Ibu saya -entah di tahun kapan, pernah menyindir saya soal keluhan yang terus saya lontarkan mengenai sikap masyarakat di kota Cibinong pada umumnya.
"Sana pergi yang jauh, ke tengah hutan, atau ke Segitiga Bermuda sekalian, biar kamu tinggal sendiri aja kalau nggak bisa beradaptasi dengan lingkungan," katanya santai dan yah, tentu saja nggak saya iya-kan. Mana bisa saya hidup sendiri. Ehehehe.
Ibu saya punya tiga anak. Kedua anaknya dibesarkan di Padang dan Bogor dengan didikan yang baik, sopan, bermasyarakat, dan down to earth lah ceritanya. Anak ketiga -saya, lahir, tumbuh, dan besar di Jakarta yang pada masa itu kental sekali individualisme-nya. Kami bertetangga, rumah berdempetan, undangan acara RT bertebaran. Namun, saling sapa jarang sekali, ke warung tanpa basa basi, ngelewatin ibu-ibu yang lagi rumpi juga nggak perlu permisi. Bahkan pas Papa meninggal juga nggak repot berkabar ke sana kemari.
Sebab, mereka tidak peduli.
Sampai akhirnya kami memutuskan pindah rumah -ke Cibinong, karena tidak mau mati terbunuh rasa sepi.
Susahnya buat saya, karena terbiasa dengan lingkungan apatis semasa di Jakarta, begitu tinggal di Cibinong, istilah kerennya seperti mengalami 'shock culture' gitu.
Di Cibinong, setiap keluar rumah, sapaan "Mau ke mana?" Akan selalu kita jumpai ; mulai dari tetangga sebelah rumah, tetangga depan rumah, lalu golongan ibu-ibu yang baru menjajakan dagangan, ibu-ibu yang berkumpul di mamang sayur, dan juga bapak sampai akang-akang yang lagi starter kendaraan, semua bakal nanya kayak gitu. Harus dijawab dengan senyuman dan juga berhenti sejenak untuk sapa-sapa. Itu belum berakhir, penumpang pun sopir dalam angkot, suka nanya juga terlepas dari mereka mengenal kamu atau nggak.
Ibu saya menyebutnya sebuah keramahtamahan. Saya lebih suka menyebutnya sebagai basa-basi yang menyebalkan. Bayangkan kalau setiap hari kamu pergi dan mendapati pertanyaan yang sama pada pagi hari di setiap kamu keluar rumah, keriput di simle-line makin kelihatan jelas, tuh.
Selain itu, menurut data yang Nyokap punya, rata-rata warga Cibinong adalah penduduk transmigrasi, sehingga kita bisa bedakan mana yang asli Cibinong dan mana yang bukan. Warga asli Cibinong itu ramahnya pakai banget dan kental dengan logat Sunda pertengahan -bukan yang halus bukan kasar juga.
"Kalau ada yang nggak ramah, nggak sapa-sapa kamu, kemungkinan bukan asli orang sini," kata nyokap.
Kalau sore menjelang malam, anak-anak ramai di beberapa lapangan yang biasa saya jumpai. Mereka main, ngobrol, atau belajar bareng di sana sama tetangganya.
Saya pun sejak kecil, sampai sekarang, masih sering main dengan teman-teman sebaya saya yang statusnya 'hanya' tetangga. Anna, Novi, Nova, Lala, Boy, Rere, Ghea, Via, dll, mereka teman main saya itu memang cuma tetangga, kenal karena rumah berdekatan. Kami tidak pernah satu sekolah, tidak pernah satu les, tapi sampai sekrang masih senang bermain bersama. Apa kamu begitu juga dengan tetanggamu?
Well, belakangan ini saya sadar, sapaan "mau ke mana?" Dan "pulang, Uni?" Yang selalu dilontarkan setiap keluar-masuk rumah selama lima belas tahun ini, bukan sekadar basa-basi. Senyum dan sapa jadi rutinitas menyenangkan, masyarakatnya mempertahankan keakraban. Saya merasa diperhatikan dan antar tetangga bisa menghidupkan suasana kekeluargaan.
Nyebelin, sih, tetep. Bayangin coba, selama dua tahun terakhir pertanyaan "Mau ke mana?" Berubah jadi "Belum lulus juga, Un?" Hehe. Yakali predikat lulus bisa diraih hanya dalam sehari, kan nggak logis. Tapi saya tetap menikmatinya, kok.
Sebab, saya cinta dengan kota Cibinong, pun dengan penduduknya.
Dulu didaerah rumah kaya gini, Ni. Tapi sekarang engga. Jangankan mau nanya kemana, mau sekedar senyum aja gue sulit.
BalasHapusaku malah merindukan masyarakat yg seperti itu, Un. orang2 yg ramah dan bermasyarakat, gotong royong saling membantu. sayangnya skrng aku tinggal di tempat yg depan rumah saja aku gak tau ada orang apa kagak :(
BalasHapusAku di Jakarta juga masih sapa-sapaan lho Uni. Ga semua sih tapi kalau mau pergi atau baru pulang biasanya ada yang nyamber nanyain... :))
BalasHapusHaha. Aku juga sering dikatain ama tetangga. Dibilang angkuh :))) ABisnya paling ga bisa basa basi.
BalasHapusJadi, Uneh, kapan lul...? *disumpal*
Kalo gue tinggal di sana juga ikutan nanya, ah. "Mau ke mana? Ada info lowongan nggak, Un?" Bangkhaaayyy pengangguran amat. :(
BalasHapusDi Jakarta bagian rumah gue mah tetep ada basa-basi. Gue, sih, tinggal di gang. Hehe. Tapi, ya... udah agak jarang. Nggak tahu kenapa deh yang dulu main bareng jadi diem-dieman. :')