Pertama melihat matanya, aku terkesima. Semua udara seperti terserap, pelan-pelan menguap. Sesak. Aku kembali menyesap teh melati itu, berharap ada kekuatan tak terlihat yang menarik seluruh energiku kembali. Matanya masih setenang semesta, tapi wanita di sebelahnya bersandar mesra di bahunya. Kulihat mereka memesan kopi kegemarannya. Tuhan, semoga mereka tidak duduk dari jangkauan pandanganku. Aku belum siap terhenyak, hancur seperti dahan yang berserak. Tuhan, tolong sekali ini saja biarkan aku bertahan memilikinya, seperti dedaunan yang bisa bertahan untuk menetap pada ranting pepohonan. Sekali ini saja izinkan aku dan dia di pertemukan seperti ombak dan terumbu karang yang saling bersentuhan. Sekali ini saja Tuhan, berikan satu kesempatan untuk aku dan dia bertemu, agar dapat menyelesaikan semua salah kaprah yang telah memecahkan hubungan ini. Puluhan kali aku berusaha menyakinkan kalau ini akan baik-baik saja, tapi... percuma. Untuk detik ini tak akan ada lagi kesempatan buatku. Aku terus melihat wanita yang bersandar pada bahunya. Wanita yang lebih muda dan enerjik, lebih cantik, dan lebih ceria dariku. Aku tahu wanita itu belum memikul beban seperti aku, beban kepedihan yang dengan suka rela kutanggung semua, sendirian.
Lelaki itu, tak pernah membuat lubang di hatiku, sama sekali tidak pernah. Hanya saja dia membuat bekas yang mendalam, dan bekasnya tak bisa hilang seperti sebuah kawah-kawah yang membekas pada permukaan Bulan, satelit bumi ini.
Aku memutuskan pergi dari tempat ini. Melalui pintu di belakang punggungmu Herdi, sebelum kamu bisa melihat keberadaanku.
Baru hendak bangkit dari kursi, kamu melihat ke arahku. Dengan senyum tipis dan anggukan pelan kamu mengisyaratkan pertemanan setelah malam itu, setelah pertengkaran hebat perihal kepergianku bertugas ke negeri Kangguru. Kecanggungan tidak dapat terelakkan. Aku meminta Tuhan untuk melenyapkan tubuhku seketika.
"Apa kabar, Sekar?" sapamu riang, seolah tidak pernah ada aku dimasa lalumu. Wanita yang datang bersamamu yang sedang menunggu kembalian di kasir melongokkan kepala ke arahku, lalu mengalihkan pandangan ke arahmu, memohon penjelasan.
"Des, ini Sekar, teman kantorku yang dulu," kulihat wanita itu tersenyum kaku seraya mengulurkan tangan, menjabat tanganku sekejap. Ia mengambil alih komando dan menunjuk ke kursi di dekat jendela besar di ujung kananku.
"Ayo sayang, duduk di situ aja yuk!" ajaknya manja. Aku pun pamit pada kalian, mengutuk bumi karena tidak menelanku detik itu. Aku segera membelakangi kalian, menuju pintu keluar yang seolah memanggil-manggil namaku. Biarlah sakit ini menjadi obat bagi semua penyesalanku, menjadi ilmu untuk kehidupanku, juga kubiarkan saja semua kenangan kami tersimpan dalam memoriku, seorang diri.
Aku keluar dari pintu kafe, pasrah membiarkan tubuhku jatuh menduduki anak tangga di depan kafe. Rasa pedih ini mungkin tak lebih sakit dari sebuah suntikkan jika kita sedang imunisasi saat kecil dahulu. Namun perasaan ini jutaan kali lebih sakit dari itu; ia seolah sedang mengiris-iris hatiku secara perlahan, menyiksa seluruh jiwa raga hingga tak sanggup lagi untukku memberontak. Jadi pihak yang di tinggalkan itu sangat menyakitkan dan terasa hampa, juga dingin. Seperti dinginnya cuaca yang tanpa sengaja telah mengguyurku dengan curahan air dari langit ketujuh. Basah. Kepalaku, tubuhku, pakaianku, semua basah oleh air hujan yang tiba-tiba menyapa bumi ini. Aku bergegas mencari tempat berteduh, segera aku menyebrang jalan, menuju halte pemberhentian di depan kafe. Kebetulan sekali, hanya ada aku dan seorang pria yang juga sedang berteduh, ia berdiri tepat di sebelahku. Seorang pria dengan kemeja kerja dan tas laptop yang diapitnya. Lebih tinggi dariku, dan ia... Ah dia melihatku memperhatikan dirinya. Aku segera mengalihkan pandanganku ke depan jalan, menatap setiap jalan yang ramai dilalui kendaraan. Kemudian tanpa sengaja mata kami bersirobok, kali ini ada senyum yang mengembang di wajahnya yang memantulkan setitik cahaya matahari sore. Meski mendung dan dingin di sini dan di hatiku, aku merasa ada secercah hangat yang merasuki dadaku. Senyumnya mampu menghilangkan hampir setengah kepedihan.
"Kamu sendirian?" sapanya,
"Kenalin, aku Gery," ia melanjutkan sembari mengulurkan tangan. Aku menengok dan membalas senyumnya.
"Sekar," jawabku pendek saja. Masih ada setengah curiga pada Gery karena baru saja berkenalan secara tidak sengaja dan aku masih memilih logikaku untuk bertahta. Tak lama, bus yang hendak dinaikinya datang, dia melambai dan tersenyum, pamit padaku dan berkata,
"Sampai ketemu lagi ya, Sekar!"
Dalam hati aku berdoa, jika Gery orang baik semoga akan ada pertemuan selanjutnya. Hujan masih belum selesai, dan semakin banyak orang yang datang ke halte ini. Aku semakin tidak nyaman, kuputuskan untuk naik mikrolet yang sedang berhenti di depan halte ini dan berteduh di dalamnya, kemanapun tujuannya. Aku masuk dan lagi-lagi, kebetulan sekali hanya ada satu kursi kosong di sebelah kanan. Aku segera mengambil alih, duduk di sebelah pemuda yang mengenakan kaus oblong, yang memiliki fisik menarik, meski tidak terlalu tampan.
"Kayak anak kecil. Masa nangis karena hujan. Haha," orang di sebelahku membuka pembicaraan. Duh! Aku sedang ingin sendiri tapi begitu banyak orang tak dikenal yang menyapaku hari ini. Aku tersenyum pelan, malas berdebat.
"Sekar... Sekar... Jangan karena hujan kamu menangis dong," dia kembali berujar.
"Eh?" Aku sedikit terkejut bagaimana bisa dia memanggil namaku. Tapi tak lama ia menunjuk punggung tangan kiri milikku yang memakai tattoo bertuliskan namaku. Aku hanya diam, sengaja, aku sedang tidak mood menanggapi orang yang tidak kukenal. Orang tersebut mencoba menarik perhatianku lagi, "Sekar, kok diam aja sih,"
Aku kembali mendiamkannya.
Untuk mencegahnya mencoba menggangguku, aku turun di halte depan, lalu menyeberang ke sebuah toko buku antik. Aku pun masuk dengan muka bertekuk masam, menghalau semua amukan perasaan yang tercampur aduk hari ini. Kulangkahkan kakiku menuju rak buku paling ujung. Paman penjaga toko menyapaku ramah,
"Halo, selamat datang, silakan dilihat-lihat," aku tersenyum sambil menunjuk rak di ujung,
"Saya lihat-lihat dari rak sana ya, Paman,"
paman penjaga hanya mengangguk dan mempersilakanku untuk melanjutkan.
Dua puluh delapan menit sudah kuhabiskan membuka salah satu buku mengenai mimpi. Kemudian mataku menangkap sosok familiar. Lelaki yang tadi kutemui di halte! Gery! Semesta pasti sedang berkonspirasi!
"Pa, ini Gery sudah dapat koneksi dari kolektor buku antik yang mau menjual beberapa buku koleksi mereka,"
Kudengar Gery berkata. Ah, ternyata dia anak pemilik toko buku antik ini. Sungguh tidak terduga secepat ini doaku dikabulkan. Gery menatapku, rupanya ia sadar sedang di perhatikan.
"Sekar! Senang sekali kita bisa bertemu di sini. Ada yang bisa kubantu, atau kucarikan buku, atau kamu mau apa? sini biar kubantu,"
Gery bertanya dengan antusias. Aku tersenyum singkat, lalu menggeleng pelan sambil menunjukkan satu buku tentang mimpi yang ada di hadapanku. Gery mengangguk. Ia menaruh buku-buku antik yang ia pegang ke depan meja paman yang tadi menyapaku, lalu ia menghampiriku.
"Suka meramal?"
Gery bertanya lagi. Kali ini ia sudah ada di hadapanku. Aku menggeleng lagi, kali ini dngan sedikit tertawa. "Hahaha, enggak. Tapi aku suka baca buku ini, menambah pengalaman dan aku jadi bisa tahu banyak hal," ucapku cepat.
"Apa yang kamu tahu soal mimpi?" Gery kembali bertanya. Entahlah ini sekadar basa basi atau memang penasaran.
"Aku mimpi seseorang meninggal. Itu artinya dia akan segera menikah. Kata buku ini sih,"
selorohku datar. Iya, aku bermimpi tentangnya meninggal, tentang seseorang yang selama ini menjadi pelaku sejarah dalam hidupku, Herdi. Aku menimbang-nimbang buku tersebut di tanganku. "Sepertinya aku akan membeli ini,"
kataku pelan dan Gery mengacungkan kedua ibu jari nya, tanda setuju. Kuambil buku bersampul ungu tersebut. Aku pun pamit pada Gery untuk pulang karena langit semakin menggelap. Sebelum kakiku sampai di pintu kaca depan, Gery menahanku,
"Sekar, tunggu, biar kuantar!"
Spontan kujawab, "Tidak apa-apa Ger, aku bisa sendiri kok."
Namun Gery memaksaku, Paman pemilik toko hanya tersenyum dan mencoba meyakinkanku kalau Gery bukanlah orang jahat. Entah mengapa aku percaya dan menurut. Dengan Vespa metaliknya, Gery mengantarku. Kami bercanda sepanjang jalan, menertawakan apa saja yg dilalui si Perak, nama vespa Gery.
Satu jam perjalanan kami sungguh tidak terasa. Seakan-akan waktu melayang, seperti sebuah kupu-kupu yang beterbangan riang di perutku. Terasa ada desiran aneh saat Gery melambaikan tangan sambil menyunggingkan senyum,
"Selamat tuan putri, kamu sudah sampai rumah. Sering-sering mampir ya ke toko ayahku," lalu Gery berlalu, hatiku bertalu-talu. Pipiku merona malu-malu.
Si perak dan pengendaranya mulai bergerak menjauh dari pandanganku. Aku segera membalikkan badanku, hendak masuk ke dalam rumah tapi ada sesuatu di depan rumahku, sesuatu yang sepertinya terjatuh sebelum Gery berpamitan. Aku memungutnya, sebuah dompet kulit berwarna coklat tua tanpa tanda pengenal, tanpa sepeser pun uang, hanya sebuah kumpulan struk transaksi pmbelian buku dan beberapa catatan penting hasil penjualan buku serta satu buah foto Gery dan seorang wanita. Aku memasukkannya ke dalam kantung bersamaan dengan buku mimpi berwarna ungu. Segera aku membuka pintu kamarku, harus merebahkan tubuh dan melepas semua penat hari ini. Aku... Pikiranku kalut, seolah-olah instrumental bernada kesedihan karya mozart tengah berputar-putar dalam ingatanku, semakin kalut saat melewati figura berisi fotoku dengan lelaki masa lalu itu, 'ah menambah suasana menjadi lebih melankolis saja' batinku.
Sebentar. Aku terdiam sejenak dan kembali membuka foto yang ada di dalam dompet milik Gery.
Benar saja. Dugaanku benar. Wanita yang ada di sebelah Gery dalam foto tersebut, adalah Desfi. Wanita yang kulihat sedang menyandarkan bahunya pada lelaki masa laluku.
Ah, semesta berkonspirasi!
Ada apa sebenarnya antara Gery dan Desfi? Malam itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Foto Gery dan desfi bergentayangan di kepalaku. Akhirnya desakan di kepalaku diterjemahkan dengan baik oleh tanganku yang kini tengah memencet nomor telepon Herdi.
"Halo, Sekar?" terdengar suara Herdi di seberang sana. Meski jantungku masih berteriak hebat, aku memutuskan untuk memberitahunya perihal Gery dan foto yang kutemukan di dompetnya. Herdi nampak terkejut, seraya berkata, "Masa sih Kar? Hmm... Kemarin ada yang aneh sih, pas kita berdua lagi makan malam, Desfi sempat ke toilet, dan ponselnya yang tergeletak di atas meja menyala, ada telepon dari seseorang yang bernama Gery itu,"
Aku terhenyak. Tak kusangka kenyataannya begini, baru saja aku merasakan secercah harapan dengan hadirnya Gery, tapi kemudian harus dihempaskan kembali ke bumi.
"Kita harus membuktikannya secara langsung, Di," balasku. Suara di sebrang sana terdiam sejenak, seolah sedang berpikir dan berlagak untuk memecahkan perihal yang baru saja aku utarakan. "Gausah Kar, aku bisa urus sendiri masalahku," klik. Telepon dimatikan secara sepihak.
Sama halnya dengan Herdi yang berlagak detektif untuk memecahkan masalahnya, aku juga tergerak untuk menyelidiki ada hubungan apa antara Desfi dan Gery. Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin tahu.
•••
Sama seperti suasana pagi setiap harinya, matahari terbit dari ufuk timur. Sinarnya masuk melalui celah-celah gorden yang masih menutupi ruangan kamar berwarna ungu. Aku terbangun bukan karena sinar matahari pagi yang menyentuh dengan hangat, tapi lebih tepatnya karena seseorang meneleponku. Kuangkat dengan malas tapi hati tak memanas.
"Halo sayang, sudah bangun?" suara yang entah sedang melakukan apa menyapaku. Aku tersenyum singkat, walau kutahu ia tak akan bisa melihatku sedang tersenyum. Aku menjawab pertanyaannya lalu kami berbincang-bincang, sekadar mencairkan suasana, lalu ia menutup teleponnya setelah kami sepakat untuk bertemu jam dua nanti selepas makan siang. Aku masih tersenyum sendirian, membayangkan betapa indahnya hidupku ini, berterimakasih pada bumi karena tidak melenyapanku dari semesta ini. Kupeluk bantal yang sedari tadi menjadi saksi kegilaanku. Bantal yang selalu menjadi saksi bisu. Padahal nyaris enam bulan yang lalu, aku masih menangis tersedu-sedu mengingat semua kenanganku bersama Herdi, lelaki masa lalu itu. Namun Dewa-Dewi langit berbaik hati kepadaku, memberikan sekali lagi kesempatan untukku mengecap manisnya rasa suka, tawa, cinta, dan kebahagiaan. Aku kini bahagia, dengan seorang lelaki yang berstatus sah denganku. Namanya dan namaku di sematkan dalam dua buah buku berukuran kecil yang sangat sakral berwarna merah dan hijau. Dia, pemuda asing berkaus oblong yang kutemui di bus kota enam bulan lalu, yang tanpa basa-basi menegurku dan mengetahui namaku lewat tattoo yang menempel pada punggung tangan kiriku. Dia suamiku sekarang. Ia baru saja tiba di negri Kangguro kemarin sore. Aku akan segera menjemputnya, menyambut masa depanku yang akan ku abadikan dengannya di negri ini, negri yang tidak ada kaitannya dengan masa laluku. Jika tidak karena enam bulan lalu kami berempat dipertemukan
oleh semesta secara sengaja, mungkin tidak pernah ada pengakuan jujur dari mulut Gery.
Mungkin juga aku tidak akan di sini, berbahagia dengan suamiku sekarang.
Saat itu yang kuingat hari hujan dan jam telah menunjukkan pukul 12 malam.
Aku yang saat itu sedang menonton pertunjukan musisi favoritku di salah satu acara pagelaran jazz di sebuah kampus di Depok berteduh di dekat panggung.
Tidak disangka ada dua orang lain yang berlari menuju salah satu tenda sponsor acara untuk berteduh bersamaku dan Gery, ya mereka adalah Desfi dan Herdi! Saat hendak mengeluarkan ponsel dari dalam tasku, jatuhlah foto yang kutemukan di dompet cokelat Gery. Foto Gery dan Desfi melayang dan jatuh di ujung kaki kanan Herdi. Meski penerangan tidak begitu benderang, kulihat Herdi mengenali perempuan di foto itu. Ia lantas memungut foto tersebut untuk bertanya pada Desfi, "Ini ada foto kamu, dengan siapa?"
Desfi nampak terkejut, tak terkecuali Gery. Mereka langsung berebutan berusaha menyembunyikan kertas berisi gambar mereka tersebut. Ada beberapa menit jeda sebelum akhirnya meluncurlah pengakuan dari Gery kalau ia hanya ingin Desfi kembali ke pelukannya. Ia tahu bahwa aku mantan kekasih Herdi dan karenanya ingin membuat kami kembali ke
pasangan kami semula. Alasan yang sangat kekanak-kanakan. Hampir saja aku terbahak geli.
Meskipun aku masih amat menyayangi Herdi, bukan berarti aku menginginkannya kembali. Mungkin Gery merasa seperti dihakimi, malu sendiri.
Aku hanya menepuk pundaknya dua kali, mengagguk kepada Herdi dan Desfi lalu menembus hujan yang masih deras. Meninggalkan drama penuh intrik yang
menggelikan. 'Lagipula siapa yang peduli lagi, toh aku akan segera pergi meninggalkan negara ini,' Begitu pikirku enam bulan yang lalu. Dan tak kusangka, seseorang berkaus oblong itu kembali duduk bersebelahan denganku saat di pesawat menuju negri Kangguru. Dia sedang membaca sebuah buku tentang mimpi, tapi setelah dia melihat wajahku saat itu, yang dia katakan padaku sangat sederhana,
"Cinta itu bisa datang secara kebetulan, Sekar. Sepertinya... Aku jatuh cinta padamu, tanpa koma, tanpa tanda kutip, tanpa garis miring, hanya nuktoh,"
*fin*
Nb: Nuktoh-titik (bahasa arab) .
Kolaborasi cerpen karya @nengayuu dan @unidzalika
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)