"Kamu kenapa tidak mau menikah lagi?"
Tanya suamiku di tengah malam. Aku menggeleng. Ia menyalakan sebatang rokok dan asap segera mengepul di udara.
"Buat apa?" Tanyaku datar. Kubiarkan dia mengisap rokok sementara aku menatap wajahnya lekat-lekat. Sudah lama sekali kami tidak dekat. Ada banyak hal yang membuat kami terpaksa terpisah meskipun tak dapat dipungkiri, kami masih saling mencintai.
"Ya buat bantu jaga anak-anak. Buat kasih nafkah, dan buat nemenin kamu," katanya dengan santai. Aku ingin sekali memeluknya, tapi atas satu dan lain hal alasan, kutahan sejak awal.
"Nggak perlu bang. Aku bisa urus anak-anak sendiri. Aku kerja, bisa nafkahi mereka, dan aku tidak merasa kesepian. Aku nggak butuh menikah lagi," kataku mantap. Jawabanku bukan semata untuk menyenangkan dia, memang begitu keadannya. Aku tidak butuh menikah. Buatku, menikah dalam hidup cuma sekali. Dan itu sudah kulakukan pada bang Damar. Di tengah kepulan asap, dia tertawa.
"Aku memang tidak salah memilih ibunya anak-anak. Ng... Bagaimana keadaan mereka?"
Aku tersipu malu. Lalu kuacungkan jari telunjuk ke arah pigura di meja ruang tamu. Bang Damar berdiri, mengambil pigura tersebut. Lalu ia kembali duduk di atas sofa berwarna abu-abu. Aku bergeming, masih di tempat semula. Kusesap teh buatanku sendiri sebelum memulai pembicaraan.
"Itu Adit, sekarang sudah kerja di kelautan. Jangan tanya seperti apa kerjanya, aku tak tahu."
"Hmm."
"Itu Andi. Masih kuliah jurusan Akuntansi. Jangan tanyakan juga seperti apa susahnya, aku tak paham."
"Hmm. Yang ini pasti Azura. Cantik sekali, seperti mamanya."
"Ya, masih kuliah juga jurusan Hukum." Tambahku. Dia mengangguk, mengerutkan dahinya, sesekali tersenyum.
"Mereka mirip juga denganku, ya."
Kali ini aku yang tertawa. Jelas saja, Damar memang bapaknya mereka.
"Anita... Maaf."
"Kenapa?" Tanyaku pelan. Maaf karena telah meninggalkanku? Ah, sudah lama sekali itu terjadi. Nyaris 20 tahun ditinggalkan secara mendadak dan sekarang kamu datang sambil meminta maaf. Hati ini sudah terlalu kebas menghadapi kepedihan.
"Maaf aku datang ke sini mendadak, aku mau menjemputmu. Kita bisa tinggal bersama lagi."
"Eh?"
"Iya. Aku akan menjajinkan hidupmu lebih baik. Aku menghilang selama ini, tersiksa sekali tanpamu. Ayo ikut denganku."
"Ke mana bang? Azura dan Andi belum pulang. Aku harus menyiapkan makan malam."
"Mereka sudah dewasa, mereka pasti suka mamanya tinggal bersama papanya lagi. Ayo ikut. Aku datang menjemputmu."
-----
"Maaa, rotinya Rara jangan lupa kasih keju dua slice." Teriak Azura kecil dari dalam kamar. Pukul setengah tujuh pagi. Aku dengan cekatan menaruh semua makanan ke dalam rantang, menyusunnya dengan rapi, dan membawanya ke ruang tamu.
"Sudah, Azura. Jangan dibiasakan teriak-teriak sayang. Ayo kalau sudah siap kita langsung masuk mobil. Papa udah nunggu tuh,"
Aku menghampiri kamar Azura. Dia masih sibuk berdandan. Jemarinya yang mungil cekatan mengepang rambut. Aku kemudian membuka pintu kamar yang berhadapan dengan kamar Azura. Adit dan Andi kompak sedang memakai kaus kaki.
'Iya ma, iya. Bentar lagi." Katanya berbarengan.
Hari senin memang mereka sibuk bersekolah. Bang Damar malah sudah menunggu di mobil sejak tadi. Dia memang ahlinya tepat waktu. Anak-anak keluar rumah, menyalamiku sebelum masuk mobil.
Dan rumah seketika sepi.
Kulanglahkan kaki ke dalam rumah, bersiap membereskan kekaucan pagi yang selalu menjadi pekerjaan sehari-hari. Anak-anak memang perlu belajar me-manajemen waktu lebih baik. Kumulai membersihkan rumah dari pojok ruang tamu, dan mataku tertuju pada pigura kecil di atas meja yang ada di pojok ruangan. Fotoku dengan bang Damar. Tanpa anak-anak. Aku duduk sejenak, memandangi foto kami yang sedang bergandengan tangan. Mesra.
"Aku ingin menikahimu,"
"Tapi bang, kita bahkan baru kenal seminggu yang lalu." Kataku ragu. Bukanya aku tak mau, aku hanya takut keputusan ini terlalu cepat.
"Aku serius. Ibuku menyukaimu. Aku pun yakin kamulah orang yang paling tepat untuk menjadi pendamping hidupku. Kita menikah, oke?"
Aku kembali mengingat pertemuan kami. Di kampus, di tempat paling ramai. Di saat aku dan dia sama-sama memesan seporsi bakso dan duduk saling berhadapan. Selesai. Dua tahun kemudian tanpa sengaja kami bertemu lagi. Di rumah makan sebrang jalan, yang ternyata kantor kami bersebelahan. Seminggu setelahnya, kami di sini. Dan ia mengajakku menikah, tanpa ragu mengeluarkan cincin putih.
"Bagaimana?"
"Uhm, bang... Apa ada alasan untuk menolak?" Kataku pelan, yang disambut dengan senyumannya yang semringah.
Tok tok!
Suara pintu diketuk dari luar. Lamunanku tentang masa lalu segera buyar. Aku menaruh kembali pigura ke tempat asalnya. Dan membuka pintu. Seorang petugas berseragam membawa setangkai bunga mawar merah dan sekotak bolu.
"Dengan ibu Anita?"
"Iya, saya. Kenapa?"
"Ini untuk Anda. Dikirim atas nama Damar."
Bunga itu berpindah tangan. Adanya bunga ini, menandakan ia sudah sampai di kantor. Ya, kebiasaan itu sudah dilakukan sejak awal menikah. Mengirimkan bunga. Aku sendiri memutuskan berhenti bekerja dan memaksimalkan waktu di rumah, mengurus keluargaku.
"Terima kasih." Kataku riang.
-----
"Jadi, bagaimana rasanya hidup tanpaku?" Damar mengepulkan asap lagi. Rokok kedua.
"Buat apa ditanya? Kamu nggak perlu tahu gimana tersiksanya tidur sendiri. Kamu nggak akan tahu sakitnya berjuang sendiri mengurus tiga anak. Kamu nggak perlu tahu, bang."
Dia kembali terkekeh. Matanya menerawang, menatap keluar rumah melalui jendela yang tirainya terbuka.
"Terima kasih sudah menjelaskannya, Anita. Kamu nggak berubah ya."
"..."
"Kamu menyesal, menjadi orangtua tunggal?"
Tanyanya lagi. Aku tersenyum, segera menyesap teh untuk mengaburkan rasa sedihku. Kali ini tehnya terasa pahit.
"Tidak, bang. Ini namanya pilihan. Aku cukup sekali mencintai orang. Kalau pun dia pergi meninggalkanku, aku tidak akan mencari penggantinya. Ah, buat apa di bahas sih, bang,"
Kataku sedikit bergetar, nyaris menitikkan air mata. Andai saja... Andai saja dia tidak pergi dari rumah ini. Andai saja selama 20 tahun ini dia selalu ada, memantau perkembangan anak-anak, Andai saja..."
"Maaf, sayang. Setidaknya sekarang aku tahu, cintaku untukmu tidak pernah salah. Kamu memang orang yang tepat,"
Aku terdiam. Dia mengulurkan tangannya. Ayo, ikut denganku. Kamu tidak akn merasa sakit atau tersiksa lagi karena aku akan selalu bersamamu."
Ragu-ragu aku menyambut ukuran tangannya, kupikir ada baiknya juga aku ikut. Sesekali, memilih memanjakan keinginan, sepertinya bukan masalah besar. Toh, anak-anak sudah dewasa dan sanggup hidup tanpaku. Aku menatap mata (mantan) suamiku, tanganku terjulur kearahnya. Tapi pintu rumah diketuk keras, suara Azura. Aku bergegas membuka pintu kemudian...
.
...Kemudian semuanya silau. Mataku sakit melihat cahaya putih disekelilingku. Samar-samar kulihat Azura duduk di sebelah ranjangku. Rupaya aku di rumah sakit.
"Mama sudah sadar?" Tanya Andi. Dia ada di sebelah Azura. Kulihat pula Adit datang dari luar dengan seorang lelaki berjas putih di belakangnya.
"Syukurlah, mama sudah sadar. Kami tahu, mama akan terbangun walaupun sudah koma setahun belakangan."
Aku menangis. Almarhum suamiku gagal menjemput.
Waw.. unpredictable sekali ya endingnya.
BalasHapusTernyata itu tadi proses koma, proses di mana si tokoh berada di antara hidup dan mati, sudah hendak ikut suami, tetapi agaknya anak-anak masih membutuhkan ibunya. Ah, merinding juga bacanya. Hehe..
Cuma saran aja, tulisannya dibuat rata kanan-kiri ya, enggak sih, biar lebih rapi aja.
Nice post......
Hehe iya, makasih loh kak, sudah baca.
HapusWah, selama ini nulis blog via hape jadi gatau kalau marginnya nggak rata. Makasih banyak untuk masukakknya, akan aku perbaiki as soon as possible. Thanks for visit ^^
Waaa....keren...ending.a kagak ketebak tadi pas baca dari awal....hehe...salam kenal yaa...
BalasHapusYa, ceritanya emang wajib teliti bacanya, kalo silap2 kita bingung endingnya. :)
BalasHapusKunjungan pertama Pangeran Wortel
Ya, ceritanya emang wajib teliti bacanya, kalo silap2 kita bingung endingnya. :)
BalasHapusKunjungan pertama Pangeran Wortel