitar 500 orang,'
Aku membaca pesan masuk dari Julia. Senyumku merekah, segera kupersiapkan diri untuk menjemputnya. Aku tahu jika aku keluar rumah sekarang, akan ada karbondioksida yang meyekap pernapasanku, tapi aku tidak peduli. Apapun untuk Julia, wanita tercantik yang sudah empat tahun menjadi pacarku. Wanita yang, aku mau selalu ada saat ia membutuhkan, dan dia selalu menjadi pemenang dihatiku. Jadi tidak ada salahnya jika sekarang aku mau menemaninya membeli souvernir pernikahan nanti. Aku tahu betul tentang Julia, dia suka turun tangan untuk urusan apapun. Termasuk soal pernikahan ini, ia pasti mau mengurusnya juga.
Segera kupacu motorku dengan kecepatan seimbang, menuju rumahnya di Bekasi. Aku tak mau melihat ia menunggu di depan rumahnya karena keterlambatanku. Aku selalu ingat kejadian dua tahun lalu, saat aku terjebak macet dan ia terlalu lama menungguku, membuat dempulannya luntur dan di kedua ujung matanya menjadi hitam akibat eyeliner yang luntur terkena keringat. Saat aku datang, Ibu melotot, memaki karena aku telah membuat riasan Julia hancur padahal ia harus menghadiri pernikahan sahabatnya. Tak akan lagi kuulangi. Bukan karena dempulan Julia yang membuatku tak mau lagi terlambat, tapi amarah ibu dan kata-katanya yang sengit, membuatku terlalu keki dan jengah. Jadi, setelah kejadian itu sampai hari ini aku tak akan lagi terlambat.
"Cepat sekali nyampe sini. Udah makan? Mau ketemu ibu dulu nggak di dalam?"
Julia bertanya setelah mencium punggung tanganku. Aku menggeleng pelan.
"Langsung saja,"
Kuberikan helm untuk ia gunakan, dan kami segera berangkat menuju Jatinegara.
"Aku mau beli souvernir, terus mau ke katering bu Diana juga sih, mau tanya-tanya harga. Oya, nanti temani juga ke tempat cetak undangannya ya, aku suka desain kamu, unik dan elegan! Tapi kamu lupa memasukkan gelar setelah nama mempelai... Tapi nggak pa-pa bisa dibenerin di abang cetak undangan kan, eh sekalian ke pasar Senen dulu dong sebentar, ada yang mau kubeli juga untuk keperluan sesi akad,"
Julia terus saja mengoceh sepanjang perjalanan. Aku hanya mengangguk dan tersenyum singkat di balik helm. Tentu, Julia tidak akan melihatnya. Kulihat dari kaca spion wajahnya yang jauh lebih cantik tanpa riasan. Kontur wajahnya sangat bagus, dan ia terlihat sangat bahagia. Senyumnya merekah sepanjag waktu. Memang, menikah muda adalah salah satu impiannya yang sebentar lagi akan terwujud. Aku senang, bisa ikut merasakan kebahagiannya. Bahagia yang sebenar-benarnya, sebab selama empat tahun terkahir aku belum pernah melihat ia segembira ini.
•••
"Ren... Kamu mau janji satu hal? Janji untuk selalu ada buatku jika aku butuh,"
Tanya julia singkat. Tanpa berpikir panjang, aku mengangguk pasti.
"Makasih ya. Kamu memang lelaki paling baik yang telah di ciptakan Tuhan. Aku bersyukur bertemu denganmu,"
Aku tertawa, menatap Julia yang tterlihat seakan serius berkata seperti itu. Dia memang pandai membual.
"RENALDI! BENGONG!"
"Eh?"
Aku menatap wajah Julia, ia terlihat kesal karena aku tak mendengar ocehannya. Seketika percakapan kami beberapa tahun yang lalu buyar.
"Iya, tadi ngomong apa kamu?"
Aku mulai menuliskan sederet nama dalam kartu undangan pernikahan. Lelah juga, menulis satu persatu nama relasi dan kerabat di setiap undangan.
"Nggak, aku tadi nanya sama kamu, pas hari-H mau pakai baju apa? Jangan warna merah ya Ren, kamu tahu kan aku nggak suka warna merah,"
Aku kembali tersenyum, hanya anggukan singkat yang menjadi jawabannya.
"Beres,"
"Apanya Ren, yang beres? Apa itu maksudnya kamu nggak akan pakai baju merah?"
"Bukan, ini... Julia. Undangannya beres. Tinggal dikirmkan ke alamat masing-masing,"
Kusodorkan setumpuk undangan ke hadapannya. Aku sudah menuliskan nama di dua ratus undangan. Aku segera bergegas pulang. Tidak baik juga aku masih di rumah Julia selarut ini.
•••
Aku tergesa-gesa menuju aula gedung. Suasana serba putih dan beberapa ilalang sebagai dekorasi ruangan terasa sangat elegan dan sesuai dengan selera Julia. Aku memakai kemeja biru dongker, kemeja yang pernah menjadi saksi pertemuan antara aku dan Julia. Aku tentu tak akan memakai baju merah seperti permintaannya. Kulirik alrojiku, pukul sembilan pagi. Aku berusaha memasang senyum paling indah yang kumiliki. Aku selalu ingat pada impiannya menikah muda, dihiasi ilalang hidup di setiap sudut, memakai gaun mewah berwarna putih lalu...
...Lalu ia mewujudkan impiannya dengan orang lain. Aku hampir saja terlambat menghadiri akad penikahan Julia kekasihku, dengan lelaki pilihan Ibunya. Kudapati kursi kosong di barisan depan. Segera aku duduk di sana. Aku masih mengatur napasku yang naik turun karena berlarian dengan waktu, sementara penghulu sibuk memberi nasihat.
Tiga bulan lalu, aku datang melamar Julia dan keluarganya menolakku. Tapi Julia terus saja menghubungiku, sampai akhirnya lelaki yang berumur enam tahun lebih tua dari Julia datang melamar, dan lamarannya di sambut dengan baik. Aku sungguh sakit mengetahui Julia tak menolak lamaran itu. Meski setelahnya ia meneleponku sepanjang hari dan menangis sejadi-jadinya. 'Julia, andai kamu tahu bahwa aku lebih sakit.'
Wanita yang kini bersanding dengan pria lain, beberapa bulan lalu terus saja memintaku agar menolongnya mengurus pernikahan dia dan lelaki pilihan ibunya tersebut. Aku bahkan sanggup mendesain undangannya meski bukan namaku yang bersanding dengannya.
Aku terlempar dari kenangan pahit itu, lalu sedikit menitikkan air mata saat terdengar ucapan sakral yang keluar dari mulut lelaki yang ada di sebelah kekasihku.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya, Adinda Juliani binti Fauzi Cahyono dengan mas kawin emas sepuluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai,"
Selamat Julia, impiannmu sudah terkabul meski bukan denganku.
"Sah?"
Aku tetap mencintaimu lebih dari dia yang kini sah denganmu.
"Sah!"
Semoga bahagia Julia.
"Barokallahulakka wa barokuma,"
Lalu mata Julia bersitatap dengan mataku, dan hari ini, adalah hari terakhir aku menatap matanya.
Kutinggalkan aula megah ini, tak ada gunanya lagi aku berdiri disini.
•••
Perempuan di sebelah ayahnya tersenyum malu-malu, tapi menangis di dalam hatinya.
"Terimakasih telah melamar anak kami, anda sungguhlah orang terbaik pilihan keluarga. Maka dengan ini, lamaran kami terima,"
Ayahnya bersalaman dengan ayah lelaki tersebut. Ibunya menangis bahagia.
"Alhamdulillah,"
•••
'Hari ini kosong? Temani aku ke Jatinegara yuk, mau beli souvernir. Kalau perhitungannya tepat, tamu yang datang sekitar 500 orang,'
Aku membaca pesan masuk dari Julia. Senyumku merekah, segera kupersiapkan diri untuk menjemputnya. Aku tahu jika aku keluar rumah sekarang, akan ada karbondioksida yang meyekap pernapasanku, tapi aku tidak peduli. Apapun untuk Julia, wanita tercantik yang sudah empat tahun menjadi pacarku. Wanita yang, aku mau selalu ada saat ia membutuhkan, dan dia selalu menjadi pemenang dihatiku. Jadi tidak ada salahnya jika sekarang aku mau menemaninya membeli souvernir pernikahan nanti. Aku tahu betul tentang Julia, dia suka turun tangan untuk urusan apapun. Termasuk soal pernikahan ini, ia pasti mau mengurusnya juga.
Segera kupacu motorku dengan kecepatan seimbang, menuju rumahnya di Bekasi. Aku tak mau melihat ia menunggu di depan rumahnya karena keterlambatanku. Aku selalu ingat kejadian dua tahun lalu, saat aku terjebak macet dan ia terlalu lama menungguku, membuat dempulannya luntur dan di kedua ujung matanya menjadi hitam akibat eyeliner yang luntur terkena keringat. Saat aku datang, Ibu melotot, memaki karena aku telah membuat riasan Julia hancur padahal ia harus menghadiri pernikahan sahabatnya. Tak akan lagi kuulangi. Bukan karena dempulan Julia yang membuatku tak mau lagi terlambat, tapi amarah ibu dan kata-katanya yang sengit, membuatku terlalu keki dan jengah. Jadi, setelah kejadian itu sampai hari ini aku tak akan lagi terlambat.
"Cepat sekali nyampe sini. Udah makan? Mau ketemu ibu dulu nggak di dalam?"
Julia bertanya setelah mencium punggung tanganku. Aku menggeleng pelan.
"Langsung saja,"
Kuberikan helm untuk ia gunakan, dan kami segera berangkat menuju Jatinegara.
"Aku mau beli souvernir, terus mau ke katering bu Diana juga sih, mau tanya-tanya harga. Oya, nanti temani juga ke tempat cetak undangannya ya, aku suka desain kamu, unik dan elegan! Tapi kamu lupa memasukkan gelar setelah nama mempelai... Tapi nggak pa-pa bisa dibenerin di abang cetak undangan kan, eh sekalian ke pasar Senen dulu dong sebentar, ada yang mau kubeli juga untuk keperluan sesi akad,"
Julia terus saja mengoceh sepanjang perjalanan. Aku hanya mengangguk dan tersenyum singkat di balik helm. Tentu, Julia tidak akan melihatnya. Kulihat dari kaca spion wajahnya yang jauh lebih cantik tanpa riasan. Kontur wajahnya sangat bagus, dan ia terlihat sangat bahagia. Senyumnya merekah sepanjag waktu. Memang, menikah muda adalah salah satu impiannya yang sebentar lagi akan terwujud. Aku senang, bisa ikut merasakan kebahagiannya. Bahagia yang sebenar-benarnya, sebab selama empat tahun terkahir aku belum pernah melihat ia segembira ini.
•••
"Ren... Kamu mau janji satu hal? Janji untuk selalu ada buatku jika aku butuh,"
Tanya julia singkat. Tanpa berpikir panjang, aku mengangguk pasti.
"Makasih ya. Kamu memang lelaki paling baik yang telah di ciptakan Tuhan. Aku bersyukur bertemu denganmu,"
Aku tertawa, menatap Julia yang tterlihat seakan serius berkata seperti itu. Dia memang pandai membual.
"RENALDI! BENGONG!"
"Eh?"
Aku menatap wajah Julia, ia terlihat kesal karena aku tak mendengar ocehannya. Seketika percakapan kami beberapa tahun yang lalu buyar.
"Iya, tadi ngomong apa kamu?"
Aku mulai menuliskan sederet nama dalam kartu undangan pernikahan. Lelah juga, menulis satu persatu nama relasi dan kerabat di setiap undangan.
"Nggak, aku tadi nanya sama kamu, pas hari-H mau pakai baju apa? Jangan warna merah ya Ren, kamu tahu kan aku nggak suka warna merah,"
Aku kembali tersenyum, hanya anggukan singkat yang menjadi jawabannya.
"Beres,"
"Apanya Ren, yang beres? Apa itu maksudnya kamu nggak akan pakai baju merah?"
"Bukan, ini... Julia. Undangannya beres. Tinggal dikirmkan ke alamat masing-masing,"
Kusodorkan setumpuk undangan ke hadapannya. Aku sudah menuliskan nama di dua ratus undangan. Aku segera bergegas pulang. Tidak baik juga aku masih di rumah Julia selarut ini.
•••
Aku tergesa-gesa menuju aula gedung. Suasana serba putih dan beberapa ilalang sebagai dekorasi ruangan terasa sangat elegan dan sesuai dengan selera Julia. Aku memakai kemeja biru dongker, kemeja yang pernah menjadi saksi pertemuan antara aku dan Julia. Aku tentu tak akan memakai baju merah seperti permintaannya. Kulirik alrojiku, pukul sembilan pagi. Aku berusaha memasang senyum paling indah yang kumiliki. Aku selalu ingat pada impiannya menikah muda, dihiasi ilalang hidup di setiap sudut, memakai gaun mewah berwarna putih lalu...
...Lalu ia mewujudkan impiannya dengan orang lain. Aku hampir saja terlambat menghadiri akad penikahan Julia kekasihku, dengan lelaki pilihan Ibunya. Kudapati kursi kosong di barisan depan. Segera aku duduk di sana. Aku masih mengatur napasku yang naik turun karena berlarian dengan waktu, sementara penghulu sibuk memberi nasihat.
Tiga bulan lalu, aku datang melamar Julia dan keluarganya menolakku. Tapi Julia terus saja menghubungiku, sampai akhirnya lelaki yang berumur enam tahun lebih tua dari Julia datang melamar, dan lamarannya di sambut dengan baik. Aku sungguh sakit mengetahui Julia tak menolak lamaran itu. Meski setelahnya ia meneleponku sepanjang hari dan menangis sejadi-jadinya. 'Julia, andai kamu tahu bahwa aku lebih sakit.'
Wanita yang kini bersanding dengan pria lain, beberapa bulan lalu terus saja memintaku agar menolongnya mengurus pernikahan dia dan lelaki pilihan ibunya tersebut. Aku bahkan sanggup mendesain undangannya meski bukan namaku yang bersanding dengannya.
Aku terlempar dari kenangan pahit itu, lalu sedikit menitikkan air mata saat terdengar ucapan sakral yang keluar dari mulut lelaki yang ada di sebelah kekasihku.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya, Adinda Juliani binti Fauzi Cahyono dengan mas kawin emas sepuluh gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai,"
Selamat Julia, impiannmu sudah terkabul meski bukan denganku.
"Sah?"
Aku tetap mencintaimu lebih dari dia yang kini sah denganmu.
"Sah!"
Semoga bahagia Julia.
"Barokallahulakka wa barokuma,"
Lalu mata Julia bersitatap dengan mataku, dan hari ini, adalah hari terakhir aku menatap matanya.
Kutinggalkan aula megah ini, tak ada gunanya lagi aku berdiri disini.
•••
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)