Assalamu'alaikum teman-teman...
Sore tadi, saya membaca ulang tulisan tentang Bacaan Pagi untuk Papa yang saya tulis di tahun 2014 lalu. Tiba-tiba saja, mungkin sedang kangen. Dan baru tersadar ternyata saya pernah tinggal di Jakarta. Sejujurnya, saya sempat lupa kenyataan tersebut.
Sejak kembalinya papa ke pangkuan Tuhan 22 tahun silam, saya hampir tidak pernah lagi mengunjungi tempat kelahiran saya di daerah Jakarta Timur. Menurut cerita yang dibahas dalam pertemuan setiap akhir pekan, kedua kakak saya memiliki beragam kenangan yang tidak baik pada masa-masa saat mereka di usia sekolah. Susahnya menggunakan hijab di masa tersebut, ada kerusuhan 98, krisis ekonomi, belum lagi tawuran dan beragam kenangan sulit, tapi menarik untuk diceritakan.
Berbeda dengan mereka, saya punya banyak Kisah Masa Kecil di Jakarta yang cukup menyenangkan, lucu, dan tak terlupakan. Saya hanya delapan tahun tinggal di Jakarta, dan tidak ingat apa-apa sebelum usia enam tahun. Namun setelah itu, ingatan saya merekam banyak kenangan baik.
Kenangan semisal, dulunya tidak ada Internet Rumah dengan fasilitas nonton streaming, jadi setiap kali mau menonton acara televisi, saya harus datang ke rumah Buk Mul -- satu-satunya tetangga kami yang memiliki televisi tabung saat itu. Acara Paula Paulina, Carita De Angel, dan telenovela lain dan sebetulnya bukan tontonan anak-anak, jadi seru karena ditonton bersama-sama!
ilustrasi foto anak-anak : pexel
Setelah menonton sampai maghrib, saya dan sepupu akan pulang menyusuri jalan setapak melewati makam yang disebut warga sebagai Kober, dan kami akan berlari sekuat tenaga agar cepat sampai rumah. Saya masih ingat, rasanya menakutkan sekali melewati makam di waktu maghrib, tetapi kami tidak kapok untuk terus numpang menonton.
Jika sekarang setiap rumah bisa memiliki akses Wifi Cepat melalui IndiHome, di masa saya kecil baru ada "PAGER" (dibaca Pijer) atau dikenal dengan Penyeranta, dan kami berkomunikasi melalui WARTEL atau Warung Telekomunikasi yang digagas oleh Telkom Group.
Hebatnya, Perusahaan Telkom sudah ada sejak era kolonial dan pada 1961 Telkom resmi menjadi perusahaan negara yang menyediakan layanan telekomunikasi telepon rumah. Bundo bilang, untuk memiliki telepon rumah sangat mahal di masa itu. Bahkan biaya bayar PIJER bulanan juga mahal yaitu sebesar 30 ribu dengan rata-rata gaji bulanan orang di masa tersebut adalah 60 ribu sampai 100 ribu rupiah.
Papa saya termasuk golongan memiliki penyeranta dan jika beliau pulang terlambat, saya akan bergegas ke WARTEL untuk mengirim pesan kapan pulang. Tapi berbeda dengan aplikasi pesan di masa ini, Pijer tidak bisa mengirim balik pesan teks! Jadi setelah mengirim pesan, yang kami lakukan adalah menunggu di teras rumah sambil harap harap cemas menantikan oleh-oleh hari itu :)
Saya juga menyaksikan keberadaan Telepon Koin yang tersedia di beberapa sudut jalan. Berbeda dengan WARTEL yang mengharuskan kita datang ke tempatnya dan menunggu antrian, kalau Telepon Koin ini kita dapat menyesuaikan waktu agar tidak antre dan bayar dengan koin. Telepon ini juga hanya bisa berkomunikasi dengan telepon rumah, atau jika ingin kirim pesan ke penyentara, harus memasukkan kode yang sudah kita hafal.
Bagaimanapun, di masa itu kami memang belum terlalu butuh telepon genggam atau Internet Rumah karena bisa berkomunikasi secara langsung. Seiring berkembangnya zaman, ternyata di era modern kita justru butuh Wifi Rumah, Internet Rumah, dan saya mau berterima kasih pada Telkom Group karena telah membantu memudahkan masyarakat Indonesia berkomunikasi dengan kerabat jarak jauh sampai di era sekarang! Karena walaupun saya sudah tidak lagi di Jakarta, saya masih bisa berkomunikasi dengan baik pada teman-teman SD semasa di Jakarta.
Jika sekarang setiap rumah bisa memiliki akses Wifi Cepat melalui IndiHome, di masa saya kecil baru ada "PAGER" (dibaca Pijer) atau dikenal dengan Penyeranta, dan kami berkomunikasi melalui WARTEL atau Warung Telekomunikasi yang digagas oleh Telkom Group.
Hebatnya, Perusahaan Telkom sudah ada sejak era kolonial dan pada 1961 Telkom resmi menjadi perusahaan negara yang menyediakan layanan telekomunikasi telepon rumah. Bundo bilang, untuk memiliki telepon rumah sangat mahal di masa itu. Bahkan biaya bayar PIJER bulanan juga mahal yaitu sebesar 30 ribu dengan rata-rata gaji bulanan orang di masa tersebut adalah 60 ribu sampai 100 ribu rupiah.
Ilustrasi Penyeranta (sumber BBC)
Papa saya termasuk golongan memiliki penyeranta dan jika beliau pulang terlambat, saya akan bergegas ke WARTEL untuk mengirim pesan kapan pulang. Tapi berbeda dengan aplikasi pesan di masa ini, Pijer tidak bisa mengirim balik pesan teks! Jadi setelah mengirim pesan, yang kami lakukan adalah menunggu di teras rumah sambil harap harap cemas menantikan oleh-oleh hari itu :)
Saya juga menyaksikan keberadaan Telepon Koin yang tersedia di beberapa sudut jalan. Berbeda dengan WARTEL yang mengharuskan kita datang ke tempatnya dan menunggu antrian, kalau Telepon Koin ini kita dapat menyesuaikan waktu agar tidak antre dan bayar dengan koin. Telepon ini juga hanya bisa berkomunikasi dengan telepon rumah, atau jika ingin kirim pesan ke penyentara, harus memasukkan kode yang sudah kita hafal.
Bagaimanapun, di masa itu kami memang belum terlalu butuh telepon genggam atau Internet Rumah karena bisa berkomunikasi secara langsung. Seiring berkembangnya zaman, ternyata di era modern kita justru butuh Wifi Rumah, Internet Rumah, dan saya mau berterima kasih pada Telkom Group karena telah membantu memudahkan masyarakat Indonesia berkomunikasi dengan kerabat jarak jauh sampai di era sekarang! Karena walaupun saya sudah tidak lagi di Jakarta, saya masih bisa berkomunikasi dengan baik pada teman-teman SD semasa di Jakarta.
Kami sering berkumpul di waktu bukber Ramadan, tapi selebihnya sibuk mengobrol di grup aplikasi saja. Bahkan sekarang pun tetangga saya di kota ini banyak pengguna Internet Rumah IndiHome. Bagaimana dengan kamu?
Aku juga masih merasakan jaman telp koin hihi, pas SMP aku tiap pulang ekstra kulikuler ke wartel, telp ke kntr alm.ayah minta di jemput hihihi.
ReplyDelete