---Biasakan pamit sebelum pergi.
Begitu pesan (Alm) Angku -sebutan untuk kakek- pada saya. Saat itu kami sedang duduk berdua di beranda, sambil memandang kunang-kunang yang terbang landai di atas kolam ikan yang lletaknya tepat tiga jengkal kaki (orang dewasa) dari pintu masuk. Isinya disesaki oleh ikan mas dan koi yang berenang-renang dengan tenang. Gelap langit semakin pekat dan hujan baru selesai membasahi seluruh halaman rumah Angku yang tanahnya dipenuhi bebatuan kali.
Rumah Angku selalu menyenangkan untuk diingat. Ialah satu-satunya rumah yang membuat saya merasa aman, dan tentu saja, nyaman. Rumahnya tidak memiliki pagar maupun pintu masuk dengan gerendel sebagai pengamanan. Ruang tamunya bisa dimasuki siapa saja tanpa harus mengetuk pintu. Dan yang mengerikannya, tidak pernah ada maling atau rampok yang datang ke rumah ini, padahal di masa itu, perabotan milik Angku lumayan sekali jika diperjual-belikan.
Banyak bagian unik sekaligus mistis di rumah Angku yang terletak di Atang Senjaya, Bogor. Namun, bukan waktunya untuk mendeskripsikan suasana. Saya sedang ingin membahas salah satu pesan Angku semasa saya kecil.
"Biasakan pamit, dan jangan pernah menengok ke belakang kalau sudah pamit," begitu katanya.
Itu adalah sebuah nasihat dari Angku yang tidak akan saya lupa.
Kalimat tersebut semacam teguran untuk saya yang, ketika pergi main selalu ngeloyor tanpa salim tanpa izin tanpaa kabar.
Teguran lainnya, karena setiap pamit untuk pulang ke Jakarta, saya terus-menerus menegok ke belakang, melihat wajah keras Angku dan bahunya yang tegap. Saya mengingat tangannya terkepal tetapi senyumnya merekah. Sekali lagi saya menengok ke belakang, dan melihat kunang-kunang saling berebut hinggap di kosen jendela. Saya selalu ingin berlari ke belakang. Sehingga saya rewel dan bersikeras untuk tetap di kampung. Ogah pulang. Meskipun Bundo dan Papa selalu berhasil membawa saya ke kota.
Sejak itulah...
Sejak itu, sesuai pesan Angku, setiap hendak pergi, saya belajar pamit, minta izin. Semacam ada peraturan tak tertulis untuk saya. Dan tidak lagi menengok ke belakang. Dan ini berlaku bukan hanya saat berpergian keluar rumah untuk mengunjungi satu tempat. Ini berlaku juga pada sebuah relasi. Semisal, ketika kamu ingin mengakhiri sebuah hubungan, ada baiknya kamu pergi baik-baik.
Pamit itu meyakitkan, karena menandakan sebuah perpisahan. Menawarkan kehilangan. Tetapi dengan mengabarkan akan pergi, itu melegakan.
Dalam kasus ini, kita terhubung dalam sebuah relasi. Relasi antara saya selaku penulis, dengan kamu, pembaca blog saya.
Saya suka sekali menulis dan setiap menulis, saya seperti sedang menuai bahagia. Namun, menulis itu hanya saya yang bahagia, sementara orang yang sudah berkorban banyak untuk saya, tidak merasakan kebahagiaan itu. Jadi, karena mereka sudah banyak berkorban demi saya, kali ini saya akan belajar membahagiakan mereka. Salah satunya dengan berhenti menulis -sementara- sampai tanggung jawab saya sebagai anak, selesai. Mungkin, eh, kira-kira kapan, ya, kita akan bertemu lagi?
Dan, oh, terima kasih telah menjadi pembaca saya.
Saya ingin izin pamit.
Tabik.
Semisal, ketika kamu ingin mengakhiri sebuah hubungan, ada baiknya kamu pergi baik-baik.
BalasHapusPamit kemana, Uni?
Cepet selesaikan uni :D
BalasHapusmbak kamu pamit kemana mbak? gak nulis lagi?
BalasHapusJangan lama-lama ya uni...
BalasHapus
BalasHapusPamit itu meyakitkan, karena menandakan sebuah perpisahan. Menawarkan kehilangan. Tetapi dengan mengabarkan akan pergi, itu melegakan.
Suka baca bagian ini. :)
kemana saja memang harus pamit ya, mau ke toiletsa ja kalau algi di eklas harus pamit. Pamit itu gak selalu berhubungan dg perpisahan
BalasHapuskalau saya udah baca tulisannya trus mau lanjut kerja perlu pamit sama uni juga gak nih? hehe
BalasHapus"Biasakan pamit, dan jangan pernah menengok ke belakang kalau sudah pamit"
BalasHapusBangkhaaayy. Ini menusuk sekali untuk saya. Saya pernah pergi dengan tidak baik-baik. Ah, ya udahlah. Terima kasih Angku. Pesanmu akan selalu saya ingat. :(
Entah kenapa saya selalu sensutif dengan kata pamitš„
BalasHapus