Liburan kali ini terlihat sangat menyenangkan. Besok kami bisa mengunjungi Ayah yang sedang bertugas di Costa Rica. Aku sedang membantu ibu mengemasi pakaian dan Kak Airin sibuk bermain candycrush. Dia sudah selesai memasukkan barang bawaannya yang menurutku tak penting; semacam sunblock, kaca mata hitam, dan beberapa bikini untuk berjemur di sana. Musim panas tahun ini akan sangat menyenangkan, tapi... Ibu dan kak Airin pasti lupa bahwa lusa... Adalah hari penting bagiku. Kuhentikan aktivitasku membantu ibu. Kuambil napas panjang dan aku harus katakan tentang perlombaan penting itu. Aku baru akan mengeluarkan suara seketika ibu bertanya,
"Ren, barang kamu udah dimasukin semua?"
Aku segera mengatup mulutku. Kulihat kak Airin menolehkan wajah kearahku dan Ibu bergantian.
"Dek...dek... Kita besok mau pergi pagi, urus dulu sana barangmu, barang ibu juga udah selesai semua kan,"
Ucap kak Airin yang matanya masih kearahku dan Ibu. Ia kembali sibuk berkutat dengan game-nya.
"Emm i... Iya nanti aku beresin barang-barangku,"
Kataku gugup. Aku urungkan niatku untuk bicara soal kegiatan lusa. Aku tak mau merusak hubungan baikku dengan kak Airin di musim liburan ini. Kami yang hanya berbeda dua tahun tak pernah akur, seperti kucing dan anjing. Untuk kali ini kami akur dan liburan ke Costa Rica sudah kami rencanakan sejak lama, tak mungkin aku menggagalkan liburan ini.
"Kamu kenapa sih, gelisah gitu dek?"
Kak Airin menegurku. Aku menggeleng. Segera kutinggalkan ibu dan kak Airin. Aku mau di kamar saja, mengurung diri. Sesampainya aku di kamar, kugenggam erat kartu DBL-ku. Kartu yang kuraih atas jerih payahku selama ini berlatih basket. Kartu yang mungkin akan membawaku menuju gerbang impianku selama ini. Kutatap lekat-lekat nama yang tertulis disana. Renata. Bulir air mata seketika jatuh dari pelupuk mata ini. 'Kesempatan gak akan datang dua kali, Ren' batinku terus beradu argumen dengan hati yang merindukan Ayah. Aku kembali bimbang. Aku ingin sekali berlibur kesana dan bertemu Ayah, tapi aku adalah orang paling berpengaruh di tim basketku. Lusa pertandinganku, tapi besok kami sudah harus berangkat. Aku melihat paspor di sebelah kartu DBL. Kesempatan untuk ke Costa Rica juga hanya satu kali.
"Aaaaaaaaaaaah!"
Teriakku sekencang-kencangnya. Kubenamkan wajahku ke bantal kesayanganku.
"Aaaaaaaaah"
Berikutnya teriakkan dari kak Airin dikamarnya. Ia segera berlari menuju kamarku dan membuka pintunya dengan paksa.
"Kenapa sih dek? Berisik tauk! Gara-gara kamu teriak aku jadi kalah main candycrush nih!"
Ah ya ampun, kupikir kak Airin berteriak karena ingat jadwal pertandinganku, ternyata hanya game-nya saja yang ada dipikirannya.
"Maaf ya kak, soalnya... Itu.. lusa..."
Aku diam. Tak sanggup melanjutkannya. Aku takut mereka marah, dan yang paling kutakutkan adalah, kalau mereka tidak bisa melihatku bertanding. Tanganku gemetar seketika.
"Eh, kamu nangis, dek?"
Kak Airin menegurku. Aku segera menghapus air mata yang masih tersisa di pipiku. Kulihat Ibu yang menerobos masuk ke dalam kamarku. Suara kak Airin yang teriak terdengar sampai keluar kamar.
"Kamu kenapa nangis, nak?"
Ucap Ibu yang terlihat cemas melihat wajahku yang dalam keadaan lembab.
"Barang-barangmu belum disiapin? Kamu capek? Sini biar Ibu aja yang masukin barang-barangmu ke tas,"
lanjut ibu yang kemudian disusul gerakannya menggapai koperku yang berada disamping lemari. Kuraih cepat tangan Ibu sebelum ia berhasil menggambilnya. Ibu menatapku heran.
"Bu... Aku nangis bukan karena capek, aku nangis karena-"
Aku menghentikan sejenak perkataanku. Berusaha menarik napas panjang dan menenangkan hati sebelum melanjutkan pembicaraan.
"Aku lusa ada tanding basket, Bu. Aku kapten dikelompokku, aku tak mungkin bisa meninggalkan kelompokku begitu saja,"
Ibu dan kak Airin serempak saling tatap. Yap! Mereka pasti ikut bimbang. Aku mengusap air mataku yang masih saja keluar. Aku menatap kak Airin penuh permohonan, berharap dia mengambil keputusan tepat. Walaupun berjarak dua tahun, kami tak pernah sepakat soal berunding. Kak Airin sangat cantik, rambut lurusnya sepinggang dan berwarna hitam kecoklatan. I memiliki segudang wedges dan heels serta satu lemari yang berisi tas dengan warna yang berbeda. Dia feminin sementara aku yang belum memedulikan penampilan, ya begini saja. Selalu menguncir rambut sebahuku menjadi seperti ekor kuda. Hanya punya beberapa pasang sepatu kets, dan jeans yang selalu menjadi andalanku dalam berpakaian. Kak Airin suka sekali menghabiskan waktu dengan membaca majalah yang ada di salon sedangkan aku lebih suka ditemani puluhan bola basket di tempat latihan.
"Haduuuh Ren kenapa baru bilang sekarang. Ibu lupa banget. Terus mau kamu gimana?"
Ibu memecah keheningan.
"Yaudah, selamat bertanding, semoga menang. Aku tetap akan berlibur ke sana,"
kak Airin cuek menjawab, lalu ia keluar dari kamarku.
"Ibu akan bicarakan ini dulu ke Ayah"
Hanya ucapan singkat itu yang terdengar dari mulut Ibu. Ibu berlalu pergi. Menyusul kak Airin yang telah lebih dulu meninggalkan kamarku.
"Pokoknya aku mau ketemu Ayah, Bu! Kita udah lama gak ketemu Ayah. Kenapa sih, lagi-lagi urusan Renata yang didepankan??!"
Aku bisa mendengar teriakan kak Airin yang cukup keras dari dalam kamar.
"Airin. Airin dengar Ibu, tidak semua apa yang kita inginkan itu harus tercapai sesuai dengan apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita inginkan. Kita tidak bisa memaksakan kehendak, Airin."
"Tapi, Bu. Rena itu-"
"Rena telah berusaha keras selama ini. Berlatih demi apa yang ia impikan. Kita tidak mungkin mematahkan perjuangannya begitu saja selama ini. Semua telah terproses begitu lama, Airin. Ibu akan bicarakan dulu semua ini kepada Ayah,"
Aku mendengar jelas setiap kata yang keluar dari suara lembut Ibu. Tangisku semakin tumpah ruah di kamar.
•••
Aku mengunyah keripik kentang kesukaanku sambil menonton dvd. Sendiri di rumah rasanya sangat hampa. Subuh tadi, ibu dan kak Airin akhirnya berangkat ke bandara. Aku tak mengantar mereka. Aku kesal karena tak bisa ikut berlibur kesana, dan lebih kesal lagi karena tak ada keluargaku yang menonton pertandingan besok. Aku masih mengunyah keripik kentang dan meneguk soda di waktu yang bersamaan. Aku bukan lapar, hanya sedikit grogi untuk menghadapi besok dan aku cemburu, besok aku akan liat puluhan orang tua menyaksikan anak mereka bertanding tapi tidak ada keluargaku di bangku penonton. Ah, mau bagaimana lagi, ini sudah keputusanku. Ponselku bergetar untuk beberapa saat. Pesan masuk dari Lily. Aku mengiyakan ajakannya untuk kumpul di tempat latihan jam empat sore.
Aku menarik paksa tubuhku dari atas tempat tidur. Kuraih bola favoritku untuk berlatih hari ini demi persiapan pertandingan besok. Antara semangat dan malas.
•••
Sebentar lagi, pertanding dimulai. Aku melarikan mataku kesana-kemari, berharap tiga orang yang kusayang bisa menyaksikan pertandinganku hari inil. Aku menggigit bibir bawahku. Sesekali kulihat jam yang tertempel di dinding ruang ganti pakaian. Aku gugup. Kulangkahkan kali menuju tempat bertanding, teman-temanku mengikuti dari belakang.
"Priiitttttt!"
Peluit telah dibunyikan, dan bola yang akan diperebutkan oleh dua kelompok yang bertanding pun telah dilemparkan di antara mereka di tengah lapangan. Detik pertama suara sorak-sorai terdengar riuh dari bangku penonton. Detik berikutnya semua diam, ikut tegang dengan menit-menit pertama saat pertandingan dimulai.
"Reeeen! SEMANGAT!"
Teriak Banyu dari salah satu bangku. Ia berdiri dan tidak memedulikan tatapan penonton lain. Aku melihatnya, lalu melemparkan senyumanku dan mengacugkan dua jempol kepadanya. Dulu, saat-saat aku masih amatiran dalam bermain basket, biasanya Banyu dan ayah yang akan mengajari dan menjadi lawan bermainku. Mereka berdua adalah partner sekaligus guru bagiku. Banyu bukan tim basket, dia hanya anak tetangga yang kebetulan gemar bermain basket. Banyu juga mengacungkan jempol dan aku kembali fokus dengan pertandingan ini.
Sepuluh menit pertama tim kami kewalahan. Aku semakin gugup kalau kami akan kalah. Menit berikutnya lawanku melakukan Jump Shoot, membuat tim kami semakin ketinggalan point. Mereka semakin ganas tapi untungnya peluit dari wasit berbunyi, istirahat sebentar. Napasku tersengal-sengal. Aku bisa melihat raut ketakutan dari timku. Kami saling tatap dan tanpa bicara, kepala kami saling mengangguk seolah saling memahami bahwa kami harus tetap semangat. Begitu pertandingan berikutnya dimulai, seseorang berteriak memakai pengeras suara, membuat semua orang menoleh kepadanya.
"SEMANGAT! HEY, KUBILANG SEMANGAT! KAMU DENGAR NGGAK?! AKU NGGAK AKAN MEMAAFKAN KAMU KALAU KAMU KALAH! KAMU SUDAH MEMBUATKU BATAL BERJEMUR DI COSTA RICA, JADI KAMU HARUS MENANG!"
Ngiiiiinng lalu suara pengeras suara berdengung. Itu suara Kak Airin! Aku menanganguk, tersenyum senang. Lawan kami semakin gesit tapi tiba-tiba bola mengarah padaku, segera kulakukan chest pass kepada Dion dan dia langsung dribbling ball, dia mengopernya lagi dan Lily segera Lay up --memasukkan bola ke ring dengan dua langkah dan meloncat agar dapat meraih poin. Ada semagat yang terjadi begitu saja, lalu tim kami menguasai arena pertandingan, babak ketiga kami menang.
Ini semua berkat semangat dari kak Airin yang muncul tiba-tiba di bangku penonton. Ada ibu juga. Aku semakin semangat dan ingin memenangkan pertandingan ini, untuk mereka, keluargaku yang sangat bertoleransi. Menit demi menit berlalu, tim lawan semakin tertinggal jauh atas point yang kami peroleh.
"Priiiiittttt!"
Peluit tanda berakhirnya pertandingan telah ditiup. Dengan 28-22, kami berhasil memenangkan pertandingan. Semua anggota tim basketku memberikan pelukannya ke lima anggota tim layaknya membentuk sebuah lingkaran padat. Kurasakan sentuhan sebuah tangan dibahuku, aku mendapati Banyu berada dibelakangku dengan senyum sumringahnya. Aku menghambur kepelukannnya.
"Aku berhasil, Bay, usahaku, usahamu, dan juga usaha ayah selama ini gak sia-sia. Makasih ya, Bay,"
Kupeluk erat Banyu yang saat itu mengelus lembut kepalaku.
"Hei, hei, main peluk-pelukan aja ditempat umum!"
Aku segera mengangkat kepalaku kearah suara itu berasal. Suara yang tak asing lagi bagiku.
"Ayaaahhh... Kenapa bisa ada di sini?"
Aku memeluk ayah, ibu dan kak Airin secara bersamaan. Keluargaku benar-benar mengesampingkan urusan mereka. Sorak-sorai penonton masih terdengar dan aku menitikkan air mata, terharu.
"Airin, Rena, kemari. Kalian tahu nggak, kita harus bisa bersikap toleransi. Meskipun manusia itu sulit untuk menekan ego-nya, sikap itu harus ada,"
Ayah merangkul aku dan kak Airin.
"Memangnya toleransi bagi ayah itu, yang seperti apa?"
Aku menengadahkan kepalaku, berusaha mencari jawaban di mata Ayah. Kulihat senyumnya merekah.
"Toleransi bagi ayah, sikap di mana kamu harus menghormati, menghargai orang lain, juga harus bisa mengedepankan urusan orang lain sebelum urusanmu. Harus bisa berjiwa besar. Kamu harus bisa memilih suatu kepentingan meskipun kepentingan pribadimu jauh lebih penting. Kakakkmu batal ke Costa Rica dan memilih untuk menonton pertandinganmu, sudah bisa disebut dengan toleransi,"
"Iyaaa, sini cium tanganku. Kalau aku nggak dateng pasti kamu mainnya nggak bener. Tapi tadi kamu keren Ren!"
Kak Airin bergurau. Aku mendekatinya, melakukan hal yang lebih dari sekadar mencuim tangannya. Kupeluk erat dia dan aku mengecup pipinya. Dia segera menghindar dan mengusap bekas ciumanku.
"Omong-omong, selamat ya, Ren. Ibu bangga sama kamu,"
Ibu mengelus rambutku yang sudah bercampur keringat. Kulihat Banyu juga tersenyum atas kemenangan ini.
"Jadi... Sebagai perayaan atas kemenangan Rena, kita ke Costa Rica besok ya, Ayah?"
Kak Airin memohon manja. Ayah menatapku, memnit jawaban apakah aku setuju atau tidak.
"Emm... Boleh minta satu hal lagi?"
Kataku di hadapan ibu, ayah, dan kak Airin.
"Apa nak?"
Ibu menatap wajahku setelah bertatapan dengan ayah.
"Aku mau... Banyu di ajak juga ke Costa Rica. Boleh ya?"
Kami semua tertawa serempak. Ayah mengangguk.
Sebuah toleransi kan, kalau kita bisa mengajak orang merasakan kebahagiaan kita?
Mari berkemas!
•••
Cerpen kolaborasi @ellyaanggrainii (Ellya Anggraini) dengan @unidzalika (Uni Dzalika)
Tidak ada komentar:
Ada pertanyaan atau kamu ada masukan?
Ditunggu komentarnya!:)