Hi, Assalamualaikum!
(*)
"Apa cita-cita kalian?"
Kalau ada pertanyaan kayak gitu, apa sih yang bakal kita jawab? Dokter? Arsitek? Polisi? Insinyur? Terus, apa lagi?
Ada seorang anak yang menjawab unik ketika ditanya gitu. Dia bilang, "Aku mau jadi tukang pos!"
Loh. Kenapa tukang pos? Kenapa bisa seorang anak yang masih polos punya keinginan kuat untuk jadi Tukang Pos? Dan, anak mana yang ngomong gini? Well, kamu harus nonton film Surat Cinta untuk Kartini kalau mau tahu jawabannya.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Saya cukup senang karena industri perfilm-an Indonesia lagi naik daun dan banyak yang bagus pun memuaskan. Kalau tahun lalu misalnya ada Bulan Terbelah di Langit Amerika dan Negeri Van Oranje, maka awal tahun 2016 ini ada film Surat Cinta untuk Kartini -- yang tayang pas 21 April kemarin. Film AADC juga lagi ramai banget.
Kamu, sudah nonton?
Saya pas awal April lihat promosi film ini dan sempat skeptis dengan pemeran Kartini-nya. Saya kepikiran, coba kalau yang jadi Kartini itu Teh Revalina S. Temat. Terusnya udah wanti-wanti ini film bakal gimana mengingat ada andil Om Lukman Sardi di sini, hehe. Ada yang sepikiran nggak? Ehehehe.
Film ini adalah sebuah kisah fiksi yang mengambil latar belakang serta tokoh di zaman pra-kemerdekaan Indonesia pada era 1900, yaitu di masa ketika Kartini lagi kritis-kritisnya dalam berpikir. Eaaaaaak ~ Di masa itu, Ibu Kartini kayak Blogger masa kini yang segala pemikiran dan kegelisahannya selalu dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Tapi film ini bukan menceritakan sejarah Ibu Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan, bukan.
Film fiksi ini menceritakan tentang Sawardi (Chicco Jericko), seorang Duda dengan satu anak bernama Ningrum (Christabelle Grace Marbun), yang tinggal di Jepara. Ia menjadi tukang pos di zaman tersebut. Nah, Om Sawardi ini sering mengantarkan surat-surat yang ditujukan kepada Kartini (Rania Putri Sari). Kartini di film ini sama kayak aslinya ; berasal dari kaum ningrat, ramah, ayu, baik, tegas, dan cerdas. Tutur bahasa dan gaya bicaranya juga anggun --- meskipun saya gagal paham kenapa di tahun 1900-an ini, kok, semua tokoh dalam film menggunakan bahasa Indonesia dengan EYD nyaris sempurna?! Bukankah KBBI belum lahir saat itu? Bukankah adat Jawa sangat sangat padat dan kental di masa itu? Kenapa nggak ngomong pakai bahasa Jawa? Why oh why ~
Oke, lupakan saja. Lanjut nih ya... Seperti cerita klasik pada umumnya, Sawardi yang rakyat jelata ini pun jatuh cinta sama Kartini yang baik hatinya, nggak sombong, rajin menabung, serta berasal dari kaum priyayi. Dan akting kak Chicco ini memang owsom banget yha. Cuma dari tatapan mata aja, kita (penonton) bisa ikut kesemsem dibuatnya. Halah!
Sutradara :
Azhar Kinoi Lubis
Penulis Skenario :
Vera Varidia
Produser :
Lukman Sardi
Pemain :
Chicco Jerikho, Rania Putri Sari, Lukman Sardi, Ayu Dyah Pasha, etc.
Suatu waktu, Om Sawardi curhat soal kekaguman dan kegalauan dese soal Kartini, ke sahabatnya yang bernama Mujur (Ence Bagus). Betapa Kartini inilah. Itulah. Beginilah. Begitulah... Tapinya Om Mujur malah bilang kalau Kartini itu perempuan yang aneh, karena ingin mendobrak tradisi. Padahal di masa itu, adat adalah hal yang sangat pantang untuk dilanggar. Sampai orang-orang yang Sawardi temuin di mana-mana pun, bilang hal serupa soal Kartini. Tapi namanya juga cinta. Dese nggak menyerah apalagi minder sama Kartini. Cinta harus diperjuangkan!
Cerita pun bergulir ke arah keseharian Sawardi dan lika-liku kehidupan Kartini dengan segala budaya adat Jawa. Mereka semakin dekat, jadi teman yang saling cerita, tapinya ya gitu-gitu aja sampai kiamat. Nggak ada kemajuan. Mau nikah ya enggak bisa karena kebentur status sosial. Mau pacaran juga Sawardinya telat nembak. Mau dibilang cuma sebatas tukang pos dan penerima surat, tapi kok ikrib banget sampai saling curcol. Kedekatan mereka itu tuh kalau di zaman sekarang kita sebut sebagai FRIENDZONE.
Iya, friend-zone.
Pedih, kan, gaes. Dibaca juga nih, cerita Tentang Q yang cuma jadi friend-zone Margo dalam film Paper Towns!
Jadi, kesimpulan akhir saya setelah nonton ini ;
FRIEND-ZONE UDAH ADA DARI ZAMAN KARTINI, GAES!
Enggak, tunggu. Kesimpulan akhirnya bukan itu. Ada yang janggal dalam film ini, menurut saya. Kartini dalam film ini nggak kerasa gigih dan kritis soal feminisme, alih-alih malah tersirat banget adat patriarki dalam budaya kita. Di sinilah pentingnya tokoh Sawardi dan anaknya, Ningrum. Dia yang semula kagum sama Kartini karena pemikiran feminsisme dan segala gagasan kerennya, akhirnya kan ngamuk pas tahu Kartini mau menikah. Karena patah hati itulah, pemikiran Sawardi soal Kartini yang hebat mulai luntur. Mulai berpikir, ya..., perempuan Jawa itu cukup ngerti dapur sama taat suami. Kelar. Tapi ada satu kejadian di mana Sawardi bilang ke Ningrum ;
"Saya pikir (Kartini) gagal. Ternyata... Baru kelihatan hasilnya sekarang."
Which is mean, tokoh fiksi ini sedang ngasih tahu ke kita bahwa "iniloh, harta tak ternilai yang diberikan oleh Ibu Kartini ke kita semua. Lo semua sadar nggak guys?"
Overall... Film ini ini bukan film sejarah yang menggurui dan bikin ngantuk, tapi bukan juga murni kisah nyata dari sejarah Kartini. Azhar Kinoi, Lukman Sardi, dan seluruh kru yang bekerja di film ini mengajarkan kita untuk lebih peka dengan keadaan, lebih berani bertindak, dan pastinya harus banyak baca soal sejarah. If you know what I mean :)
Ditonton, dong. Film Surat Cinta untuk Kartini ini. Banyak banget pemandangan ala retro yang manjain mata, terus bisa tahu juga sedikit keseharian adat di zaman pra-kemerdekaan, dan biar kamu tahu aktingnya kak Rania gimana. Satu lagi... Seperti yang saya bahas di intro, kenapa si anak pengin jadi Tukang Pos? Dan anak siapa ini? Oh, Ada Teh Acha Septriasa jungjungan sayaaaah!
Sayang, cuma cameo :(
Oh iya, sekadar tambahan... Salut sama tim yang bisa nyelipin iklan Wardah di film ini tanpa kena distorsi waktu. Well, ini film berlatar sekitar 1900-1903 di mana Kartini wafat di tahun tersebut. Wardah belum ada dong di tahun itu... Tapi nyelipinnya emang pinter hehe. Makanya tonton! Dan, baca juga nih Wardah BB Cream yang dipakai Rania Pemeran Kartini.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Disclaimer :
1/ I've got a free tickets from @BloggerCrony for Surat Cinta untuk Kartini movies on Thursday, 28th April 2016 and we watched altogether at XXI Blok M Square.
2/ Since 2016, all sponsored posts wil be mark with (*) in the beginning of the post. But don't worry, all review from my honest thoughts.
3/ Check all disclaimer by clicking right button in the up of this blog.
Where am I?
Kaaaan Uni sepakat kalo friendzone itu udah ada sejak jaman kartini
BalasHapuso(><;)o
Hiiyh ternyata cikal bakalnya sudah tumbuh di tahun 1900 heheh
Ajak-ajak lagi yaah kalo ada nobar :)
Hahaha, kayaknya sih ya ga ada kasus friendzone di masa itu, secara kan ini film fiksi ya...
Hapuskalau lihat ceriatnya siha syik ya, tapi aku lebih suka membaca. kalau nonton ditengah2 suka ketiduran. makanya kalau nonon aku lebih suka yang action jadi gak ketiduran
BalasHapusIya, sayangnya cerita ini belum ada bukunya..
HapusYa ampun mbak, aku belum sempat nonton ini film -__-
BalasHapusTonton, deh. Lumayan buat jadi hiburan akhir pekan...
HapusSaya menyangka tadi ini film soal Kartini. Kecele, hehehe..
BalasHapussalam
iya, cuma garis besar, latar belakang, dan tokoh histori aja yang sama dengan kartini. Selebihnya cerita fiksi kok :)
Hapussepertinya film kartini ini pernah tayang di tv. tapi aku belum nonton. haduh sayangnya.... engga bisa nonton. sibuk kerja soalnya
BalasHapusWaktu kecil kalau ada orang yang tanya cita-cita, jawabku penen jadi guru hehe
BalasHapusEhm, mengenani kenapa gak pakai bahasa jawa, mungkin karena para pemaiannya gak bisa medok ngomong jawa, Mbak, jadi disiasati pakai bahasa indonesia yang baku...secara zaman dulu belum tenar bahasa alay hihi