(Kalau Anda membutuhkan cerita segar yang bernuansa anti mainstream, silakan tutup rapat-rapat bacaan ini. Saya tidak bisa menyuguhkan tulisan berkualitas. Tapi, kalau memang Anda senggang, tolong bacalah setidaknya sampai paragraf akhir. Ini tentang dia (yang selanjutnya saya sebut dengan 'kamu' untuk memudahkan plot cerita) yang baru-baru ini selalu membuat saya tersenyum).
Hai, kamu.
Saya baru saja berdoa pada Tuhan, agar kamu selalu sehat meski jarang makan. Baiklah, walaupun kamu malas makan, semoga kamu tidak malas membaca.
Untuk menerima bahwa kamu tidak pernah mencintai saya sangatlah sulit. Saya acap kali memaki diri sendiri, mengatakan bahwa tidak sebanding denganmu, dan menyesal mengenalmu. Tentu saja, lidah bisa menutup rahasia, tapi hati, tidak pernah berbohong. Saya mencintai kamu dan semua yang ada dalam dirimu.
Merasakan semua perlakuan baikmu sungguh membahagiakan. Saya suka cara kamu mendahulukan saya padahal ada yang lebih membutuhkan kamu, senang ketika kamu mendatangi saya dan mengatakan kepada mereka tentang siapa saya. Kamu menghidupkan rasa percaya diri saya, memberikan semua yang saya butuhkan (saat itu), dan meyakinkan bahwa kamu akan selalu ada. Lantas, salahkah jika saya mencintai kamu?
Saya mengerti, mungkin memang saya kurang ajar mengartikan semua sikap baikmu. Pun kelewatan menganggap kamu mengistimewakan saya. Tidak tahu diri karena membiarkan perasaan ini berkembang tanpa bisa dikendalikan. Kamu begini pada semua orang (termasuk saya), dan apakah orang lain mencintaimu juga, atau hanya saya yang tega, membalas ketulusanmu dengan perasaan cinta? Tentunya soal sikap, jiwa ini tahu mana yang basa-basi atau memang dari hati. Sungguh, sejak pertama kali kenal hingga kita bertemu di kemudian hari, saya tahu hati ini tidak pernah salah memilih.
Saya menyadari bahwa jatuh cinta kepadamu memang tidak akan berbalas. Saya akan membiarkan perasaan ini mekar dan layu (suatu hari nanti) dengan sendirinya. Saya mencintai kamu entah sampai berapa lama. Biarkan ia tumbuh tanpa harus kamu matikan secara paksa. Saya tidak takut ketika kamu TIDAK mencintai saya. Selama kamu masih memperlakukan saya seperti yang sudah-sudah, saya akan sangat bahagia. Dengan kamu yang tidak pernah mengabaikan saya, semua sudah cukup. Tenang, saya tidak akan menuntut lebih. Biarlah kamu mencintai orang lain sesukamu, dan biarkan saya mencintai kamu semampu saya. Ini tidak rumit dan semua akan baik baik saja, kan?
P.s (1) : rasanya sakit sekali waktu kamu datang ingin memeluk saya, tapi ada orang lain yang lebih dulu memelukmu dari arah belakang. Rasanya dada saya dikejutkan aliran listrik waktu kamu berusaha memegang pundak saya, tapi ada orang lain yang langsung bersandar di bahumu. Ah, saya selalu kalah cepat dalam segala hal. Mencintai publik figur memang menyulitkan.
P.s (2) : Kamu, jangan lupa makan.
Hai, kamu.
Saya baru saja berdoa pada Tuhan, agar kamu selalu sehat meski jarang makan. Baiklah, walaupun kamu malas makan, semoga kamu tidak malas membaca.
Untuk menerima bahwa kamu tidak pernah mencintai saya sangatlah sulit. Saya acap kali memaki diri sendiri, mengatakan bahwa tidak sebanding denganmu, dan menyesal mengenalmu. Tentu saja, lidah bisa menutup rahasia, tapi hati, tidak pernah berbohong. Saya mencintai kamu dan semua yang ada dalam dirimu.
Merasakan semua perlakuan baikmu sungguh membahagiakan. Saya suka cara kamu mendahulukan saya padahal ada yang lebih membutuhkan kamu, senang ketika kamu mendatangi saya dan mengatakan kepada mereka tentang siapa saya. Kamu menghidupkan rasa percaya diri saya, memberikan semua yang saya butuhkan (saat itu), dan meyakinkan bahwa kamu akan selalu ada. Lantas, salahkah jika saya mencintai kamu?
Saya mengerti, mungkin memang saya kurang ajar mengartikan semua sikap baikmu. Pun kelewatan menganggap kamu mengistimewakan saya. Tidak tahu diri karena membiarkan perasaan ini berkembang tanpa bisa dikendalikan. Kamu begini pada semua orang (termasuk saya), dan apakah orang lain mencintaimu juga, atau hanya saya yang tega, membalas ketulusanmu dengan perasaan cinta? Tentunya soal sikap, jiwa ini tahu mana yang basa-basi atau memang dari hati. Sungguh, sejak pertama kali kenal hingga kita bertemu di kemudian hari, saya tahu hati ini tidak pernah salah memilih.
Saya menyadari bahwa jatuh cinta kepadamu memang tidak akan berbalas. Saya akan membiarkan perasaan ini mekar dan layu (suatu hari nanti) dengan sendirinya. Saya mencintai kamu entah sampai berapa lama. Biarkan ia tumbuh tanpa harus kamu matikan secara paksa. Saya tidak takut ketika kamu TIDAK mencintai saya. Selama kamu masih memperlakukan saya seperti yang sudah-sudah, saya akan sangat bahagia. Dengan kamu yang tidak pernah mengabaikan saya, semua sudah cukup. Tenang, saya tidak akan menuntut lebih. Biarlah kamu mencintai orang lain sesukamu, dan biarkan saya mencintai kamu semampu saya. Ini tidak rumit dan semua akan baik baik saja, kan?
P.s (1) : rasanya sakit sekali waktu kamu datang ingin memeluk saya, tapi ada orang lain yang lebih dulu memelukmu dari arah belakang. Rasanya dada saya dikejutkan aliran listrik waktu kamu berusaha memegang pundak saya, tapi ada orang lain yang langsung bersandar di bahumu. Ah, saya selalu kalah cepat dalam segala hal. Mencintai publik figur memang menyulitkan.
P.s (2) : Kamu, jangan lupa makan.
jadi bingung mo kasih komen apa. hmm..
BalasHapusHai unii aku selalu suka sama tulisanmu, ringa euy
BalasHapusMampi ke aku yaa
hehe. terima kasih sudah baca :)
BalasHapusi like this..
BalasHapusi like this..
BalasHapusItu rasanya sakkiiit..
BalasHapusIni buat siapa sih Uni?
BalasHapusBerasa lagi baca surat cinta orang yang abis patah hati.
Aku yang baper dan nyesek malah. Haha :))