Aku tidak akan bercerita tentang impian masa kecilku. Aku bahkan sudah lupa apa saja mimpiku saat usiaku masih dini. Aku juga tidak akan bernostalgia tentang kita semasa kecil, mengingat masa-masa dulu saat kamu menggandeng tanganku seusai pulang sekolah lalu kita pulang bersama, berjalan kaki. Kita mampir ke suatu bukit di belakang sekolah dan kamu memetik bunga kecil yang berwarna kuning, menaruhnya ke daun telinga kananku, dan melingkarkan sebuah cincin di jari kelingking kananku yang kamu buat dari tumbuhan liar, dan kamu bilang akan menjadi kekasihku kalau kita sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk.
Tidak, aku tidak akan bernostalgia. Yang aku ingin katakan sekarang adalah, aku menyesal karena aku banyak bermimpi tapi hanya untuk diriku sendiri. Ya, seperti yang kamu ingat bahwa aku menginginkan gelar Doktor di belakang namaku, lalu memilikki mobil, mempunyai rumah yang minimalis tapi luas, penuh dengan perabotan yang unik dan langka. Dan di dinding rumahku terdapat puluhan koleksi lukisan antik, serta terdapat taman belakang disertai kolam ikan yang akan menjernihkan pikiran jika aku lelah seharian bertemu polusi. Aku juga bermimpi membuat perpustakaan di dalam rumah dengan ratusan buku yang akan kubaca setiap hari agar ilmuku semakin bertambah. Selain itu, aku punya mimpi (yang menurutku bodoh) dimana orang-orang meminta tanda tanganku karena aku telah menjadi inspirasi dalam hidup mereka. Kamu tahu, di usiaku yang tidak remaja lagi aku berhasil meraih semua mimpiku. Iya, semua mimpi yang kusebutkan di atas. Bahkan aku telah melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah kubayangkan; aku sering melakukan perjalanan keliling benua, menjadi pembicara seminar atau seputar talk show karena ilmu yang kumilikki. Sekarang, apa yang kuinginkan sudah tercapai tapi aku masih selalu kurang puas, sampai akhirnya aku sadar. Mimpi-mimpiku hanya untukku, dan aku telah melupakan orang tuaku, dan membuatmu putus asa karena menungguku terlalu lama. Aku juga merasa kesepian saat rumah yang kupunya ini hanya kutinggali seorang diri, tanpa ada suara tangis anak kecil atau seseorang yang membangunkanku di pagi hari. Lalu untuk apa semua pencapaian ini?
Aku sudah mencapai di titik kesuksesan dalam hidupku tapi jiwa ini kosong.
Orang tuaku kini nyaman di rumah barunya di alam kubur sana. Dan Tuhan seakan enggan mengakui bahwa aku ini ciptaanNya. Juga kamu, kemana?
Aku selalu berada di tengah-tengah ribuan orang yang menyaksikanku memberikan motivasi untuk mereka, tapi aku selalu merasa sendirian, kesepian.
Pertemuan kita lima bulan lalu di toko buku, bagiku rasanya seperti ada hujan di duniaku yang sudah lama kemarau. Kamu tak pernah sadar, aku selalu menunggu kamu pulang ke hatiku. Tapi kamu hanya tersenyum, lalu pamit dari hadapanku. Bahkan bertanya 'apa kabar' saja, kamu tak lakukan. Lalu apa gunanya semua ini jika hanya kunikmati seorang diri? Saat kukejar kamu dan meminta untuk bersamaku hari itu, kamu hanya menjawab, "Maaf, aku tak kenal kamu yang sekarang," dan kalimat itu sungguh menyakiti perasaanku. Aku tidak pernah menyatakan kesedihan ini kepada siapapun, aku tak mau ada orang lain yang tahu tentang hatiku. Aku cukup membagi ilmu yang kupunya dan mereka boleh membedah pemikiran yang ada di dalam otakku, tapi tidak untuk hatiku. Aku menjadi depensif, dan terlalu
kecewa pada diriku sendiri. Seperti yang sudah kusebutkan di atas...
Aku menyesal. Aku bukan menyesal telah memilikki gelar Doktor, bukan menyesal karena berhasil mempunyai rumah dan mobil hasil jerih payahku. Aku menyesal karena setelah di usiaku yang ke 38 tahun ini, aku lebih sering menggunakan kata 'andai saja' . Kata-kata yang menyebalkan tapi terjadi padaku. Iya, andai saja saat itu aku menuruti kemauanmu untuk menikah di usia muda, andai saja aku tidak melanjutkan kuliah, andai saja aku tidak memilih di tugaskan ke luar kota ketimbang menghadiri pemakaman orang tuaku, andai saja saat itu aku mau memenuhi permintaan orang tuamu untuk lebih memikirkan kepentingan keluarga, andai saja rumah yang kubangun ditinggali oleh keluargaku yang sedang kesulitan, dan masih banyak pengandaian yang selalu aku ucapkan. Tapi aku tahu, semua pengandaian itu percuma sebab itu sama saja seperti peribahasa 'Bayang-bayang disangka tubuh' --terlalu banyak mengharapkan sesuatu diluar batas kemampuan.
Kini, kukubur semua pengandaian itu karena aku berhasil terbangun dari semua ketidakpuasan dalam hidupku. Aku akhirnya bisa hidup tenang, dan lebih banyak bersyukur menjalani hidup. Aku juga tidak menyesal harus menjual rumah luasku demi keselamatan hidup orang tuamu. Aku juga tidak akan gunakan kata 'andai saja kamu menikahiku' karena impian kita sejak kecil menjadi kenyataan sebulan lalu, saat kau sematkan cincin emas lima gram ke jari kelingkingku di mata semua saksi. Di jariku sekarang bersemayam cincin emas, bukan lagi cincin yag kau buat dari tumbuhan liar. Aku bahagia sekarang, meski hidup di rumah sederhana di tengah pedesaan. Aku bahagia bisa membagi ilmuku kepada masyarakat yang lebih membutuhkan walau tak sepeserpun uang sanggup mereka berikan padaku. Aku yakin Tuhan bangga padaku, dan aku tidak pernah menggunakan kata 'andai' lagi karena aku sudah bahagia bisa hidup denganmu, dan nantinya rumah kecil ini selalu ramai oleh suara pertikaian sepele anak-anak kita kelak saat mereka lahir. Kamu sempat menatapku lama dan bertanya "Sungguh tak akan gunakan kata andai lagi?"
Aku mengangguk dan berkata, "Satu-satunya alasanku untuk memakai kata andai adalah, andai saja orang tuaku masih hidup dan menyaksikan aku bahagia denganmu," lalu kamu menepuk bahuku dua kali, memberi tanda simpati. Jadi, teruslah disampingku dan katakan semua akan baik-baik saja meskipun aku tidak bergelimang harta, tahta, dan popularitas lagi. Aku senang bisa menghabiskan masa-masa tuaku dengan tenang dan bahagia. Dan aku yakin bahwa bahagia itu bisa hilang jika kita mengabaikannya, tapi bisa hadir jika kita menginginkannya. Aku juga menyadari bahwa bahagia itu diciptakan oleh diri sendiri, bukan orang lain. Sekarang ini kita seperti sedang melakukan sebuah reuni di depan teras rumah dan mengingat semua kenangan tentang masa kecil kita dan ini menjadi salah satu sumber kekuatanku untuk terus hidup. Aku telah bahagia karena mimpi terbesarku telah tercapai; hidup damai bersamamu.
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)