Halo, kamu.
Saya punya banyak cerita yang bisa dibagikan ke kamu ; tentang mengapa saya menjadi bodoh, tentang kisah-kisah menyakitkan yang terjadi beberapa tahun ke belakang, tentang bahagia apa saja yang telah saya raih, dan tentang bagaimana saya akhirnya bisa berdamai dengan masa lalu.
Tapi saya tahu, cerita tersebut membosankan untuk kamu dengar, atau kamu baca. Cerita hidupmu pasti lebih seru, lebih menggugah, lebih bermartabat, lebih banyak pesan moralnya. Jadi, lebih baik saya simpan rapat-rapat kisah saya.
Orang bilang, saya adalah pencerita yang baik. Menjelaskan apa saja dengan narasi dan deskripsi yang seimbang melalui lisan. Tapi itu dulu. Kenapa sekarang tidak lagi? Alasannya telah saya jelaskan di sini.
Lain waktu, pernah tahun 2010, saya bilang ke teman baik saya, betapa saya sangat tidak ingin menjadi dewasa dan menua. Sebab saya terlalu dini mengetahui banyak permasalahan orang dewasa ketika saya belum siap, dan saya takut masalah-masalah tersebut akan datang pada diri saya.
"Mati muda, dong?" tanya dia sambil tertawa yang kemudian saya anggukkan. Iya, mati muda saja daripada harus dewasa. Batin saya saat itu. Tapi saya masih hidup sampai sekarang. Dan ketakutan saya nggak terjadi. Saya nggak mengalami masalah-masalah yang pernah saya dengar atau lihat semasa saya kecil. Alhamdulillah.
Yang menyeramkan adalah, permasalahan hidup saya yaitu tidak merasa punya masalah sama sekali. Dan itu menakutkan. Lebih lagi, saya takut pada diri saya yang tidak takut pada apa pun. Kamu bisa membayangkan betapa membingungkannya menjalani hidup tanpa punya perasaan cemas, khawatir, takut, bimbang, atau bahagia. Hidup ya dijalani saja. Tapi datar-datar saja. Berlalu begitu saja.
Itu terjadi setelah seseorang di masa lalu pernah menyakiti saya. Ralat. Saya yang menyakiti dia. Saya membuat dia sedih dan saya menyalahkan diri sendiri ; mengapa saya tidak pernah bisa membahagiakan orang yang sangat saya cintai itu.
Baca juga : Bahagialah kamu kalau nggak pacaran
"Please, I Beg you. Don't blame yourself. Kamu nggak salah, itu pekerjaannya takdir, jadi lupakan saja," he said that. Dan karena kalimatnya, saya jadi semakin tidak bisa menyalahkan siapa-siapa kecuali diri saya sendiri. Bahkan di tahun-tahun kemarin, saya sempat berpikir, saya sudah nggak menemukan alasan lagi untuk bertahan hidup. Tapi kedewasaan menuntun saya untuk bertahan. Untuk terus berjalan. Untuk tetap melihat ke depan.
Ternyata, menjadi dewasa itu akan terjadi secara alami. Saya nggak bilang saya sekarang sudah dewasa. Saya masih tetap saya yang dulu ; yang manja, yang nggak mandiri, yang sulit menurunkan ego, yang nggak mau berkompromi dengan argumen orang, yang kerap menyalahkan intuisi saya yang salah mengambil keputusan, saya masih saya yang dulu.
Tapi saya sudah belajar, untuk tidak pernah menyalahkan diri sendiri lagi. Sebab kalau kita tidak menghargai diri sendiri, bagaimana orang lain mau menghargai kita? Iya, kan?
Sekarang, setelah saya belajar menghargai diri sendiri, kali ini saya sedang belajar untuk takut. Dimulai dari takut kehilangan kamu ; siapa pun yang sedang membaca ini.
Silakan dibaca ; Alasan mengapa saya akan tetap menulis meskipun kehilangan kamu.
sama mbak..sampai saat ini pun saya masih belajar menjadi dewasa...berumur belum tentu dewasa ya...
BalasHapusIya... Tua itu pilihan, Dewasa itu pasti. *membalik realita* selamat belajar, mbak :)
HapusKalo dewasa apa cukup menjadi dewasa dan bersikap dewasa? Kadang-kadang aku takut menjadi orang dewasa yang tidak dewasa. Ya, menyusahkan.
BalasHapusKamu terlalu berbelit dengan pikiranmu sendiri...
Hapusdewasa itu kadang memang jadi pilihan, sih, tapi ada juga yg terjadi secara alami karena suatu kondisi.
BalasHapusDalam kasus Uni, terjadi secara alami, mungkin. Hahaha :))
Hapus