Setetes darah jatuh menghujam tanah berlapis salju. Pagi ini sangat dingin. Suhunya mencapai -0° Celsius dan kabut terlihat menyelimuti langit. Aira menyeka hidungnya. Sudah kali kedua dia mengalami mimisan. Sungguh, udara dingin seperti ini sangat membunuhnya. Dia merogoh tasnya, mencari-cari tisue atau apa saja untuk membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya. Kosong.
Tasnya kosong. Dia ingat kalau semalam ada sekawanan penjahat yang merampoknya, mengambil seluruh isi tasnya, dan menyisakan tas tak berguna itu dengan dirinya di tengah kota bersalju. Aira kehilangan arah, tak tahu dimana dirinya berada dimana sekarang.
Matahari linglung tak berdaya diselimuti kabut dingin bercampur hamparan salju hari itu. Aira mencoba menjejakkan kaki menganalisa tempat asing itu, menengadahkan wajahnya, mencari secercah hangat dari bias matahari.
Sial, rutuknya. Darah semakin deras mengucur dari hidungnya. Perih meranggasi indera penciumannya itu, dia mengupayakan daya terbaiknya meraih bangku taman untuk rehat sejenak. Dia pejamkan matanya, mencoba merasakan dengan khusyuk rasa sakitnya, menelaah apa yang salah. Ah, airmatanya tumpah, dia mengingat sesuatu yang lebih menyiksa dari dingin yang menusuk- nusuk tulangnya.
Ada sesuatu di tas itu yang terenggut darinya. Sama seperti hangat yang direnggut udara dari tubuhnya. Sebuah kotak hitam milik ibunya, satu-satunya kenangan berharga yang menautkan Aira deng wanita yang melahirkannya itu. Kotak berisi penjelasan dan alasan mengapa dia harus menempuh ribuan kilometer meninggalkan kota kelahiran. Dan akhirnya harus terdampar di tempat yang bersalju ini. Terpaan udara dingin tidak mampu dihalangi oleh jaket tipis yang dikenakannya. Aira menggosok kencang telapak tangannya berusaha menghasilkan panas, walau itu pekerjaan sia-sia. Dia akhirnya beranjak dari bangku dan berjalan menyusuri jalanan yang sudah tertimbun salju lebat.
“Sebentar!”
Ada sesorang yang memegang lengan Aira sesaat sebelum beranjak meninggalkan bangku taman. Aira menoleh, terbelalak melihat sosok lelaki yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Bukan terkejut karena wajahnya, Aira melihat kotak hitam miliknya ada di dalam genggaman lelaki itu.
“Itu punyaku! Kembalikan!”
Aira merampas kotak hitam itu dari lengan lelaki tersebut. Dia segera membukanya, memastikan apakah isinya masih lengkap atau tidak. Hening.
Bukan. Itu bukan kotaknya. Isinya hanya sebatang pipa rokok dan satu pemantik api. Aira terkesiap, matanya panas oleh emosi. Dingin tak sebanding dengan kelu hatinya kehilangan benda kesayangannya itu. Ingin rasanya dia menjambak rambut lelaki itu. Menanyakan kemana isi kotak tersebut, atau apakah dia melihat kotak serupa tapi dia tak ada daya. Seluruh tenaganya tersirap habis melawan dingin. Lelaki itu mengernyit heran, dia berusaha memahami apa yang terjadi pada Aira. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan bertutur fasih dalam bahasa Hindi.
“Kyun? Bolo?”
Lelaki itu menanyakan keadaanya Aira hanya menatap dalam pandangan lelaki itu, tanpa berdaya melayarkan kata kata. Rasa dingin bercampur lelah membuat tubuhnya terasa lemah. Aira merasakan sekelilingnya berputar, dia terhuyung dan akhirnya semua menjadi gelap.
Hal terakhir yang diingatnya adalah dekapan hangat dan bau cerutu. Entah milik siapa, mungkin lelaki di hadapannya tadi atau mungkin juga orang asing.
Aira terbangun dalam ruangan kamar yang cukup nyaman walau agak remang. Gemuruh angin terdengar mengetuk-ngetuk daun jendela, sepertinya di luar sedang badai. Baru kali ini dia mengalami kesialan berturut-turut. Pertama isi tasnya dikuras perampok jahanam tanpa menyisakan apapun yang bisa digunakan padahal dia berada di tempat asing, kedua adalah bangun dan lagi-lagi berada di tempat yang asing entah ini kamar milik siapa.
Aira memperhatikan tubuhnya, pakaiannya masih utuh walau dia sudah tidak mengenakan jaket. Ujung celana jinsnya basah karena salju. Matanya menjelajah isi kamar, cukup luas dan mewah terlihat dari lukisan dan hiasan-hiasan yang memenuhi kamar. Di sebuah rak di sudut ruangan dia melihat jaket merah miliknya, terlipat rapi. Pintu kamar berderak, seseorang muncul membawa semangkuk sup.
“Kamu pasti belum makan, ini makanlah.”
Seorang lelaki muda berusia awal 20-an. Mata Aira waspada mengamati pergerakan pemuda itu.
“Kamu bisa bahasa Indonesia?” Sebuah tanya meluncur dari mulut Aira karena jelas pemuda di depannya tidak tampak seperti orang Indonesia. Wajahnya saja mirip salah satu personil One Direction, hanya rambutnya lebih panjang dan ikal. Ada sapuan jambang tipis di wajah pemuda itu menambah ketampanannya.
“Ibuku orang Indonesia, orang Sunda tepatnya. Ayahku orang Rusia.”
Pemuda itu tersenyum memamerkan barisan gigi putih yang rata.
“Namaku Darian, kamu siapa?”
“A..aku Aira. Ini dimana? Kenapa aku bisa sampai disini?”
“Justru harusnya aku yang bertanya, sedang apa kamu di kota ini, Aira?”
Tanya Darian tajam. Aira terdiam. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Seolah dia sedang mencoba mengingat segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Membayangkan semua potongan kejadian yang terasa singkat tapi tak terlupakan. Ingin rasanya dia memaki-maki, mengutuk, dan mengeluarkan semua kekesalannya pada Darian, lalu menangis kencang dan mencurahkan semua perasaan kalutnya. Tapi sedetik kemudian Aira berubah pikiran.
“A-aku… Aku tidak ingat apapun selain namaku. Aku hanya ingat namaku saja”
Berbohong. Tentu saja di situasi seperti ini dia tidak mungkin menceritakan kelemahannya pada orang yang baru saja dia kenal.
“Lalu siapa nama Ibumu? Ibuku juga berasal dari daerah yang sama,” ucap Aira, mengganti topik.
“Sarah. Dan nama Ayahku… Kamu bisa tanyakan padanya nanti jika bertemu. itupun jika kamu masih mau disini.”
Sedetik kemudian pintu berderak lirih, keduanya terkesiap dan berusaha mengivestigasi sosok bersepatu bot yang langkahnya semakin kencang, pertanda dia melangkah semakin dekat pada Aira dan Darian.
“Ian kto eta devushka?” Tanyanya dalam bahasa Rusia dengan suara berat.
“Bisa bahasa indonesia dia,” timpal Darian.
Aira menganalisa lelaki yang ditebaknya sebagai ayah Darian, kumis tebal menambah garang air mukanya, bootnya penuh dengan lumpur.
“Kenapa disini?” Tanyanya ketus.
“Kedinginan om, kalau boleh aku tinggal disini sampai besok, kalau boleh?” Ujar Aira setengah memelas.
Entah kenapa Aira memohon begitu, bagian dari dirinya meminta untuk tinggal.
“Tidak bisa. Pergi!” ujar pria itu tanpa ampun. Aira terhenyak, tak percaya atas balas kata pria garang di hadapannya. Aira berharap dengan muka yang memelas bisa menerbitkan iba pada hati ayah Darian.
Darian mengambil langkah dan menarik napas panjang,
“biarin aja sih. Masalahnya juga apa dia disini, kamar mama juga kosong” ujarnya setengah melotot, setiap jeda dari kalimatnya mempertegas sisi pemberontakan dari dirinya.
Lalu waktu menjadi senyap. Detik demi detik terlalui, ketiga orang dalam ruangan terperangkap dalam kesunyian. Aira ingin berubah pikiran ingin lari saja rasanya.
“Baiklah, kamu boleh tinggal. Hanya untuk malam ini saja.”
Ayah Darian akhirnya mengalah dan berlalu dari kamar sehingga kekakuan di antara mereka sedikit mencair.
“Aku akan menyiapkan baju ganti untukmu. Kamu makan saja dulu.” Darian baru akan beranjak namun aira menahannya.
“Siapa yang membawa aku kesini?”
“Penjaga rumah kami, Salman. Dia bertemu denganmu ketika kamu hampir pingsan di jalan."
Aira berasumsi kalau lelaki berwajah Hindi yang ditemuinya di taman tadi adalah orang yang membawanya kesini.
Perutnya bergemuruh, uap sup menggoda indera penciumannya dengan lahap dia menghabiskan sup kental yang gurih itu. Sejam kemudian seseorang masuk membawa tumpukan pakaian bersih, seorang perempuan setengah baya dengan wajah familiar.
“Ibu..” Aira tersentak melihat siapa yang masuk.
“Ka..kamu siapa?” Tanya perempuan itu, dia mengenakan setelan baju putih bersih layaknya perawat yang sepertinya dia salah satu pekerja di rumah besar ini.
“Aku Aira ibu, anakmu. Aku kesini mencarimu..”
Perempuan yang dipanggil ibu memandang Aira dengan tatapan kosong seolah tidak mengerti bahkan mengenali sosok Aira.
“Maaf nona tapi aku tidak mengenal anda. Aku hanya pelayan disini dan tidak menikah.”
Ibu separuh baya tersebut menunduk. Dia menyodorkan setumpuk pakaian pada Aira.
“Sebaiknya anda lekas mengganti pakaian anda.” Ibu itu kembali berujar. Aira masih menatap wajah Ibu separuh baya itu. Dia sangat mengenalinya. Sangat hafal dengan setiap kontur wajah ibunya. Tapi orang di didepannya ini justru mengaku tak mengenalnya. Aira merogoh kantong bajunya, mengeluarkan foto dirinya dan sesosok wanita paruh baya yang sedang berangkulan, di belakangnya kokoh dengan megah candi Borobudur.
“Ini aku dan Ibu. Apa anda tidak mengenalinya? Bu, aku sudah lama mencarimu.” Aira menyodorkan foto itu. Membiarkan wanita itu melihatnya. Ada sedikit anggukan dari ibu tersebut, mengakui memang mirip wajahnya.
Dalam hati Aira mengutuk kesal, mengapa kotak hitam yang berisikan tentang ibunya hilang. Wanita berpakaian putih itu hendak mengatakan sesuatu, tapi Darian segera masuk kamar.
“Bu, kalau sudah selesai segera keluar. Biar Aira istirahat.”
Ibu itu mengangguk, membungkukkan sedikit tubuhnya pada aira dan mengembalikan foto milik aira, lalu keluar kamar.
“Dia mirip ibuku.”
Ucap aira. Darian duduk disamping Aira. Dia mendesah perlahan tak menanggapi ucapan Aira. Lalu dengan perlahan Darian berkata,
“Aku mau beritahu sesuatu. Ayahku Rasis. Jadi jangan coba-coba kamu berkata sesuatu yang tak mengenakan di rumah ini.”
Kemudian Darian menceritakan bahwa Rasisme di Rusia biasanya terjadi pada bulan April, karena pada bulan tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun Nazi.
Ya, rasis mengikuti paham nazi yang merasa mereka kelas unggul dan sangat membenci orang asing. Mereka bukan di bunuh karena kesalahnnya, tapi karena mereka orang asing.
“Ya, sebenarnya bukan hanya Ayah, aku juga. Dan kamu tahu ini bulan apa?.”
Aira terdiam. Ia melirik sudut kamar ruangan itu, sebuah kalender berbahasa Rusia menuliskan bahwa sekarang bulan April.
“Maaf Aira. Kami tidak bisa membiarkan kamu tinggal disini.”
Darian mengeluarkan sebuah Revolver, senjata berkamar peluru yang berputar dengan kaliber peluru 50 cal. Darian menutup matanya, menodongkan senjata tersebut tepat di kepala Aira. “Maaf”
Tes!
Setetes darah mengalir, dua tetes, bahkan tetesannya semakin membajir lantai kamar.
Aira tersengal-tesengal. Nafasnya naik turun. Tubuh Darian bersimbah darah, mati. Terbujur kaku di pangkuannya. Di depan pintu Ibu separuh baya itu menatap kaku, memegang pistol kecil di tangannya. Menyisakan penuh tanda tanya untuk Aira.
Tubuhnya gemetar, terhenyak. Lalu keheningan tercipta di rumah itu, di kota sunyi Grozny, Rusia.
Hasil threesome wanita pembela kebenaran : @unidzalika, @mochariana & @naztaaa
Published with Blogger-droid v2.0.10
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)