Tadi tuh saya tiba-tiba aja pengin cetak foto sendiri, ukuran 10R. Foto tersebut diambil tahun 2012 ; masih tembem, kerudungan pendek, masih pakai celana juga (duh!), masih memancarkan mata yang berbinar, senyum lepas, dan di tengah air sebelum senja (foto diambil di Pulau Tidung). Meski punya banyak foto (geez saya narsis banget), yang satu ini memang kesukaan saya, pas lagi bahagia, senang, punya rasa syukur yang melimpah ruah.
*ini foto yang saya cetak. Kamu setuju dengan penjelasan di atas, kan? Foto ini auranya bagus*
Kalau dilihat-lihat, fotonya aneh. Di pojok kanan, di sana semua teman saya sedang berkumpul untuk snorkeling, tapi saya seolah abai dan punya dunia sendiri. Sungguh, sampai sekarang pun saya masih ingat alasan kenapa bisa tersenyum se-lepas itu. Kini, kalau diingat lagi alasannya, hasil foto saya menampilkan aura buruk x)
Well, begitu dipajang di rumah, nyokap bingung. Saya majang foto siapa, dan kenapa cetak foto orang sebesar itu, katanya.
"Itu foto saya pas masih bahagia, tahun 2012," jawab saya.
"Ooh ya ampun! Pantesan pangling. Iya, dari matanya kelihatan bahagia. Ini mirip banget sama foto saya saat muda," imbuhnya diselingi sedikit tawa. Ya tentu saja, karena saya anaknya, makanya mirip nyokap. Eh tapi baru kali ini dibilang mirip sih, biasanya nyokap selalu bilang saya jiplakan Papa.
"Sekarang kamu kurus banget dan hasil foto-foto kekinian kamu, nggak sebagus yang ini," timpal nyokap sambil terus memandangi foto saya, yang kemudian saya iyakan dalam hati. Saya sekarang tahu kenapa Aurel Hermansyah bersikeras bilang nggak oplas. Iya, beneran, jadi kurus bikin wajah tirus, lho. Saya mengalami. Sialnya, saya malah lebih suka saya yang tembem.
Sekarang tuh, kalau difoto selalu nggak wajar, entah rasa ketakutan macam apa yang ada di pikiran saya sehingga susah berekspresi natural. Dan kalaupun senyum, matanya nggak memancarkan hal baik. Kita bisa berbohong di depan kamera, tapi mata tidak pernah bisa menyembunyikan apa yang sedang dirasakan hati. Setuju nggak?
Dan saya, sekalipun meyakinkan pada diri sendiri bahwa saya tidak kenapa-kenapa, mata saya di foto sejak 2013-sekarang, telah berbicara lain. Apa karena faktor usia juga? Who knows, ya. :)))
Otherwise, setelah membuat jeda cukup lama, nyokap bilang lagi, "Coba besok cetak foto kamu yang pas sama Gupi deh, sama cetak ukuran besar foto yang pas masih kecil yang lagi ketawa itu."
"Untuk apa?" tanya saya heran.
FYI, Gupi itu nama Musang saya waktu masih kecil. Nah, buat apa dicetak ya, kayaknya disimpan di file aja cukup deh. Lha, yang ini saja sudah bikin nyokap bingung, buat apa juga majang foto zaman dulu, kan? Lagian seharusnya saya cetak dan pajang foto di kehidupan yang sedang saya jalani ini. Pajang foto pas bareng Eva Celia, atau Donna Agnesia, atau pas sama Miqdad Addausy, Daniel Mananta, Gembrit, atau bareng kawan bule, atau juga pajang foto we-fie pas sama nyokap. Tapi kenapa nyokap malah menyarankan begitu? Lalu katanya,
"Untuk mengingatkan bahwa kamu pernah bahagia dan tulus menjalani hidup. Kalau foto-foto dulu dicetak, dipajang, kamu akan terus ingat bahwa dulu, kamu tidak pernah menyerah dalam segala hal. Bahwa kamu selalu suka tantangan dan siap menerima risiko. Jadi, cetak saja."
Dan jawabannya membuat saya diam, berpikir lama, lalu mulai menulis ini. Nyokap (mungkin) sebetulnya mau bilang kalau saya sudah seharusnya survive dan menerima kenyataan, menerima jalan hidup, dan mencoba terbuka pada dunia. Nyokap cuma menyampaikannya lewat perbandingan foto tersebut.
Iya... Saya sudah terlalu lama bersembunyi dan nyaman dalam kesendirian. Saya telah tiga tahun hanya 'jalan di tempat' karena takut melangkah. Takut bertemu masalah. Takut terluka. Takut menjumpai duka. Takut menemui sakit hati. Takut berlari. Takut terjatuh lagi. Takut susah lagi berdiri. Dan semakin banyak ketakutan itu berkumpul, semakin saya tidak ingin melakukan apa-apa. Namun, waktu terus berjalan dan saya semakin nelangsa. Dan bukankah ketakutan seharusnya dihadapi?
Baiklah. Saya nggak perlu cetak foto. Saya hanya perlu keluar dari zona nyaman. Dan melawan semua ketakutan saya.
Anw, kalau kamu punya foto pribadi yang jadi favorit kamu? Foto pas kapan dan kenapa fotonya jadi favorit? Lemme know, ya. Ditunggu di kolom komentar :)
Oh, selamat satu November. Siap-siap, sebentar lagi 2016!
Foto favorit dan terfavorit adalah Foto satu keluarga dengan aku sebagai tokoh utama, lagi memakai toga haha foto pas wisuda, foto favoritku mbak :D
BalasHapusWaaa, kalau aku wisuda nanti, mungkin akan jadi foto favorit juga :P
HapusAku punya foto favorit juga, pas duduk berdua dengan teman, saat itu baru mau nikah, aku krop karena merasa di foto itu auranya positiiiiiiiiiiif bangeeeeeet.
BalasHapusBTW
Salam kenal dari Yogyakarta
Wah, penasaran pengin lihat, kak! Semoga aura postifnya masih ada sampai kapanpun ya :) Salam kenal juga :)
HapusBener juga ya. Pernah juga pakai foto lama, tapi kadang diliat sekilas aja. Foto favorit pas liburan bareng adek, nyaman aja ngrasain me time. Jadi kalo liat foto itu bakal selalu kangen aura liburan.
BalasHapusIya, pasti ada satu atau lebih foto favorit karena bahagianya keluar secara natural. Yang kulihat sekarang banyak foto-foto senyum tapi ya senyum aja, hahaha.
Hapusya, dengan mengabadikan foto foto dari masa ke masa, kita bisa melihat metamorfosa diri sendiri yan berubah menjadi dewasa.
BalasHapusdengan memandangnya, seolah menimbulkan senyum, seraya berkata dalam hati, betapa jeleknya, betapa cantik/gantengnya daku, sungguh berbeda..
kebahagian dimasa lalu seakan ingin terulang di masa sekarang,,
Betul sekali. Mungkin nggak bisa mengulang bahagia di masa lalu karena banyak hal yang berubah. Tapi, seenggaknya kita tahu kalau kita pernah bahagia, dan semoga selalu bahagia :)
HapusKok saya ngerasain hal yang sama ya, Uni.
BalasHapusKenapa, kak?
HapusKak, semangat ya. Ayo tembemin pipi lagi, biar aku ada temennya :D
BalasHapus