Mari kuajak
kau untuk menghitung ; berapa jumlah saat aku menatapmu diam-diam.
Tentu saja
kau tak perlu menghitung dengan operasi dasar matematika atau sejumlah rumus
linear yang pernah kita pelajari semasa duduk di bangku sekolah. Tapi mari kita
menghitung, dengan menggali kenangan.
Serupa
pembukaan klasik yang menceritakan tentang pertemuan pada jumpa pertama, aku
pun akan melakukan hal yang sama di sini. Nah, aku mengenalmu kali pertama
ketika tanpa sengaja menemukan alamat blog milikmu (pada saat aku sedang
berjaga menjadi admin yang ditugaskan untuk blogwalking). Membaca tulisanmu
membuat senyumku merekah karena diksi yang kau tuangkan begitu mudah dicerna.
Lantas tiap malam aku mengulang-ulang sajakmu dalam hati, serupa doa-doa yang
dirapal sebelum tidur. Itu terjadi tahun 2012.
Suatu hari,
aku menemukan satu puisimu yang sangat istimewa. Malamnya, aku memberanikan
diri untuk menyapamu di twitter yang tentu saja sudah ku-follow sebelumnya.
Kukatakan saat itu, "Kak, izin print puisinya ya, aku suka."
"Untuk
apa?"
"Puisinya
bagus, aku suka. Mau di-print."
"Iya,
untuk apa?"
"Untuk
kupajang di dinding kamar dan kubaca setiap malam."
"Boleh."
"Sekalian
mau aku print untuk kado anniv nanti. Tenang, namamu tetap tertulis."
"Ok."
Begitu balasmu. Sayangnya, begitu puisi itu tercetak, alih-alih anniv, hubungan
itu malah kandas sebelum puisimu kuberikan padanya. Eh, kenapa aku jadi cerita
yang tak seharusnya, ya? Aduh, waktu kita telah terbuang sia-sia dalam satu
menit. Baiklah, abaikan saja.
Setelah
follow, mention, replied mention, pun membaca blog-mu, kubiarkan ibu jariku
memperbesar tampilan fotomu. Itu kali pertama aku menatap wajahmu diam-diam.
Dan, ya, cukup melihat saja. Tak ada ekspetasi apa pun. Toh yang kusukai adalah
tulisanmu, dan jatuh cinta (pada apa atau siapa) tak membutuhkan mata untuk
memandang, bukan? Tapi, ya, tetap saja kupandangi fotomu.
Dua, ketika
kita melakukan kerjasama. Ingat? Kau dari pihak penerbit dan aku dari komunitas
amal, di mana kantormu siap membantu untuk menjadi donatur lelang buku. Aku
menatap layar surel seraya membayangkan 'kapan sih, kita bisa berbicara tidak
lewat media?' Tapi angan itu buyar karena balasan email tentang kelanjutan
kerjasama telah tiba darimu.
Lalu kita
bertemu lagi. Kali ini di kota Bandung, saat Gathering Poscinta dan kau
mondar-mandir melewatiku. Aku yakin kau merasa ada yang melihatmu beberapa kali
meski kau tak pernah menoleh ke arahku. Waktu jam makan, kau duduk tepat di
belakangku tetapi aku sulit sekali untuk menoleh bahkan mulutku kelu untuk bercakap.
Ketika sudah menengok ke belakang, justru kerumunan wanita segera menghampirimu
untuk meminta foto. Yah, kubiarkan saja mataku kembali menatapmu diam-diam. Apa
sungguh, kau tak sadar sedang diamati dari jauh?
Aku juga tak
lupa saat kudatangi Mall Pejaten Village kala acara M&G Film Remember When
untuk meliput acara dan kau pun ada di sana. A... Aku, aku sudah memberanikan
diri untuk menyapamu, tapi tiba-tiba kau dipanggil untuk memotret keseruan di
panggung. Terpaksa lagi-lagi kupandangi kau dari jauh.
Kau ingat
kegiatan di Museum Nasional tentang Indonesian Reading Festival, Desember lalu,
di tahun 2014? Nah, stand kita bersebrangan. Tidak berhadapan dengan persis,
tetapi cukup mudah untuk melihatmu dari tempatku duduk. Saat itu aku berdiri
meninggalkan stand dan berdalih untuk ke kamar kecil, padahal yang kulakukan
hanya ingin menyapa dan sedikit saja berbincang denganmu. Namun ketika aku
sampai tepat di depanmu, seorang teman memanggil dan kau segera menghampirinya.
Seperti yang sudah-sudah, aku hanya bisa melihatmu saja.
Dan beberapa
acara lain yang tidak kuhadiri, tetapi teman-temanku memberi pesan "Ada
dia nih, kamu nggak datang?" Kemudian mereka memberikan fotomu saat berada
di lokasi. Kupandangi saja, setelahnya kuhapus.
Jadi, sudah
kau hitung berapa banyak aku menatapmu diam-diam? Mari kita baca ulang dari
awal kemudian menghitung totalnya.
Tapi yang di
atas belum selesai.
Masih ada
lagi, momen di mana aku menatamu dari jauh, dan berharap sedikit saja kau
menatapku. Itu terjadi kemarin, siang hari, dan kau seperti biasa – sibuk
karena menjadi panitia. Sampai di sesi perkenalan, ada satu pertanyaan
"Apa yang kamu lakukan ketika stres?" yang harus kujawab. Kubilang
"Menulis. Sebab menulis itu menyembuhkan." Dan spontan kau merespon
"Berarti tiga puluh hari kemarin lagi stres ya?" Yang disambut oleh
tawa teman-teman.
Ya, aku
memang sedang stres saat itu.
Sebentar,
ini bukan soal stres-nya, tapi aku senang caramu spontan merespon. Itu
tandanya, kau menyimak. Dan itu menyenangkan. Acara berlanjut dan karena kau
yang mengendalikan acara, tentunya aku yang sebagai peserta memunyai alasan
untuk bisa menatapmu lamat-lamat. Acara pun berakhir dan aku bersiap pulang.
Lalu tiba-tiba kita...
Ajaib.
Kita duduk
di satu meja, kau makan sore dengan santai dan aku dengan bebas berbicara
denganmu. Sebentar saja, tapi aku lega sekali. Keinginanku untuk menyapamu
tuntas sudah. Dan kabar baiknya, kau follow balik twitter-ku, setelah sejak
2012 aku mengikuti semua ocehanmu di linimasa. Terima kasih, ya.
Bagimu
mungkin ini sepele, merupakan hal sederhana yang dilebih-lebihkan, dan norak.
Bagiku tidak. Bukankah untuk mengagumi seseorang, kita kerap tergila-gila pada
hal kecil sekalipun? Aku sungguh ingin menyampaikan betapa aku menyukai
tulisanmu dan berharap kau terus menulis karena aku akan terus membacanya.
Selesai
sudah.
Mari kita
baca lagi dari awal untuk mengitung totalnya. Ah, setelah ini jangan dulu kau
kalkulasikan, sebab esok dan seterusnya mungkin saja aku (terpaksa) hanya bisa
menatapmu diam-diam karena tentu saja aku akan selalu jadi peserta dan kau
panitia. Tak mengapa, yang penting kau jangan berhenti menulis, ya, Om Em. :)
Dari pembaca tulisan-tulisanmu,
Uni.
*****
*UPDATE*
07/08/16
"Ke Pejaten aja, Un. Dekat kan?" katanya suatu waktu. Mengejutkan, dia yang ajak bertemu ketika saya tahu kesibukannya yang seperti apa.
Beberapa minggu setelahnya, bahkan masuk hitungan setahun lebih, kami belum juga sempat bertemu karena memang belum ada kesempatan. Namun, per hari ini, saya dapat kabar kalau dia telah pergi. Pergi. Menghadap Tuhan.
Saya bangga pernah mengenal dan mengagumi tulisan-tulisannya. Saya bahagia mengenal segala hal baik tentangnya.
Jadi, rupanya itu terakhir kali saya bertemu dan menatapmu ; dalam pertemuan di suatu sore yang hangat. Terima kasih, telah memberikan saya kenangan manis.
membahas kisah lama memang tak akan pernah ada habisnya :)))
BalasHapusorang yg jatuh cinta diam2 memang punya sejuta kisah untuk diceritakan :)
BalasHapusberapa kali. kayaknya ratusan.
BalasHapuscerita ini benar pengalaman pribadi ya
Om Em, kakak kelas waktu kuliah, role modelku untuk jadi pustakawan kelak :')
BalasHapusBaca sampai akhir!
BalasHapusSelalu suka sama cerita dzalika model begini.
Fakta tp dibuay seolah fiksi...