Halo. Namaku Desy. Aku bukan gadis dramaqueen yang selalu galau berkepanjangan jika patah hati, atau gadis cengeng yang akan menangis sepanjang masa ketika membaca atau menonton kisah cinta yang berakhir tragis. Aku sedang di rumah sakit, menjaga Dela -kakak perempuanku, yang sudah tak sadarkan diri setahun lamanya. Tapi di hari sabtu (sehari hari yang lalu) ia mengigau memanggil nama seseorang dan seketika ia terbangun. Matanya mengerjap menatap lampu rumah sakit dan satu-persatu melemparkan pandangannya kepada mami, papi, dan aku. Lalu ia menangis, mencari sosok yang namanya ia sebut-sebut dalam keadaan tidak sadar. Setelah dokter memeriksa keadaannya dan dikatakan bahwa kondisi Dela sudah lebih membaik, tiba-tiba saja kakakku meminta mami dan papi mencari Daus dan aku otomatis menjadi teman untuknya, berbagi beban, dan menjadi wadah atas segala kegelisahannya. Kami cuma berdua di kamar rumah sakit. Untuk sesaat agak menjengkelkan bagiku, saat seseorang yang sudah koma selama setahun bisa terbangun hanya untuk menceritakan kisah cintanya. Tapi setelah Dela menceritakan semuanya, aku... Sejak saat itu aku... Aku jadi gadis drama yang ikut menangis, merenung, dan aku yakin kalau kamu tahu kisah kakakku, pasti akan ikut menangis, sedih. Ini bukan rekayasa agar kamu jadi pembaca yang cengeng setelah tahu kisah kakakku. Ini fakta bahwa dari pengalaman kakakku, aku tahu cinta itu kejam dan tragis. Jadi begini ceritanya...
•••
"Aku sakit. Sekarat. Aku mau... Kamu... Lupakan aku,"
Dela berucap mantap. Hatinya sudah kuat dan ia sudah mempersiapkan semua resiko yang akan dihadapi setelah perbincangan ini. Yang menjadi lawan bicaranya hanya diam, ia tahu akan di bawa kemana arah pembicaraan ini dan ia membiarkan Dela menguasai percakapan mereka, untuk sekali ini saja. Dela tak berani menatap mata Daus, bahkan sedetik untuk melirik saja, tak mampu. Masih dengan keyakinan penuh, Dela melanjutkan ucapannya,
"Aku ini... Aku seperti sebuah lilin yang apinya membara tapi sumbunya hampir habis. Jadi, sebelum apinya padam, aku mau memindahkan api ke lilin lain agar tetap ada seberkas cahaya bagi kegelapan, meskipun hanya dari sebatang lilin. Dan aku mau kamu yang menerima apinya, lalu kamu bagikan juga untuk kekasihmu setelah aku, dan anak-anakmu, dan seterusnya. Agar api yang pernah hidup di sumbuku akan tetap abadi. Kamu paham kan maksudku?"
Dela bernapas lega. Akhirnya keluar juga ucapan tersebut setelah latihan selama seminggu, meskipun kalimat yang berlaga puitis tersebut dibuatkan oleh adiknya, Desy.
"Maaf, bisa lebih sederhana nggak, aku tidak begitu mengerti,"
"Oke jadi gini, bahasa sederhananya... Sumbu itu nyawaku, batangan lilin itu usiaku. Api itu artinya cinta. Cintaku padamu, Daus,"
Dela tersenyum pelan. Sakit bukanlah kemauannya tapi apa daya jika Tuhan sudah berkehendak. Daus meneguk ludahnya sendiri, mengusap-usap ubun-ubunnya, lalu setiap detik melakukan hal serba salah tingkah, ia sempurna kikuk karena penjelasan Dela.
Cukup lama Daus berpikir, menyiapkan kata-kata paling tepat agar tak menyinggung perasaan di antara mereka berdua.
"Baik kalau begitu, kapan kita bisa pindahkan apinya, sebelum padam?"
"Sekarang juga. Aku tahu, ada banyak orang yang tulus mencintaimu dan bukankah mereka selalu berharap kalau kita berpisah? Jangan memungkirinya Daus. Aku yakin ada yang lebih tulus mencintaimu ketimbang aku. Pergilah dan temui dia, siapapun itu. Jadi, mulai saat ini... Api milikku seutuhnya menjadi milikmu dan... Hubungan kita... Berakhir. Oke,"
Dela mempertahankan intonasi suara secara normal walaupun air mata sudah sejak tadi jatuh bercucuran.
"Oke kalau itu maumu, Dela. Tapi asal kamu tahu, cinta tak akan pernah mati meskipun jiwa raga kita telah mati. Ada kenangan yang selalu membantu cinta untuk terus hidup. Ingat itu,"
Daus berdiri setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, tanpa melihat Dela untuk terakhir kalinya, ia bergegas melangkah pergi. Tidak! Daus tidak benci pada kekasihnya itu, hanya saja Daus tak sudi jika Dela harus melihatnya sedang banjir air mata.
"Kenangan itu siapa? Kamu jangan bahas kenangan di hadapan masa depan Daus,"
Pecuma. Ucapan Dela barusan tidak akan terdengar. Daus terlanjur pergi sebelum Dela menyadari langkah kaki Daus yang semakin menjauh. Setelah itu, kondisi Dela semakin memburuk, sekarat, tak sadarkan diri hingga setahun lamanya. Sementara enam bulan setelah pertemuan terakhir itu, di kota lain Daus sedang melangsungkan pernikahannya dengan seseorang.
•••
Maaf, sampai di mana tadi kita? Ah ya, tadi aku janji mau menceritakan kisah kakakku. Aku baru saja mengurus Dela memasang infus dan membantu suster untuk mengganti seprai. Sekarang aku sudah duduk manis sambil menatap wajah Dela yang kian hari semakin tirus. Sejak ia terbangun dari komanya, ia terus saja menceritakan semua kenangannya tentang Daus. Padahal dulu Dela bilang kenangan itu sampah yang tidak boleh di angkat ke permukaan. Aku hanya menyimak, tak berani banyak bertanya dan kami menunggu mami papi pulang ke rumah sakit dengan kabar tentang Daus. Selama menunggu mami papi, kakak menyuruhku membuka ponselnya, ia mau memperlihatkan foto Daus. Nah, aneh kan. Ia menyuruh mami papi mencari Daus sedangkan kami belum pernah tahu seperti apa rupanya. Sebelumnya aku sempat bilang kalau cinta butuh pengorbanan. Soalnya, Dela bilang begitu. Perjalanan cinta mereka berdua penuh rintangan sampai harus membuat banyak orang menangis. Nah itu maksudku, untuk bahagia akan ada yang terluka, iyakan? Aduh aku jadi lupa poin penting kenapa aku menangis dan ya, kamu para penikmat kisah romantis akan menganggap aku terlalu bertele-tele. Oke, skip saja semua hal tak penting.
Aku akhirnya berkesempatan menginterogasi ponselnya, membuka beberapa kode, melihat seluruh gambar tentang Daus dan...
Daus itu nama lengkapnya Deuswita. Perempuan cantik, tinggi semampai dan rambutnya berpotongan layer sebahu.
Aku rasa baiknya kakak koma saja dari pada harus mencintai sesama jenis. Cinta itu, memang penuh kekejaman. Ia tak mengenal batas usia, agama, jenis kelamin, derajat, kasta, dan semua perbedaan lainnya. Cinta itu yaaa, ah aku tak tahu lah.
Oke oke, ceritaku tidak seru, tidak harmonis, tidak dramaqueen, tidak tragis. Aku hanya anak berumur sepuluh tahun yang tak pandai berbohong dan tak pandai mengarang sebuah cerita.
Sana balik ke aktivitasmu dan lupakan cerita ini.
•••
•••
"Aku sakit. Sekarat. Aku mau... Kamu... Lupakan aku,"
Dela berucap mantap. Hatinya sudah kuat dan ia sudah mempersiapkan semua resiko yang akan dihadapi setelah perbincangan ini. Yang menjadi lawan bicaranya hanya diam, ia tahu akan di bawa kemana arah pembicaraan ini dan ia membiarkan Dela menguasai percakapan mereka, untuk sekali ini saja. Dela tak berani menatap mata Daus, bahkan sedetik untuk melirik saja, tak mampu. Masih dengan keyakinan penuh, Dela melanjutkan ucapannya,
"Aku ini... Aku seperti sebuah lilin yang apinya membara tapi sumbunya hampir habis. Jadi, sebelum apinya padam, aku mau memindahkan api ke lilin lain agar tetap ada seberkas cahaya bagi kegelapan, meskipun hanya dari sebatang lilin. Dan aku mau kamu yang menerima apinya, lalu kamu bagikan juga untuk kekasihmu setelah aku, dan anak-anakmu, dan seterusnya. Agar api yang pernah hidup di sumbuku akan tetap abadi. Kamu paham kan maksudku?"
Dela bernapas lega. Akhirnya keluar juga ucapan tersebut setelah latihan selama seminggu, meskipun kalimat yang berlaga puitis tersebut dibuatkan oleh adiknya, Desy.
"Maaf, bisa lebih sederhana nggak, aku tidak begitu mengerti,"
"Oke jadi gini, bahasa sederhananya... Sumbu itu nyawaku, batangan lilin itu usiaku. Api itu artinya cinta. Cintaku padamu, Daus,"
Dela tersenyum pelan. Sakit bukanlah kemauannya tapi apa daya jika Tuhan sudah berkehendak. Daus meneguk ludahnya sendiri, mengusap-usap ubun-ubunnya, lalu setiap detik melakukan hal serba salah tingkah, ia sempurna kikuk karena penjelasan Dela.
Cukup lama Daus berpikir, menyiapkan kata-kata paling tepat agar tak menyinggung perasaan di antara mereka berdua.
"Baik kalau begitu, kapan kita bisa pindahkan apinya, sebelum padam?"
"Sekarang juga. Aku tahu, ada banyak orang yang tulus mencintaimu dan bukankah mereka selalu berharap kalau kita berpisah? Jangan memungkirinya Daus. Aku yakin ada yang lebih tulus mencintaimu ketimbang aku. Pergilah dan temui dia, siapapun itu. Jadi, mulai saat ini... Api milikku seutuhnya menjadi milikmu dan... Hubungan kita... Berakhir. Oke,"
Dela mempertahankan intonasi suara secara normal walaupun air mata sudah sejak tadi jatuh bercucuran.
"Oke kalau itu maumu, Dela. Tapi asal kamu tahu, cinta tak akan pernah mati meskipun jiwa raga kita telah mati. Ada kenangan yang selalu membantu cinta untuk terus hidup. Ingat itu,"
Daus berdiri setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, tanpa melihat Dela untuk terakhir kalinya, ia bergegas melangkah pergi. Tidak! Daus tidak benci pada kekasihnya itu, hanya saja Daus tak sudi jika Dela harus melihatnya sedang banjir air mata.
"Kenangan itu siapa? Kamu jangan bahas kenangan di hadapan masa depan Daus,"
Pecuma. Ucapan Dela barusan tidak akan terdengar. Daus terlanjur pergi sebelum Dela menyadari langkah kaki Daus yang semakin menjauh. Setelah itu, kondisi Dela semakin memburuk, sekarat, tak sadarkan diri hingga setahun lamanya. Sementara enam bulan setelah pertemuan terakhir itu, di kota lain Daus sedang melangsungkan pernikahannya dengan seseorang.
•••
Maaf, sampai di mana tadi kita? Ah ya, tadi aku janji mau menceritakan kisah kakakku. Aku baru saja mengurus Dela memasang infus dan membantu suster untuk mengganti seprai. Sekarang aku sudah duduk manis sambil menatap wajah Dela yang kian hari semakin tirus. Sejak ia terbangun dari komanya, ia terus saja menceritakan semua kenangannya tentang Daus. Padahal dulu Dela bilang kenangan itu sampah yang tidak boleh di angkat ke permukaan. Aku hanya menyimak, tak berani banyak bertanya dan kami menunggu mami papi pulang ke rumah sakit dengan kabar tentang Daus. Selama menunggu mami papi, kakak menyuruhku membuka ponselnya, ia mau memperlihatkan foto Daus. Nah, aneh kan. Ia menyuruh mami papi mencari Daus sedangkan kami belum pernah tahu seperti apa rupanya. Sebelumnya aku sempat bilang kalau cinta butuh pengorbanan. Soalnya, Dela bilang begitu. Perjalanan cinta mereka berdua penuh rintangan sampai harus membuat banyak orang menangis. Nah itu maksudku, untuk bahagia akan ada yang terluka, iyakan? Aduh aku jadi lupa poin penting kenapa aku menangis dan ya, kamu para penikmat kisah romantis akan menganggap aku terlalu bertele-tele. Oke, skip saja semua hal tak penting.
Aku akhirnya berkesempatan menginterogasi ponselnya, membuka beberapa kode, melihat seluruh gambar tentang Daus dan...
Daus itu nama lengkapnya Deuswita. Perempuan cantik, tinggi semampai dan rambutnya berpotongan layer sebahu.
Aku rasa baiknya kakak koma saja dari pada harus mencintai sesama jenis. Cinta itu, memang penuh kekejaman. Ia tak mengenal batas usia, agama, jenis kelamin, derajat, kasta, dan semua perbedaan lainnya. Cinta itu yaaa, ah aku tak tahu lah.
Oke oke, ceritaku tidak seru, tidak harmonis, tidak dramaqueen, tidak tragis. Aku hanya anak berumur sepuluh tahun yang tak pandai berbohong dan tak pandai mengarang sebuah cerita.
Sana balik ke aktivitasmu dan lupakan cerita ini.
•••
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)